Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Belum sempat Ulan mengulurkan jarinya untuk menyentuh layar transparan itu, sebuah rasa sakit tajam menyambar dari telinga kirinya.
“Masih sempat bengong juga? Kau pikir ini rumah mainan, hah?!” suara ibunya, tajam dan penuh tekanan.
Kupingnya dijewer dengan keras, membuat tubuhnya refleks memiring. Tubuhnya yang kurus terhuyung, dan ia segera menahan napas untuk menahan rasa perihnya. Layar aneh itu lenyap begitu saja, entah ke mana—seolah tak pernah muncul.
“Sudah semua bubur diangkat ke meja, Ibu…” bisik Ulan dengan suara rendah, mencoba menenangkan ibunya yang terengah karena marah.
Namun wanita dengan rambut awut-awutan dan pakaian lusuh penuh tambalan itu tidak benar-benar marah karena bubur. Matanya menyala—bukan karena pekerjaan rumah—tetapi karena **rasa malu dan dendamnya setelah tadi dimarahi oleh ibu mertuanya**.
“Lamban! Kalau masih ada waktu melamun, berarti kau belum bekerja cukup keras!” bentaknya sambil mendorong bahu Ulan dengan kasar.
Di dekat pintu dapur, tertawa sambil menutupi mulutnya. Tawanya bukan tawa geli, tapi tawa penuh kemenangan
“Haha… seperti nyanyian ayam yang kepanasan! Wah, lucu sekali dengarnya!” ejek Yueqing, lalu mencibir, “Tapi pantas juga sih. Dasar anak tidak tahu terima kasih. Sudah besar masih minta dikasihani.”
Ulan tak menjawab. Matanya tetap lurus menatap tanah.
Satu per satu anggota keluarga besar itu mulai berdatangan ke dapur. Nenek dan kakek,ayah kandungnya,bibi-bibi dan paman, semuanya berjalan menuju meja kayu panjang yang menjadi pusat makan keluarga. Tak seorang pun menanyakan apa yang terjadi. Tak ada yang menoleh kepada Ulan yang berdiri menunduk. Yang mereka lihat hanyalah baskom besar berisi bubur jagung panas yang baru saja diangkat.
Bubur itu nyaris tak punya isi. Hanya air kuning keabu-abuan dengan sedikit serpihan jagung yang mengambang.
Tapi semua orang makan dengan lahap.
Lelaki-lelaki duduk duluan.
Kakek, ayah, paman, dan anak laki-laki lainnya. Kemudian para wanita dewasa yang diperbolehkan duduk, sambil tetap menuangkan sendiri dari baskom. Uap tipis mengambang di atas meja makan, sementara suara sendok kayu mengaduk mangkuk bersahutan dengan seruan kecil: “Enak kalau dimakan hangat-hangat!”
Ulan tetap berdiri. Tak ada mangkuk untuknya. Tak ada panggilan.
Di sampingnya, Yueqing, juga berdiri. Tubuhnya lebih kecil, wajahnya diam. Mereka tahu aturan tak tertulis ,anak perempuan tidak boleh duduk bersama para lelaki dan orang tua,, terutama bila rumah itu kekurangan makanan.
Namun dari sudut mata Ulan, ia sempat melihat bibi keduanya menyisihkan semangkuk penuh bubur jagung dari baskom sebelum orang lain mengambil. Ia menyerahkannya diam-diam kepada Yueqing di depan semua orang.
Tak ada yang mengatakan apa-apa. Semua berlangsung seperti biasa. Bahkan ibunya sendiri tidak menoleh kepada Ulan apalagi memberinya makanan. Wajah wanita itu begitu biasa, seolah-olah tak peduli jika putrinya mati kelaparan di hadapan mata.
Setelah suapan demi suapan masuk ke mulut, suasana makan itu berubah menjadi pembicaraan.
“Kata kapten , desa harus mulai tanam jagung lagi tahu ini,” gumam kakek.
“Ayah, tanah bagian barat masih keras. Butuh dicangkul ulang, tapi cangkulnya tidak cukup” timpal ayah Ulan.
"Pergi lah lebih awal untuk dapat cangkul"kata kakek
“Iya, iya. Semua orang turun ke ladang. Termasuk kau, menantu pertama! Jangan cuma bisanya ngomel!” bentak nenek sambil melirik tajam pada ibu Ulan yang tak berani membalas.
Ibu Ulan menelan ludah, lalu cepat-cepat mengangguk sambil tetap memasukkan bubur ke mulutnya. Tapi setelah itu ia kembali bicara, seolah ingin membuktikan dirinya berguna.
“Ulan yang nanti jaga rumah. Dia harus urus babi, sapu halaman, dan cuci semua pakaian. Yueqing masih harus belajar menjahit, supaya bisa dibawa ke kota cari suami dari keluarga baik-baik.”
Semua orang mengangguk setuju. Bahkan Yueqing tersenyum kecil, seolah telah mendapat pengakuan sebagai gadis mulia yang pantas untuk masa depan lebih baik.
Tak ada yang memandang Ulan.
Tak seorang pun berpikir kalau tubuhnya yang kurus dan lelah itu bisa menolak.
Ulan tetap berdiri di sudut. Tangannya mengepal. Bukan karena lapar, bukan karena sakit kuping, tapi karena semuanya masih berjalan seperti dulu.
Tapi tidak kali ini.
Layar itu bukan mimpi. Dan jika ia bisa muncul … maka mungkin, kali ini, takdir pun bisa diubah.
Semua orang makan dan bicara.
Mangkuk-mangkuk bergeser, suara seruputan bubur jagung yang lebih mirip air panas berulang, lalu tawa ringan sesekali keluar ketika kakek menyebut soal harga benih yang naik, atau ketika paman mengeluh soal pacul yang rusak di ladang. Di sela-sela itu, Yueqing dengan bangga menyebutkan bagaimana dia berhasil menyulam bunga di tepi lengan bajunya semalam.
Tapi Ulan tidak mendengar satu pun dari semua itu.
Ia berdiri di dekat pintu dapur, dengan telapak tangan kotor dari abu dapur dan bau kayu terbakar yang masih melekat di lengannya, menatap kosong ke arah udara. Di tempat yang seharusnya kosong itu, masih terlihat layar transparan yang tadi sempat muncul sebelum ibunya menjewer telinganya.
Layar itu tidak menghilang seperti yang ia kira. Bahkan, kini terlihat lebih jelas.
Tepat di hadapannya, menggantung di udara—seolah-olah itu adalah bayangan dari mimpi yang belum sempat hilang.
Dan anehnya, tak satu pun dari mereka yang melihatnya.
Nenek tetap menyeruput bubur sambil mengeluh tentang musim yang tak menentu. Ayahnya menggaruk kepala dan bertanya tentang cangkul, ibunya masih mencaci lewat mulut ketus, dan Yueqing duduk menyilangkan kaki sambil memamerkan benang warna-warni yang dibelinya dari pasar kota minggu lalu.
Tak ada yang berhenti atau menatap ke layar itu.
Hanya Ulan. Hanya dia yang bisa melihatnya.
Di layar, ia bisa melihat beberapa baris teks yang awalnya samar, kini semakin terang:
> ▪ Sisir kayu (2 sen)
> ▪ Minyak goreng (12 sen)
> ▪ Obat demam herbal (25 sen)
> ▪ Roti kacang isi (2 sen)
> ▪ Sepatu karet murahan (18 sen)
Angka-angka itu... begitu nyata.
Bahkan di desa ini, kalau kau mau membeli sabun, beras, atau kain lap, kau butuh kupon. Bahkan sabun cuci yang paling murahan pun harus disertai **stempel atau kupon yang sulit didapatkan.
Semua barang yang disebutkan di layar, secara logika harus menggunakan kupon. Tapi layar ini,entah dari mana asalnya,tidak memintanya.
Tapi lalu matanya menuruni layar... dan ia terdiam.
Saldo: 0.00 yuan.
Jantungnya turun perlahan. Matanya tak berkedip. Di ujung jemarinya, layar itu seperti mengejeknya yang miskin.segala kemungkinan bisa dibeli, asalkan kau punya uang.
Tapi Ulan tidak punya apa-apa.
Dia menelan ludah, tidak karena lapar, tapi karena kecewa.
Seandainya dia punya uang... bahkan hanya dua sen saja, ia bisa membeli roti kacang isi,makanan yang terakhir kali dimakannya saat pesta rakyat dua tahun lalu. Waktu itu pun hanya dapat setengah karena sisa jatah anak laki-laki yang tidak habis.
Tiba-tiba, rasa lapar itu datang. Bukan karena aroma bubur atau karena tubuhnya lemas. Tapi karena ada sesuatu yang bisa dibeli, yang mungkin tak akan pernah bisa disentuhnya di dunia nyata.
Ia tetap diam. Tetap berdiri di sana, tak peduli dengan kenyataan bahwa dia mungkin tak akan makan hari ini. Semua orang telah mendapat jatahnya, termasuk adik-adiknya yang laki-laki, dan seperti biasa, tidak akan ada yang bertanya apakah Ulan sudah makan atau belum.
Tapi dalam diamnya, di balik mata yang kosong, Ulan berpikir.
Bagaimana caranya bisa mendapatkan uang?
Apa yang harus ia lakukan untuk membeli barang dari layar itu?
Dia tidak tahu jawabannya sekarang.
Tapi untuk pertama kalinya setelah kembali ke usia 15 tahun, ada cahaya kecil yang menyala dalam pikirannya.Sebuah harapan yang tak pernah ada sebelumnya. Walau kecil, walau rapuh, layar itu telah memberinya satu hal penting:
Sebuah Pilihan untuk bertahan hidup.
Dan dalam hidup Ulan yang selama ini penuh kekalahan... itu adalah kemewahan yang sangat langka.**
Meja makan yang tadi penuh suara kini perlahan sunyi.
Satu per satu anggota keluarga berdiri, mangkuk-mangkuk kosong ditinggalkan begitu saja di atas meja. Sisa bubur jagung yang lebih mirip air dari pada bubur menetes di tepi baskom. Tak ada yang berpikir untuk membersihkannya. Di rumah ini, pekerjaan rumah hanyalah milik satu orang saja dan semua orang tahu siapa dia.
Kakek mengayunkan tangannya ke belakang sambil menguap keras, lalu mengambil topi jeraminya dan berjalan keluar bersama ayah Ulan serta kedua pamannya. Sepatu mereka menginjak lantai tanah, menyisakan jejak yang tak akan ada yang bersihkan kecuali Ulan.
“Ayo cepat! Kalau kesiangan nanti kerjaan ladang numpuk!” seru sang nenek dari luar, suaranya serak dan galak, tapi tak seorang pun menanggapinya dengan serius.
Yueqing berdiri santai, memperbaiki pita di rambutnya sambil mencibir ke arah Ulan yang masih berdiri di sudut dapur. “Jangan lupa cuci piring, ya,” ucapnya pelan tapi tajam, lalu terkikik kecil sambil berjalan keluar. Dia mengenakan sepatu kanvas terbaiknya,pemberian dari ayahnya yang konon dibeli dari kota saat pasar tahunan. Tidak ada jejak lumpur di tapaknya. Tidak seperti Ulan, Yueqing tak pernah menyentuh tanah ladang, dan tampaknya tak akan pernah diminta.
Hanya satu orang yang belum pergi,ibunya.
Wanita itu berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya keriput oleh letih dan usia, tapi matanya menyala dengan sesuatu yang lebih tajam dari sekadar kelelahan: kebencian yang dipendam terlalu lama.
Tatapan itu menusuk Ulan dalam diam, seperti ingin mengoyak kulitnya tanpa perlu menyentuhnya.
“Setelah kau cuci semua mangkuk itu,” katanya tanpa nada, “ambil semua cucian kotor di pojok pintu. Kalau sudah selesai, pergi potong rumput untuk makanan babi. Jangan coba-coba malas. Kau tahu sendiri mereka akan mengamuk kalau kelaparan.”
Ulan menunduk. Ia tahu tidak ada gunanya menjawab.
“Dan setelah itu,” lanjut ibunya, kini suaranya lebih tajam, “kau harus menyusul ke ladang. Kalau telat... kau tahu sendiri apa akibatnya.”
Kata-kata terakhir itu menggantung di udara seperti cambuk yang tak terlihat. Lalu ibunya pergi. Sandal kainnya menyeret tanah kering saat melewati halaman depan, menyusul kerumunan yang menuju ladang kolektif di sisi timur desa.
Rumah kembali sunyi.
Namun Ulan tetap berdiri di tempatnya. Hanya suara angin yang menyusup lewat celah dinding bambu dan kain tambalan di jendela yang berayun pelan. Di sudut dapur, tumpukan cucian menggunung, berbau lembap dan penuh noda dari pakaian seluruh keluarga. Ember air belum terisi, kayu bakar menipis, dan di halaman belakang kandang babi mulai mengeluarkan suara kelaparan.
Dan layar itu masih melayang di udara.
Namun untuk sekarang, layar itu harus menunggu.
Karena di tahun 1960-an, di desa terpencil ini , tidak ada hak untuk berkata “aku sakit”—bagi seorang gadis seperti Ulan.
Ia menghela napas, lalu mulai meraih baskom cucian. Tangannya yang kecil bergerak pelan, tapi pikirannya jauh lebih cepat dari langkah tubuhnya.
"Kalau aku ingin mengubah takdirku... semua ini baru permulaan."