NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:331
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titian Es dan Rencana Gila

Angin di atap villa itu bukan sekadar hembusan udara; itu adalah tangan-tangan raksasa tak kasat mata yang mencoba melempar mereka jatuh ke jurang kegelapan.

"Rendahkan badan! Merayap!" teriak Rian, suaranya nyaris hilang ditelan gemuruh badai.

Mereka berempat merangkak di atas genteng tanah liat yang permukaannya telah dilapisi es tipis. Licinnya minta ampun. Satu gerakan salah, mereka akan tergelincir jatuh bebas setinggi dua lantai menuju halaman berbatu yang tertimbun salju.

Elara berada tepat di belakang Rian. Jari-jarinya yang kaku dan mati rasa mencengkeram pinggiran genteng yang kasar hingga kukunya terasa perih. Matanya menyipit, menahan butiran salju tajam yang menghujam wajahnya seperti ribuan jarum pentul.

"Pegang talang air itu!" instruksi Rian. Dia menunjuk pipa besi horizontal yang melintang di tepi atap. "Itu kuat! Geser pelan-pelan ke arah balkon!"

Sarah, yang berada di belakang Elara, terisak pelan karena panik, tapi dia terus bergerak. Bobi di urutan paling belakang, merangkak dengan gaya katak yang canggung. Excalibur besinya diselipkan di pinggang celana, membuatnya kesulitan bergerak.

"Aduh! Sumpah, kalau gue mati, tolong tulis di nisan gue 'Mati Ganteng', jangan 'Mati Kepeleset'!" racau Bobi, mencoba mengusir takutnya dengan omong kosong.

Krak!

Pijakan kaki kanan Bobi retak. Sekeping genteng pecah dan meluncur jatuh.

"Waaa!" Bobi kehilangan keseimbangan. Tubuhnya melorot ke samping, meluncur cepat menuju tepi atap yang tak berpagar.

"Bobi!" jerit Sarah.

Dengan refleks luar biasa, tangan Bobi menyambar talang air besi di detik terakhir. Tubuhnya terbanting keras menghantam tepi atap, kakinya menggantung bebas di udara kosong.

"Tolong! Tolongin gue!" teriak Bobi, wajahnya pucat pasi melihat kegelapan di bawah kakinya. Besi talang itu berderit, baut-baut karatan yang menahannya ke dinding mulai longgar.

Rian berbalik. Tanpa pikir panjang, dia merayap mundur secepat yang dia bisa di atas es. "Pegang yang kuat, Bob! Jangan lepas!"

Rian mengulurkan tangannya, mencengkeram pergelangan tangan Bobi yang basah dan licin. Sarah ikut membantu, menarik bahu Rian agar tidak ikut terseret. Elara menahan kaki Sarah. Rantai manusia yang rapuh di tengah badai.

"Satu... dua... tarik!" aba-aba Rian.

Dengan satu hentakan kuat, mereka berhasil menarik Bobi kembali ke atas genteng yang lebih aman. Bobi terengah-engah, memeluk genteng basah itu seolah itu adalah guling kesayangannya.

"Makasih... makasih..." gumam Bobi gemetar. "Gue janji bakal rajin sedekah kalau selamat."

"Simpan janjinya nanti, kita belum sampai," potong Rian tegas, meski napasnya sendiri memburu. "Balkon kamar Elara tinggal dua meter lagi. Ayo!"

Mereka melanjutkan perjalanan maut itu. Akhirnya, mereka sampai di atas balkon kamar Elara. Jarak dari tepi atap ke lantai balkon sekitar dua meter. Rian melompat duluan, mendarat dengan bunyi bug di tumpukan salju balkon. Dia lalu menangkap Elara, Sarah, dan Bobi satu per satu.

Begitu kaki mereka menyentuh lantai balkon yang datar, rasanya seperti mendapat mukjizat.

Rian segera menghampiri pintu kaca balkon. Terkunci dari dalam.

"Mundur," perintah Rian. Dia mengangkat siku kanannya, melapisinya dengan jaket tebal, lalu menghantam kaca itu.

Prang!

Kaca pecah berantakan. Rian merogoh ke dalam, memutar kunci, dan membuka pintu. Mereka berhamburan masuk ke dalam kamar Elara, mencari perlindungan dari angin biadab di luar.

Kondisi kamar itu mengenaskan. Kasur terbalik, isi lemari dimuntahkan ke lantai, cermin meja rias hancur berkeping-keping. Dan bau itu—bau belerang dan daging busuk—masih tertinggal samar-samar, meski sosok mata merah itu sudah tidak ada.

"Dia nggak di sini," bisik Elara, mengedarkan pandangan waspada. "Dia pasti turun lagi ke bawah. Ke pianonya."

Rian menyalakan senter ponselnya lagi, mengumpulkannya di tengah ruangan yang berantakan. "Oke, dengerin gue baik-baik. Rencana kita simpel tapi bahaya."

Wajah-wajah lelah itu menatap Rian.

"Tujuannya adalah membakar partitur 'Sonata untuk Elena' di piano itu," kata Rian. "Tapi Adrian pasti ngejaga piano itu kayak naga ngejaga emasnya. Kita nggak bisa nyerbu barengan."

"Terus gimana?" tanya Sarah, menggosok-gosok tangannya yang membeku.

"Gue jadi umpan," kata Rian datar.

"Nggak!" tolak Elara cepat. "Itu bunuh diri, Yan! Dia menginginkan kamu! Kalau kamu nyerahin diri, dia bakal..."

"Dia mau gue main piano, El," potong Rian, menatap tajam mata Elara. "Dia nggak akan bunuh gue sebelum gue selesai mainin lagunya. Itu celah kita."

Rian menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Gue bakal turun lewat tangga utama, bikin keributan, dan duduk di piano. Gue bakal pura-pura menyerah dan mulai main. Saat dia fokus ngeliatin gue main... kalian bertiga harus mengendap-endap lewat belakang sofa, ambil partitur itu secepat kilat, dan lempar ke perapian."

"Tapi Yan..." Bobi menyela, kali ini tanpa nada bercanda. "Kalau lo mainin lagu itu... bukannya lo bakal... you know... kayak dia?"

"Gue akan berusaha ngelawan pengaruhnya," jawab Rian, meski ada keraguan di matanya. "Gue cuma perlu beli waktu satu atau dua menit buat kalian. Sarah, lo bawa korek api kan?"

Sarah mengangguk, mengeluarkan korek gas dari saku celananya. "Masih nyala."

"Elara," Rian beralih ke gadis itu. "Tugas kamu yang paling berat. Kamu harus pastiin Sarah dan Bobi berhasil bakar kertas itu. Dan kalau... kalau gue nggak bisa berhenti main piano..."

Rian menelan ludah, lalu menatap tongkat besi di tangan Bobi. "...kalian harus pukul gue. Pingsanin gue. Apapun caranya, jangan biarin gue nyelesaiin lagu itu sampai not terakhir. Karena kalau lagu itu selesai, gue mati. Dan Elena bakal terjebak selamanya."

Elara merasakan air matanya menetes. Rencana ini gila. Tapi tidak ada rencana lain.

"Oke," bisik Elara parau. "Kita lakuin."

Rian tersenyum tipis, lalu memeluk mereka bertiga bergantian. Pelukan perpisahan sementara—atau selamanya.

"Ayo turun. Showtime."

Mereka keluar dari kamar Elara, berjalan jinjit menyusuri koridor lantai dua yang gelap gulita. Setiap langkah terasa berat. Jantung mereka berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari rusuk.

Mereka sampai di ujung tangga. Dari sana, mereka bisa melihat ruang tengah di bawah.

Ruang tengah itu tidak gelap. Perapian menyala besar, api yang tidak wajar, berwarna kemerahan gelap. Dan lilin-lilin hijau yang tadi ada di kamar atas, kini berjejer rapi di atas piano, menyala terang.

Piano itu terbuka. Partitur tua itu ada di sana, menunggu.

Namun tidak ada siapa-siapa. Adrian tidak terlihat.

"Dia sembunyi," bisik Sarah. "Dia nunggu."

"Kalian lewat tangga dapur," bisik Rian. "Gue lewat tangga utama. Tunggu kode gue. Kodenya adalah nada pertama yang gue mainkan."

Elara, Sarah, dan Bobi mengangguk, lalu menghilang ke dalam kegelapan lorong menuju tangga belakang.

Rian berdiri sendirian di puncak tangga utama. Dia merapikan kaosnya yang kotor, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah turun.

Langkah kakinya sengaja dibuat berat. Dug. Dug. Dug.

"Gue di sini!" seru Rian lantang, suaranya menggema di ruang tengah yang kosong. "Lo mau gue main kan? Keluar lo, pengecut!"

Hening sesaat.

Lalu, dari bayang-bayang di sudut ruangan yang paling gelap, cairan hitam mulai merembes keluar dari dinding. Cairan itu berkumpul, memadat, dan membentuk sosok tinggi besar menyerupai manusia, namun dengan proporsi yang salah. Tangannya terlalu panjang, lehernya miring patah.

Sosok Adrian. Wajahnya tidak jelas, hanya berupa gumpalan daging busuk dengan mulut yang menyeringai lebar hingga ke telinga.

"Bagus..." suara parau itu terdengar, bukan dari mulutnya, tapi langsung di dalam kepala Rian. "Pianisku sudah datang. Penonton sudah tidak sabar."

Rian menahan rasa mual dan takut yang luar biasa. Kakinya gemetar, tapi dia memaksakan diri berjalan mendekati piano. Dia harus meyakinkan monster itu.

Rian duduk di bangku piano. Dingin yang menusuk langsung menjalar dari bangku itu ke tulang ekornya.

Dia menatap partitur di depannya. Not balok itu tampak rumit, mustahil dimainkan oleh amatir. Tapi anehnya, saat Rian melihatnya, jari-jarinya berkedut, seolah otot-ototnya "ingat" cara memainkannya.

Adrian berjalan mendekat, berdiri tepat di belakang Rian. Rian bisa merasakan hawa busuk napasnya di tengkuk.

"Mainkan," bisik Adrian. "Mainkan untuk Elena. Mainkan untuk kematianmu."

Rian mengangkat tangannya. Dia melirik sekilas ke arah bayangan di balik sofa besar. Dia melihat kilatan mata Elara di sana. Mereka sudah siap.

"Ini buat lo, Bangsat," gumam Rian pelan.

Jari Rian menekan tuts piano.

TENG!

Nada pertama berbunyi. Keras, megah, dan mengerikan.

Dan saat musik dimulai, dari balik sofa, tiga bayangan bergerak cepat merayap di lantai mendekati perapian.

Perjudian nyawa dimulai...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!