NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Transmigrasi / Fantasi Timur / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18: BAYANGAN DI BALIK POHON GELAP

1 jam sebelum penyerangan.

Malam itu, hutan pinggiran Kota Long Ya tertutup kabut tipis. Udara lembap menusuk tulang, dan hanya suara jangkrik yang memecah kesunyian di antara pepohonan tinggi. Di tengah kegelapan itu, langkah berat terdengar—gemeretak ranting patah di bawah kaki seorang pria bertubuh besar.

Pria itu berjalan tersaruk, di bahunya tergantung tubuh seseorang—seorang pria berjenggot lebat yang tampak tak sadarkan diri, tubuhnya lemas dan berlumuran darah. Setelah beberapa langkah, pria bertubuh besar itu menghentikan langkahnya dan menjatuhkan beban di pundaknya dengan kasar.

DUG!

Tubuh lelaki tak sadarkan diri itu menghantam tanah seperti karung beras.

"Keparat," geram pria tinggi besar itu sambil mengusap peluh di dahinya. Suaranya berat, kasar, dan penuh kejengkelan. "Sejak bandit Hutan Malam itu dibakar habis, aku harus mencari sendiri korban untuk ritual ini."

Ia menendang pelan tubuh pria yang tergeletak.

"Dan semua ini gara-gara bocah dari Klan Naga Bayangan itu! Dia terus mengacau di kota ini. Terus mengusik Tuan Haikun."

Dari balik pohon besar, seorang pria kurus dengan punggung sedikit bungkuk muncul. Bajunya longgar, matanya sayu, dan wajahnya tirus seperti belum tidur berhari-hari. Ia berbicara datar tanpa menatap lawan bicaranya.

"Tenanglah, Hiroshi," katanya dingin. "Sebentar lagi Tuan Haikun akan membangkitkan mata kelimanya. Saat itu tiba, dia akan kembali ke Pusat Kultus Iblis dan diangkat menjadi Wakil Tetua. Kita akan bebas dari tugas-tugas menjengkelkan ini."

Pria besar itu—Hiroshi—mendengus keras. "Aku harap begitu. Aku sudah muak dengan semua perintahnya yang merepotkan itu." Ia mengepalkan tangan, buku jarinya berderak. "Kalau dia tak segera diangkat jadi Wakil Tetua Tao Langit Hitam dan melepas parasit di kepalaku, aku sendiri yang akan memenggal kepalanya."

Si pria kurus sedikit tersenyum miring, suaranya tenang tapi licik. "Jangan terlalu keras bicara, Hiroshi. Bagaimanapun, berkat dia… kita punya kekuatan seperti sekarang."

Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin berukir aneh di jari telunjuknya. Batu merah di tengah cincin itu berdenyut lembut, seperti jantung yang berdetak.

Hiroshi menatapnya, lalu ikut mengangkat tangan. Cincinnya bergetar pelan dan memancarkan cahaya merah redup. Ia terkekeh rendah, suara geramnya bergema di hutan.

"Kau benar, Yuto. Berkat cincin ini dan eliksir pemberiannya, aku bisa menyerap energi orang mati sebanyak yang kuinginkan. Ranah Guru Tingkat Akhir... bukan lagi mimpi."

Cahaya bulan perlahan menerobos celah awan, menyoroti wajah kedua pria itu. Dan di bawah cahaya pucat itu, terlihat jelas—kedua orang itu bukanlah orang sembarangan.

Pria bertubuh besar dengan rambut abu-abu itu adalah Hiroshi, Ketua Balai Hukum Long Ya, penjaga kota yang selama ini dikenal bijak dan adil.

Sementara pria kurus di sampingnya… adalah Tabib Yuto, tabib yang diikuti oleh Yaohua, tabib yang telah merawat Mo Long saat ia pingsan.

Cahaya bulan menyoroti wajah mereka, dan kebenaran tampak seperti noda hitam di atas kain putih.

Hiroshi mendecak kesal. Wajahnya mengeras, urat di pelipisnya menonjol. "Jika parasit di kepalaku tidak segera diangkat sesuai janjinya, aku akan menyerang Haikun. Lebih baik mati terhormat daripada menjadi budaknya selamanya."

Tabib Yuto menjawab tanpa emosi, suaranya datar dan dingin seperti es. "Tenanglah. Aku juga tidak ingin diperbudak lebih lama. Sekarang ambilkan kendi di bawah pohon itu."

Hiroshi berbalik, mengambil kendi tanah liat dari akar pohon. Sementara Tabib Yuto berjongkok di sisi tubuh pria berjenggot yang tadi dibawa. Dengan ujung jarinya, ia menggores kulit dadanya sendiri—darah merah gelap menetes perlahan.

Darah itu ia oleskan ke dada pria yang tergeletak, membentuk simbol aneh berbentuk mata di dalam lingkaran yang terukir di kulit.

Mantra-mantra pelan mulai terdengar di antara desis napasnya—bahasa kuno yang mengiris keheningan malam.

"Jadi, kau bisa menggunakan teknik pengendali pikiran juga?" tanya Hiroshi sinis, setengah menantang sambil menyerahkan kendi.

Tabib Yuto melirik tajam, sedikit tersinggung. "Tentu saja bisa. Aku ini seorang Tao, bukan tabib jalanan." Ia menyeringai tipis. "Tuan Haikun hanya mengajariku sekali… dan aku langsung menguasainya. Bahkan lebih baik dari instruksi yang ia berikan."

Hiroshi terkekeh merendahkan. "Kuharap durasi kendalimu tak selemah terakhir kali. Yang akan kita hadapi nanti bukan orang biasa—ada satu bocah berbakat dan tiga pengawal di sisinya. Salah satunya bahkan Ranah Ahli Tingkat Akhir."

Tabib Yuto mendengus. "Diamlah dan percayakan padaku. Ranah pria ini baru Guru Awal. Setidaknya, dia akan tetap dalam kendaliku sampai hampir fajar. Cukup untuk membunuh bocah itu."

Ia mengangkat kepala pria berjenggot itu sedikit, lalu membuka paksa mulutnya. Cairan hitam pekat dari kendi dituangkan perlahan, mengalir melalui bibir dan tenggorokan.

Pria itu meringis refleks, tubuhnya bergetar—seolah menolak sesuatu dari dalam yang mencoba merasuki.

Tabib Yuto mulai berbisik lebih keras, mantra aneh terdengar dari mulutnya, seperti campuran bahasa iblis dan doa yang terdistorsi. Udara di sekeliling mereka bergetar pelan. Dedaunan di pohon sekitar bergoyang meski tidak ada angin.

Tiba-tiba, tubuh pria yang terbaring itu menegang keras. Kelopak matanya terbuka lebar, pupilnya melebar hingga nyaris menutupi seluruh bola mata. Wajahnya memucat drastis—urat-urat di lehernya menonjol seperti cacing hitam yang bergerak di bawah kulit, rahangnya bergetar tidak terkendali.

Lalu dari tenggorokannya keluar suara mengerikan—

"GERRR… GHRRAAAGHH!!"

Matanya terbuka lebar, kedua bola matanya berputar cepat tanpa arah, lalu berhenti—menjadi merah menyala.

Cahaya merah dari cincin Tabib Yuto berdenyut lebih kuat, dan senyum puas terbit di bibirnya yang kering.

"Bangunlah," bisiknya dingin sambil menyentuh dahi pria itu. "Dan jalankan perintah tuanmu… bunuh Mo Long dari Klan Naga Bayangan."

Pria berjenggot itu perlahan berdiri, gerakannya kaku seperti mayat hidup. Matanya yang merah menyala menatap kosong ke depan, mulutnya setengah terbuka, air liur menetes.

"Bunuh... Mo Long..." suaranya parau, tidak manusiawi.

Sementara dari kejauhan, terdengar lolongan serigala panjang—seolah alam sendiri ikut bergidik menyambut kegelapan yang baru saja terlahir.

Hiroshi berdiri, membenarkan pedangnya di pinggang. "Sekaranglah saat terbaik menyerang bocah itu. Saat tubuhnya belum sepenuhnya pulih… saat kekuatannya belum sepenuhnya bangkit."

Tabib Yuto tersenyum mengerikan, wajah tirusnya terlihat seperti tengkorak di bawah cahaya bulan. "Dan saat dia sedang... lengah bersama wanita cantiknya."

Keduanya tertawa pelan—tawa yang dingin dan penuh niat jahat.

Sementara itu, suasana hutan perlahan beralih menuju kediaman Yaohua, di mana kabut tipis merayap turun dari lereng bagaikan makhluk hidup yang mencari mangsa.

Di atas atap genteng sebuah paviliun di samping rumahnya, dua bayangan berjaga penuh waspada.

Gao Shan menguap lebar, lalu mengucek matanya dengan keras hingga nyaris merah. "Sial," gerutunya sambil menggigil, mengencangkan jubahnya. "Dia bersenang-senang dengan wanita sementara kita di sini menahan dinginnya malam. Dunia benar-benar tidak adil."

Gao Shui, yang duduk bersandar pada tiang atap, terkekeh tanpa menoleh. "Kalau kau ingin hidup enak, jadilah orang kaya," katanya santai sambil mengasah pedangnya. "Lagipula, kau tak punya wanita untuk ditiduri. Jadi lebih baik berjaga di sini dan dapat upah."

"Puih." Gao Shan meludah ke samping. "Langit memang tidak adil. Tuan Muda Mo Long memiliki segalanya—kekuasaan, kekuatan, dan wanita yang cantik… semuanya datang padanya tanpa ia minta. Sementara kita? Harus bekerja keras hanya untuk makan."

WOOP!

Suara lembut terdengar di belakang mereka. Hu Wei melompat ke atas atap dengan gerakan ringan dan mendarat sempurna tanpa suara. Jubah hitamnya berkibar singkat sebelum ia berdiri tegap.

"Aku sudah berkeliling sekitar sini," katanya pelan tapi tegas. "Semua tampak aman. Tapi…"

Ia menatap ke sekitar, alisnya menaut. Matanya menyipit waspada.

"Aneh. Malam ini terasa terlalu sunyi. Tak ada suara jangkrik. Bahkan hewan lain pun seperti lenyap. Burung malam yang biasa berkicau di pohon bambu juga tidak terdengar."

Gao Shui mengangguk setuju. Ia menatap ke bawah halaman rumah, jemarinya tanpa sadar menggenggam gagang pedang naga perunggu di pinggangnya. Udara malam terasa makin dingin, menusuk sampai ke tulang.

"Bukan cuma sunyi," sela Gao Shan dengan nada sedikit tinggi. Napasnya membentuk uap putih di udara. "Bukankah malam ini juga terlalu dingin? Rasanya seperti ada sesuatu yang menyerap kehangatan di udara. Seperti... seperti ada makhluk halus di sekitar kita."

Mereka saling berpandangan.

Dan tepat saat itu—

Suara tangis lirih terdengar dari kejauhan. Tangisan anak kecil.

Lemah, bergetar, memohon.

"Tolong aku… tolong… sakit..."

Gao Shan spontan menoleh cepat, tubuhnya sudah bersiap melompat. "Apa itu?!" serunya, otot-ototnya menegang. "Ada anak yang membutuhkan bantuan!"

Namun tangan Hu Wei menahan bahunya dengan kuat. "Jangan," katanya tajam, matanya menyala waspada. "Itu ilusi. Seseorang ingin kita berpencar. Ini taktik klasik Tao Hitam."

Suara itu tiba-tiba berubah menjadi tawa. Tawa melengking seorang wanita, bercampur isak tangis, lalu lenyap begitu saja seperti tertiup angin.

Samar tercium bau bunga yang manis—terlalu manis. Wanginya menjadi semerbak, memenuhi udara hingga menyesakkan.

"Uhh.. wangi ini…" gumam Hu Wei, matanya tajam menyapu sekeliling. Tangannya sudah berada di gagang pedangnya. "Wangi bunga sakura di tengah musim gugur? Pasti makhluk itu."

Tanpa perlu aba-aba, ketiganya melompat turun dari paviliun menuju atap rumah Yaohua. Genteng berguncang pelan di bawah pijakan mereka. Kabut mulai menebal, bergulung naik dari halaman, menyelimuti sekitar seperti tangan-tangan putih yang meraih.

Suara wanita itu terdengar lagi—rintih lirih, lalu tawa yang menusuk telinga.

Hu Wei menyipitkan mata. "Jika suaranya terdengar dekat…" katanya pelan, tubuhnya menegang siaga.

"…berarti ia jauh," lanjut Gao Shui cepat, suaranya penuh kewaspadaan. Pedangnya sudah terhunus setengah.

Gao Shan memutar mata sambil menghunus pedangnya penuh. "Aahh, apa yang kalian bicarakan lagi? Suara dekat, jauh—sama saja bagiku! Yang penting kita potong kepalanya!"

Hu Wei menatapnya sekilas dengan ekspresi dingin. "Itu teknik Tao. Ia memanggil roh seorang wanita untuk menyerang kita. Roh itu bisa membelah diri menjadi beberapa bayangan."

SRAK! SRAK! SRAK!

Mereka serempak menghunus pedang sepenuhnya. Cahaya perak dari bilahnya memantul di bawah sinar bulan, menusuk kabut yang kian tebal.

Tawa dan tangisan itu semakin menjauh—

Lalu…

BRUSSH!

Sekelebat bayangan putih melintas di depan mata mereka, terlalu cepat untuk dilihat jelas.

Tiga bayangan muncul serentak dari kabut yang bergulung, melesat ke arah mereka dengan kecepatan mengerikan!

Satu menebas dengan kuku panjang seperti pisau ke arah Gao Shan—

KLANG!

Ia menangkis dengan cepat, Qi tebasannya menghantam keras, membuat ubin genteng di bawahnya pecah berkeping.

Bayangan kedua menyerbu Hu Wei dari udara, namun ia memutar tubuh dan menebas diagonal dengan kecepatan kilat—

SWOOSH!

Tubuh bayangan itu terbelah dua, berubah menjadi asap hitam yang mengepul sebelum menghilang.

Bayangan terakhir menyergap Gao Shui dari samping buta, membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh dari atap. Namun dalam sekejap, pedang naga perunggunya berputar cepat dan—

SRUK!

—menancap tepat di dada bayangan itu.

Asap putih berputar liar—tiga bayangan yang tadi mereka hadapi berubah menjadi kabut, berputar membentuk pusaran… kemudian menyatu kembali di udara.

Dari kabut itu, perlahan muncul sosok wanita berkulit pucat seperti kertas. Matanya hitam sepenuhnya tanpa putih mata, seperti lubang kosong yang menatap ke dalam jiwa. Mulutnya robek hingga ke belakang pipi, memperlihatkan deretan gigi tajam. Rambut panjangnya menjuntai sampai ke mata kaki, dan tubuhnya diselimuti aura Qi putih yang membentuk kain transparan seperti kabut hidup.

Hu Wei melangkah mundur, matanya melebar. Keringat dingin menetes di pelipisnya. "Itu…" suaranya tercekat.

"Kuchisake-onna!" serunya akhirnya dengan nada penuh peringatan. "Roh wanita bermulut robek! Jangan lihat matanya langsung!"

Wanita iblis itu menoleh perlahan ke arah mereka, gerakannya tidak natural seperti boneka yang digerakkan. Senyumnya menampakkan deretan gigi tajam yang berlumuran darah hitam.

"Cantikkah aku?" suaranya serak seperti batu digesek, bergema dari segala arah.

Gao Shan menegakkan pedang, Qi Bayangan mengalir ke bilahnya. "Cantik pantatmu! Kembalilah ke neraka!"

Dalam sekejap, tiga makhluk itu kembali melesat ke arah mereka. Kuku panjangnya berkilat tajam di bawah cahaya bulan seperti pisau yang menghunus.

KLANG! KLANG! KLANG!

Hu Wei menangkis serangan pertama dengan cepat—percikan api muncul dari benturan—lalu berputar menebas dengan kekuatan penuh.

Gao Shui bergerak bersamaan, menyilang pedangnya menahan dua serangan dari sisi kiri. Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah, genteng retak di bawah kakinya.

Gao Shan hampir terpental saat menangkis tebasan ketiga yang brutal, napasnya memburu. "Gila, kekuatan roh ini bukan main! Ini bukan roh biasa!"

Tiba-tiba, dari sisi lain atap, terdengar suara—

BOOM!

Seorang pria besar melesat keluar dari kabut bagaikan meteor—bertopeng merah bermotif iblis, mengenakan jubah hitam bertudung. Gerakannya cepat, hampir seperti bayangan. Aura Qi jingga berkobar di sekitar tubuhnya.

Ia langsung menyerang Gao Shan dari belakang tanpa peringatan!

KLANG!!

Benturan keras membuat Gao Shan mundur tiga langkah, hampir jatuh dari atap. Tangannya gemetar menahan pedang.

SRAK! SRAK!

Tiga tebasan Qi jingga dari cakaran pria bertopeng itu membuat Gao Shan terhempas ke bawah, tubuhnya menghantam tanah dengan keras.

BRAK!

Pria bertopeng itu melompat mengejarnya, siap menghabisi.

"Gao Shan!" Gao Shui berteriak panik.

Hu Wei belum sempat membantu—tiga Kuchisake-onna mengitari mereka berdua, menyerang bertubi-tubi. Satu makhluk bersayap tambahan muncul dari kabut, terbang melayang mendekat dengan cakar terbuka.

BRAAAKK!

Pada saat bersamaan, dari depan rumah Yaohua terdengar suara keras memekakkan. Pintu utama rumah pecah dihantam paksa, serpihan kayu beterbangan ke segala arah.

Dari luar pintu muncul sosok pria berjenggot lebat dengan mata merah menyala. Urat-urat hitam menonjol di wajahnya seperti cacing yang bergerak. Mulutnya menganga, mengeluarkan suara seperti binatang buas yang kehilangan kendali.

"GRRAAAAGHH!!"

Ia mengaum dan menerobos masuk ke dalam rumah dengan kekuatan brutal, menghancurkan semua yang dilaluinya.

Hu Wei langsung melompat turun dari atap, menebas satu Kuchisake-onna yang mencoba menghalanginya. Pedangnya menembus kepala makhluk itu—

BOOM!

—membuatnya meledak menjadi kabut putih yang menyebar.

"TUAN!! PENDEKAR QI—" teriak Hu Wei lantang dengan suara penuh panik, berlari secepat kilat menuju rumah Yaohua yang kini dipenuhi suara benturan keras dan teriakan.

KLANG! KLANG!

Suara pedang bertemu terdengar dari dalam—diikuti ledakan Qi yang membuat jendela pecah.

Kabut menebal. Tawa Kuchisake-onna bergema di malam yang kelam.

1
Meliana Azalia
Kejamnya~
Meliana Azalia
Ngegas muluk
Ronny
Bertarung berdua nih ❤️
Ronny
Cu Pat Kai: ‘’Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir’’
Ronny
Kayak tom and jerry gao shan sama gao shui wkwk
Ronny
Aya aya wae 🤣
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Dwi Nurdiana
aww manisnya kisah cinta janda sama brondong ini
Dwi Nurdiana
aih pertarungan bagai dansa di malam hari😍
Dwi Nurdiana
min mao ini ya emang minta dicubit
Dwi Nurdiana
babii🤭
Dwi Nurdiana
wkwkwk rasain 🤭
Dwi Nurdiana
awal yang tragis tapi seru😍
Abdul Aziz
awal yang bagus dan menegangkan, lanjutin thor penasaran gimana si mo long ngumpulin kekuatan buat balas dendam
Abdul Aziz
paling gemes sama musuh dalam selimut apalagi cewe imut/Panic/
Ren
mampus mo feng!!
Ren
up terus up terus!
Ren
fix pelayanan min mao
Ren
hampir ajaa
apang
si mo long harus jadi lord kultus iblis!!!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!