Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARMIN MANDI BESAR
Jam 6 pagi. Sri sudah bersiap untuk membuka warung baksonya. Semuanya sudah siap. Wanita itu mempersiapkan semuanya tanpa bantuan dari Karmin. Dia memang sengaja tidak membangunkan sang suami.
"Buk, Ghea mau berangkat," kata gadis yang duduk di bangku kelas 2 SMP itu. "Minta uang saku."
Sri langsung memberikan selembar uang berwarna biru kepada putrinya. "Ini untuk jatah tiga hari."
"Oke, Buk." Gadis itu mengangguk senang.
"Semalam Ibu ke mana? Kok keluar di tengah malam?" sambungnya.
"Ibu pergi ke rumah nenekmu, karena nenekmu butuh uang," jawab Sri ngasal.
"Nenek mah butuh uang terus. Padahal setiap hari dia selalu meminta uang kepada Ayah," kaya Ghea.
"Iya, biarin. Nenekmu kan memang begitu. Bagi Ibu, memberikan uang kepada nenekmu itu jauh lebih baik daripada mendengarkan dia mengomel tiada henti sehari semalam tanpa jeda. Pusing pala berbie lah." Sri terkekeh.
"Nenek mah memang cerewet."
"Hus! Gak boleh bilang gitu, Nak. Dia sebenarnya baik, kok. Hanya saja, dia suka ngomel."
"Dan suka minta uang, hehehe." Ghea terkekeh.
"Weh, gak boleh bilang begitu juga. Nanti kalau ayahmu dengar, kamu dimarahi, lho."
"Eehhhmm, baiklah, Buk."
"Dah sana berangkat, Ibu sudah mengeluarkan sepedamu di teras. Bekalnya sudah ibu masukin di dalam tasmu."
"Yo wes, Ghea mau berangkat ya, Buk. Ayah mana?"
"Tuh di kamar, bangunin sana. Udah waktunya jualan juga. Biar dia jaga warung, Ibu mau nyuci baju." Sri mencebik seraya mengiris beberapa sayur kol dan juga daun bawang untuk pelengkap bakso.
Gadis itu pun langsung berlari memasuki kamar orang tuanya dan membangunkan sang ayah.
"Yah, bangun, Yah. Aku mau berangkat," ucapnya sambil mengguncang tubuh Karmin.
Karmin menggeliat seraya mengucek dua matanya. Dia menggeliat lagi untuk meluruskan otot-otot yang terasa menegang saat ia tidur meringkuk semalaman.
"Jam berapa ini, Nduk?"
"Jam 6 lebih."
"Haaah? Edan! Kok sudah jam enam? Ibumu gak bangunin Ayah! Mati Iki! Warung harus buka jam setengah 7 karena orang-orang pabrikan dan orang pasar, plus langgananku yang lain ... biasanya membungkus bakso atau nyunduk pentol jumbo."
"Ibu sudah buka warung kok. Ayah sih, kebanyakan molor!" Ghea berdecak.
"Lho, Iyo, tah?"
"Hemmm."
"Wah, tumben ibumu rajin?"
"Dari dulu kan Ibu memang rajin, Ayah itu yang pemalas!"
"Eh bukannya pemalas, Ayah hanya merasa agak meriang karena semalam tidur terlambat."
"Ya wes, Ghea mau berangkat. Salim!" Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan sang ayah.
"Sudah minta uang saku sama ibumu?"
"Sudah."
"Yo wes, hati-hati di jalan."
"Oyi. Assalamualaikum."
"Wa alaikum salam."
Setelah anak gadisnya meninggalkan kamar, Karmin pun segera bangun dan berjalan ke halaman rumahnya. Benar saja, Sri sudah membuka warung dan bahkan sudah melayani beberapa pembeli.
Karmin menghampiri istrinya dengan cengengesan. Dia hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih dan sarung kotak-kotak yang ia lilitkan sampai di dadanya.
"Kok gak bangunin?" ucapnya seraya menatap sang istri.
"Katanya capek? Tadi sudah aku bangunin berkali-kali. Selusin kali lebih!" Sri menjawab sekedarnya.
"Kamu gak ke pasar?"
"Ya nunggu kamu bangun lah, Mas? Emangnya siapa yang mau menjaga warung kalau aku ke pasar? Demit? Lagi pula aku belum nyuci baju!" Wajah Sri menekuk. Setiap hari memang begitu. Karmin sudah hafal dengan ekspresi wajah Sri yang selalu nampak merengut.
"Yo wes, aku mau mandi dulu, setelah itu aku yang jaga warung. Kamu boleh ke pasar atau ke mana pun sesuka hatimu." Pria cungkring itu menyahuti.
Melihat suaminya mengenakan sarung yang terpasang sampai meninggi di dadanya, membuat Sri mengingat sarung yang dipakai oleh Sulis semalam. Hal itu membuat Sri tiba-tiba merasa mual.
"Kamu kenapa, Dek?"
"Gak apa-apa, hanya sedikit pusing. Kelelahan!"
"Makanya, jangan keluyuran tengah malam. Jangan begadang. Jangan menyiapkan bahan-bahan untuk jualan sendirian. Yee ... sok-sokan kuat seperti Superwoman, kalau sudah kelelahan begini, nanti malah muntah-muntah dan sakit." Karmin menggerutu.
"Iya, maaf." Sri mendudukkan bokongnya di kursi yang paling ujung.
"Untung saja kamu mualnya menghadap ke sana, kalau kamu menghadap ke situ ... nanti malah dilihat orang-orang yang lagi sarapan bakso. Bisa-bisa kabur tuh semua pelanggan gara-gara kamu!" Karmin berbisik di telinga istrinya dengan penuh penekanan.
"Iya, maaf." Lagi, Sri hanya mendengkus pelan.
"Aku sudah tahu kok, makanya aku mual menghadap ke wajahmu. Jadi, kalau aku muntah ya biar aku muntah di wajahmu!" tegasnya.
"Kalau kamu capek, istirahat saja! Jangan judes begitu." Karmin mencebik.
"Iya, maaf."
"Kok maaf terus sih, Dek?"
"Ya namanya juga salah, ya harus minta maaf lah."
"Kamu masih marah gara-gara kemarin dan semalam?"
"Gara-gara apa sih?" Sri mencebik.
"Ya, kemarin kan aku ngomel ke kamu karena kamunya berdebat dengan Sulis di warung. Terus semalam ... aku juga mengomelimu gara-gara kamu mendatangi rumah Sulis." Karmin kembali berbisik di telinga istrinya agar percakapan mereka tidak didengar oleh pembeli bakso yang duduk agak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Tidak."
"Kok jutek gitu wajahmu?"
"Ya dari dulu kan wajahku memang jutek begini. Kata orang-orang ... ini adalah efek karena aku kegemukan. Jadi semacam penuaan dini lah." Sri terkekeh.
"Ah, kata siapa? Kamu masih tetap cantik kok meski pun kamu gendut."
"Ah, kamu mah banyak bohongnya, Mas!"
Karmin terdiam sesaat.
Melihat suaminya bengong, Sri pun tidak menggubrisnya. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil beberapa pentol dari dalam freezer.
Karmin pun mengekor di belakang sang istri seraya menggaruk kepalanya. "Dek, kenapa kamu bilang aku banyak bohongnya? Apakah ada sesuatu yang membuat kamu merasa ku-bohongi?" Wajah pria itu nampak pias.
"Enggak juga." Sri menjawab sekadarnya.
"Serius, Dek. Aku kan jadi gak enak."
"Gak enak lapo?!"
"Ya merasa gak enak saja kalau istriku sampai mengecapku sebagai pria yang sering berbohong." Karmin mecucu panjang.
"Ya kamu pikir sendiri sebagai manusia dewasa! Kira-kira kamu sering berbohong apa tidak kepada istrimu yang gendut dan jelek ini?" Suara Sri meninggi, tapi tidak ada intonasi emosi. Hanya sedikit sindiran dan kata-kata pancingan.
"Ya ... namanya seorang manusia, kan pasti banyak khilafnya, Dek. Kalau soal bohong kecil-kecilan sih pasti pernah." Karmin terkekeh.
"Lah, itu dia. Pikir sendiri!"
"Tapi Aku tidak pernah berbohong dalam hal-hal yang besar kok, Dek."
"Ya terserah kamu lah, Mas. Meskipun kamu mau berbohong dalam hal besar pun, aku tak mengapa." Sri melirik sekilas kepada suaminya, kemudian berlalu keluar sambil membawa satu kotak pentol yang ia ambil dari dalam lemari es.
Karmin nampak manggut-manggut sambil menatap punggung sang istri yang kian menjauh dari pandangannya. Pria itu memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan bebersih diri.
Sebelum masuk ke kamar mandi, Karmin menyempatkan diri untuk mampir di meja makan dan menyomot beberapa potong siomay goreng dan bakwan plus petis pedas yang tersaji di atas meja makan. Pria itu nampak kelaparan.
HEEEEGGGG!
"Ahh, kenyang juga makan gorengan. Sri memang istri yang paling pintar memanjakan perut." Karmin kembali bersiul-siul seraya terus menikmati weci hangat bikinan sang istri.
"Mandi saja lah. Belum mandi besar nih ye, heheheh." Pria itu terkekeh.
"Ngapain mau mandi besar segala?" Suara Sri yang menggelegar membuat jantung Karmin serasa hampir berhenti berdetak dan melompat keluar dari dalam kerongkongannya.
Karmin memaksa lehernya untuk menoleh dan memastikan sosok yang berteriak di belakang posisi duduknya yang tengah menghadap ke tembok.
"Eess ess ess essrriiiiii?"
CLEGUK.
Pria itu menelan saliva dengan susah payah.
"Habis ngapain kok mau mandi besar?"