MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Pak Rio
Mobil sedan hitam Andika meluncur membelah jalanan kota yang masih diselimuti mendung tipis. Di balik kemudi, jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Ia berkali-kali merapikan dasi hitamnya melalui cermin tengah, mencoba menghapus sisa-sisa kemarahan dari wajahnya dan menggantinya dengan topeng kedukaan yang meyakinkan.
Sesampainya di kompleks pemakaman, suasana sudah tampak penuh sesak. Barisan payung hitam dan kerumunan orang berbaju gelap mengelilingi liang lahat yang masih menganga. Aroma tanah basah dan bunga kamboja menyeruak saat Andika turun dari mobil.
Ia berjalan dengan langkah gontai, kepalanya tertunduk, sesekali menyeka sudut matanya yang kering seolah sedang menahan tangis. Di tengah kerumunan itu, sosok tinggi tegap Pak Rio berdiri dengan wibawa yang tak tergoyahkan, meskipun raut wajahnya tampak sangat lelah.
"Papa..." sapa Andika dengan suara yang dibuat serak dan bergetar saat ia mendekat.
Pak Rio menoleh. Tatapannya yang tajam dan dingin menusuk tepat ke arah Andika. Ia tidak membalas pelukan yang hendak diberikan menantunya itu, melainkan hanya mengangguk singkat.
"Kamu hampir terlambat, Andika," ucap Pak Rio datar.
Suaranya rendah namun penuh penekanan.
"Maafkan saya, Pa. Keadaan Rahayu... dia mendadak drop tadi pagi. Saya tidak tega meninggalkannya sebelum dia benar-benar tenang setelah diberi obat oleh Mama," bohong Andika dengan lancar, wajahnya menunjukkan ekspresi bersalah yang dibuat-buat.
Pak Rio tidak langsung menyahut. Ia kembali menatap prosesi pemakaman di depannya.
"Seharusnya kamu menghubungi saya lebih cepat. Sejak mendarat, saya merasa ada yang tidak beres. Kenapa Rahayu tidak bisa dihubungi sama sekali?"
Andika menelan ludah, tenggorokannya mendadak terasa kering.
"Ponselnya... terjatuh dan rusak saat dia mencoba bangun dari tempat tidur kemarin, Pa. Dia sedang sangat sensitif karena kondisinya."
Suasana semakin hening saat jenazah Pak Baskoro mulai diturunkan ke dalam liang lahat. Lantunan azan menggema di area pemakaman, menambah kesan sakral dan pilu. Andika berdiri di samping Pak Rio, berusaha menunjukkan simpati dengan ikut menaburkan bunga dan tanah.
Namun, Pak Rio tetap menjaga jarak. Dinginnya sikap sang mertua membuat nyali Andika ciut. Pria tua itu tampak seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu di dalam kepalanya.
Setelah doa terakhir dipanjatkan dan para pelayat mulai berangsur pergi, Pak Rio mengusap nisan kayu Pak Baskoro dengan perlahan.
"Baskoro adalah orang kepercayaan saya. Kematiannya terlalu mendadak," gumam Pak Rio, lebih kepada dirinya sendiri. Ia lalu berbalik dan menatap Andika dengan saksama.
"Andika, saya tidak akan pulang ke mansion saya malam ini."
"Oh, begitu ya, Pa? Kalau begitu saya akan antar Papa ke hotel untuk istirahat," sahut Andika dengan nada lega yang sulit disembunyikan.
"Tidak," potong Pak Rio cepat.
"Antar saya ke mansion kalian ekarang. Saya ingin melihat putri saya dengan mata kepala saya sendiri. Sekarang juga."
Andika membeku sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Ia belum tahu apakah ibunya sudah berhasil "merapikan" Rahayu atau belum.
"Tapi Pa, bukankah sebaiknya Papa istirahat dulu? Rahayu mungkin sedang tidur karena pengaruh obat."
"Andika," suara Pak Rio meninggi satu oktav, "kamu tidak sedang mencoba menghalangi seorang ayah untuk melihat anaknya yang sakit, kan?"
"Tentu tidak, Pa. Tentu tidak," jawab Andika cepat dengan wajah pucat.
Sepanjang perjalanan menuju mansion, suasana di dalam mobil terasa sangat mencekam. Pak Rio hanya diam menatap keluar jendela, sementara Andika diam-diam mengirimkan pesan singkat ke ibunya di bawah kemudi:
"PAPA MENUJU MANSION SEKARANG. PASTIKAN SEMUA BERES!"
Andika hanya bisa berharap Bu Citra telah menyelesaikan "tugasnya". Jika Rahayu membocorkan sedikit saja rahasia tentang penyiksaan itu, ia tahu hidupnya benar-benar akan berakhir di tangan Pak Rio.
Ban mobil sedan hitam itu berhenti dengan suara mendecit halus di depan lobi mansion. Andika bergegas turun dan membukakan pintu untuk mertuanya, sementara tangannya yang lain dengan gemetar menyembunyikan ponsel ke dalam saku jas. Ia melirik ke arah pintu besar mansion yang tertutup rapat, berharap ada pertanda bahwa ibunya sudah menerima peringatan darinya.
"Silakan, Pa," ujar Andika, suaranya sedikit melengking karena cemas.
Pak Rio melangkah masuk tanpa menunggu. Aura kepemimpinannya memenuhi ruangan yang mendadak terasa dingin. Di ruang tengah, Bu Citra sudah berdiri menyambut dengan senyum yang dipaksakan. Di sampingnya, Bi Surti menunduk dalam, tangannya saling meremas satu sama lain.
"Oh, Pak Rio... Turut berduka cita atas kepergian Pak Baskoro," sapa Bu Citra dengan nada yang dilebih-lebihkan.
"Rahayu baru saja terlelap. Kasihan sekali, dia terus mengigau memanggil Papa sejak pagi."
Pak Rio tidak menggubris basa-basi itu.
"Di mana dia?"
"Di kamarnya, Pa. Mari saya antar," Andika mencoba mendahului, namun Pak Rio sudah melangkah lebih dulu menuju tangga seolah ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan di atas sana.
Pintu kamar terbuka pelan. Cahaya lampu kamar diredupkan, hanya menyisakan lampu tidur yang temaram. Rahayu terbaring di balik selimut tebal hingga sebatas dada. Wajahnya terlihat tenang, namun Pak Rio langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Pak Rio mendekat dan duduk di tepi ranjang. Ia mengamati wajah putrinya dengan saksama. Alisnya bertaut.
"Kenapa dia memakai make-up setebal ini saat sedang sakit?" tanya Pak Rio dingin, suaranya menggelegar di keheningan kamar.
Andika dan Bu Citra saling lirik. Bi Surti, yang berdiri di pojok ruangan, tampak gemetar hebat.
"Itu... Rahayu tadi bersikeras ingin terlihat cantik saat menyambut Papa datang," Bu Citra mencoba membela diri.
"Dia tidak mau Papa melihat wajahnya yang pucat pasi karena sakit."
Pak Rio tidak menjawab. Ia menyentuh pipi
Rahayu. Tekstur bedak yang tebal terasa kasar di bawah jemarinya. Di bawah sapuan foundation yang berat itu, ia melihat bayangan kebiruan yang mencoba menyembul di sudut tulang pipi dan sekitar pelipis. Lebih mencurigakan lagi, Rahayu memakai syal sutra tipis yang melilit lehernya, padahal suhu kamar sedang diatur cukup hangat.
"Sejak kapan Rahayu suka memakai riasan tebal saat tidur, Andika? Bahkan saat pernikahan kalian pun, dia lebih suka tampil natural," Pak Rio menoleh perlahan ke arah menantunya. Matanya kini berkilat penuh selidik.
"Mungkin... pengaruh hormon karena kondisinya yang tidak stabil, Pa," jawab Andika, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Pak Rio tidak percaya begitu saja. Ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh syal di leher Rahayu untuk melihat apa yang disembunyikan di sana.
"Jangan, Pa! Dia bisa terbangun!" seru Andika sedikit terlalu keras.
Langkah Pak Rio terhenti. Ia menatap Andika dengan pandangan menghina. Kemudian, ia beralih ke Bi Surti yang sejak tadi tidak berani mendongak.
"Kamu," panggil Pak Rio dengan suara rendah yang mengancam.
"Ambilkan air hangat dan handuk kecil. Sekarang. Saya ingin membersihkan wajah putri saya agar dia bisa bernapas dengan lega tanpa topeng bedak ini."
Andika membeku. Ia tahu, sekali usapan handuk itu mendarat di wajah Rahayu, kebohongannya akan runtuh berkeping-keping.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏