menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 12:ujian pertama sebagai penyihir
Di salah satu bangunan tertinggi Akademi Agreta, sebuah ruangan khusus dipenuhi rak buku kuno dan jendela-jendela tinggi berbingkai perak. Dari sana, seluruh kompleks akademi bisa terlihat jelas—lautan murid baru yang datang dengan ambisi, ketakutan, dan harapan masing-masing.
Di dalam ruangan itu, Vermila Serguire—High Magnus of Blood—duduk tenang sambil membaca buku tebal berkulit hitam. Meski statusnya telah lama melampaui akademi, sebagai high magnus, ia memiliki hak mutlak untuk keluar-masuk tempat ini sesuka hati.
Perlahan, Vermila menutup bukunya dan menatap keluar jendela.
“Hmm… banyak sekali anak-anak yang ingin menjadi penyihir,” gumamnya datar.
“Luar biasa… atau mungkin konyol.”
Sudut bibirnya terangkat tipis.
“Lucyfer Iglesias… adik Elice ternyata benar-benar datang ke Akademi Agreta.”
“Tatapannya berbeda dari dua tahun lalu. Ada luka… dan tekad.”
“Tak buruk.”
Namun matanya mengeras.
“Meski begitu, dunia sihir tidak selembut harapan manusia.”
Dari telapak tangannya, darah merembes keluar—mengeras, memanjang, lalu membentuk sebuah sabit merah pekat. Aura dingin menyelimuti ruangan. Vermila berdiri, berjalan perlahan menuju pintu.
Saat pintu itu tertutup—
Srack.
Srack.
Srack.
Dalam satu ayunan ringan, sabit darahnya menari di udara. Seluruh buku di ruangan itu terbelah rapi menjadi dua, jatuh ke lantai tanpa suara keras. Tak ada amarah. Tak ada usaha berlebihan.
Itu hanyalah bukti.
High Magnus berada jauh di atas penyihir biasa.
Sementara itu, di tribun utama Akademi Agreta, ribuan murid tahun pertama telah duduk berjejer. Suasana riuh rendah dipenuhi bisikan, tawa gugup, dan sorot mata penuh ambisi.
Lucyfer berjalan masuk bersama Elviera dan duduk di salah satu barisan tengah.
Ia menyapu pandangan ke sekeliling.
Banyak sekali…
Dan hampir semuanya bangsawan.
Namun ekspresinya tetap dingin.
Tak penting.
Status tak menentukan apa pun.
Di saat yang sama, seorang pria dengan jubah penyihir kelas tinggi melangkah ke tengah arena. Rambutnya perak, tatapannya tajam, auranya menekan.
Dialah Claude Monet—penyihir senior Akademi Agreta.
“Perhatian untuk seluruh murid tahun pertama.”
Suara Claude menggema, membuat tribun seketika hening.
“Mengingat jumlah pendaftar tahun ini terlalu banyak,” lanjutnya,
“pihak akademi memutuskan untuk langsung mengadakan ujian seleksi.”
Keributan kecil pun muncul.
“Ujian? Sekarang?”
“Bukannya tes masuk sudah selesai?”
“Kalau gagal… kita langsung dikeluarkan?”
Claude mengangkat tangannya, membuat suasana kembali sunyi.
“Tenang.”
“Ini baru permulaan.”
Puluhan kertas ujian melayang di udara, bergerak sendiri dan mendarat di hadapan setiap murid.
Claude tersenyum tipis.
“Ini adalah ujian kemampuan berpikir kalian.”
“Oh, dan satu hal lagi.”
“Tahun ini ada dua ujian.”
“Siapa pun yang gagal—akan langsung keluar dari Akademi Agreta.”
Nada suaranya dingin. Mengancam.
Lucyfer menatap kertas di depannya.
Soal-soalnya… aneh.
Tak ada simbol sihir yang dikenal. Tak ada teori umum. Tak ada satu pun yang pernah tertulis di buku sihir mana pun.
Alis Lucyfer sedikit berkerut.
Di sampingnya, Elviera juga diam—tapi matanya bergerak cepat, menganalisis.
“Tuan Muda,” bisiknya pelan.
“Apakah Anda menyadari hal yang sama denganku?”
Lucyfer tak menjawab, hanya mengangguk tipis.
“Ini bukan ujian berpikir,” lanjut Elviera dingin.
“Ini ujian keputusan.”
“Apakah kita memilih menjawab… atau tidak.”
Lucyfer tersenyum samar.
“Jadi ini jebakan,” gumamnya.
“Hebat juga. Soal tanpa jawaban benar.”
Ia melirik ke arah para guru yang berdiri di kejauhan—memperhatikan setiap gerakan murid.
Siapa yang panik…
Siapa yang ragu…
Siapa yang cukup tenang untuk tidak bertindak.
Saat waktu habis, kertas-kertas itu terangkat kembali dan dikumpulkan dengan bantuan sihir.
Claude menatap hasilnya sekilas, lalu menghela napas kecil.
“Baiklah,” katanya lantang.
“Aku akui—ini bukan ujian kemampuan berpikir.”
“Melainkan ujian pengambilan keputusan.”
Ia menunjuk papan besar di belakangnya.
“Empat ratus nama yang tertera di papan ini—silakan keluar.”
Nama-nama muncul satu per satu.
Tangisan. Protes. Wajah pucat.
Yang tersisa hanyalah ratusan murid.
Lucyfer dan Elviera tetap duduk.
Namun Lucyfer tahu satu hal—
Ini belum apa-apa.
Akademi Agreta baru saja membuka pintunya.
Dan neraka dunia sihir…
Baru mulai menunjukkan wajah aslinya.