Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: BAYANGAN YANG BANGKIT, NAGA YANG TERPURUK
“Apa kau yakin dengan taruhan itu?”
Suara berat terdengar dari sisi bangku peserta. Seorang pemuda bertubuh tambun dengan wajah dipenuhi tahi lalat hitam besar di pipi kanan menatap ke arena dengan gelisah. Namanya Ryouken, salah satu sahabat kepercayaan Mo Feng. Matanya yang sipit menyiratkan kecemasan yang jarang ia tunjukkan.
“Aku merasakan aura yang berbeda dari Mo Long. Itu bukan anak lemah yang dulu kita jadikan samsak…”
Ucapan itu membuat Mo Feng terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. Di kepalanya berkelebat kilasan ingatan satu tahun lalu.
Kala itu, Mo Feng baru pulang dari perguruan tinggi. Di halaman belakang klan, ia menemukan Mo Long yang sedang menyapu. Tubuh kecil itu kurus, wajah pucat, tatapan penuh ketakutan. Hanya dengan melihat bayangan Mo Feng saja, Mo Long langsung menunduk, gemetar hebat.
“Dasar aib keluarga,” Mo Feng mendesis kala itu.
“Hormat… hormat saya, Kakak Tertua,” cicit Mo Long sambil berlalu.
“Hei, Mo Fei, Mo Shou, Mo Hu. Kebetulan sekali,” panggil Mo Feng pada adik-adiknya yang lain. “Kalian lihat aib klan yang sedang berjalan di sana? Pukuli dia. Buat dia sadar di mana tempatnya.”
Seketika itu juga, ketiga bocah yang memuja Mo Feng itu melesat. Tendangan, pukulan, dan serangan yang dibalut Qi hitam menghantam tubuh kecil Mo Long tanpa ampun.
Bocah itu mencoba melawan, menangkis canggung, melempar debu, bahkan sempat menjegal Mo Fei hingga terhuyung. Mo Long hampir berhasil kabur, namun Mo Feng yang melihatnya hanya mendengus, lalu mengejar dengan satu langkah ringan.
Satu tendangan santai yang dibalut Qi hitam menghantam punggung Mo Long.
BUAGH!
Mo Long tersungkur mencium tanah, darah segar muncrat dari mulutnya. Tatapan mata Mo Long saat itu—tatapan seekor anjing yang dipukul tuannya—masih melekat jelas dalam ingatan Mo Feng.
Kini, di arena ujian, Mo Feng menatap Mo Long yang berdiri tegak. Sosok itu berbeda, namun egonya menolak mengakui.
Ia mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. “Tidak peduli seberapa banyak ia berubah, dia baru saja membangkitkan Qi. Dia pasti belum bisa menguasainya dengan benar. Mungkin dia bisa lolos… tapi lebih cepat dariku? Mustahil. Aku adalah jenius klan ini.”
Di sebelah Ryouken, seorang pemuda kurus dengan wajah panjang dan bibir tipis cekung terkekeh licik. Namanya Akira. “Aku tidak sabar,” katanya sambil menjilat bibir keringnya. “Aku ingin memukul wajah sombong Mo Long itu. Aku ingin mendengar dia merintih, memohon ampun di bawah kakiku seperti dulu.”
Mo Feng menoleh, senyumnya kejam. “Kau boleh memukulnya sesukamu… setelah aku selesai mematahkan tulangnya.”
Sementara itu, Daigo—pemuda berwajah tirus dengan bekas luka panjang di pelipis kiri—hanya menghela napas. Dialah yang paling tenang. Ia menatap punggung Mo Long dengan mata penuh perhitungan.
‘Menangkis tendangan Mo Feng yang brutal tadi tanpa goyah… itu tidak wajar. Anak itu… jelas menyembunyikan kekuatan mengerikan,’ batin Daigo. Namun ia memilih diam. ‘Yah… meski Feng kalah taruhan, dia tidak akan mungkin mau dipukuli oleh pelayan rendahan. Ego-nya terlalu tinggi.’
TENG!
Denting lonceng nyaring menggema, membuyarkan lamunan mereka.
Mo Long memasuki Arena Pertama. Ia berdiri santai di tengah lingkaran kecil. Empat balok kayu ulin raksasa tergantung di gawang sekelilingnya, siap mengayun.
“Mulai!” teriak penguji.
WOOSH!
Empat balok raksasa mengayun serentak dari empat penjuru, menghantam ke arah tubuh Mo Long dengan suara angin yang menderu. Penonton bersorak, sebagian menutup mata, menanti bunyi tulang patah.
Namun yang terjadi justru keheningan.
Dengan satu hentakan kaki pelan, Mo Long melepaskan gelombang Qi Bayangan.
Bukan ledakan, melainkan ekspansi aura hitam pekat yang korosif. Seperti asap padat yang meledak dari pusat tubuhnya.
BLARR!
Hempasan angin dahsyat merobek rantai baja penahan balok hingga putus. Balok-balok kayu seberat ratusan kilo itu terlempar keluar arena seolah terbuat dari gabus, jatuh bergemuruh menghancurkan pagar pembatas.
Debu membumbung tinggi. Suasana mendadak hening total.
“Apa-apaan itu?!” teriak salah satu penguji dengan wajah pucat. “Dia menghancurkan properti ujian?!”
Mo Feng berdiri kaku di tribun, matanya membelalak. “Mustahil…” desisnya, suaranya tercekat.
Mo Long hanya berdiri di tengah puing-puing, tersenyum dingin, lalu menoleh ke arah Mo Feng di tribun. Matanya tajam bagai pisau yang baru diasah. Tatapan itu seolah berkata: ‘Lihat baik-baik, Kakak.’
Arena Kedua.
Mo Long berdiri lagi di tengah lingkaran yang lebih besar. Suara mekanisme pegas berderak ribut. Ratusan lubang meriam kecil terbuka dari sisi dinding arena.
“Mulai!”
Wush! Wush! Wush!
Bola-bola tanah liat keras sebesar kepalan tangan ditembakkan deras dari segala arah bagaikan hujan meteor.
“Ini tidak mungkin bisa dia lewati dengan sempurna,” Ryouken bergumam, suaranya bergetar.
Tapi Mo Feng tetap bungkam. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Dalam hatinya, pertanyaan membuncah. ‘Qi Bayangan… seharusnya sulit dikendalikan. Tapi ledakan tadi? Itu kontrol tingkat tinggi!’
BRAAAKK!
Mo Long tidak menghindar. Ia melompat tinggi, tubuhnya berputar di udara melawan gravitasi. Qi hitam pekat melesat dari kakinya, memancar deras, menciptakan gelombang tornado hitam.
“Pukulan Sayap Naga!”
Ratusan bola tanah liat itu tersapu habis oleh pusaran Qi-nya, pecah menjadi debu halus yang beterbangan ke segala arah sebelum sempat menyentuh ujung jubahnya.
Mo Long mendarat mulus tanpa suara, berdiri tepat di tengah lingkaran. Bersih. Tanpa goresan.
Sorak-sorai penonton pecah, mengguncang stadion.
Mo Long tersenyum tipis. ‘Tak kusangka… teknik putaran yang dulu sering kugunakan di kehidupan lalu, bila dipadukan dengan Qi Bayangan yang berat ini… hasilnya sungguh destruktif.’
Arena Ketiga.
Keheningan kembali menggantung, namun kali ini penuh antisipasi. Udara menegang. Semua mata tertuju pada bocah Klan Naga Bayangan yang baru saja membalikkan logika.
Hu Wei berdiri di pinggir arena, tangannya gemetar memegang pagar. ‘Tuan… jangan bilang kau benar-benar akan…’
Seorang pria tinggi besar masuk ke arena. Di punggung jubahnya tertulis jelas satu kata emas: KETUA.
Rambutnya disanggul rapi, bekas luka melintang di wajah. Matanya tajam, tubuhnya tegak bagaikan tembok baja. Ini adalah Ketua Penguji, seorang pendekar Ranah Guru tingkat akhir.
Ia menatap Mo Long, suaranya berat bergema. “Melihat kemampuanmu menghancurkan arena, aku tahu bawahan-bawahanku tak akan bisa menahanmu. Biar aku sendiri yang mengujimu.”
Mo Long hanya berdiri diam, matanya mengamati pria itu.
“Kau mungkin bisa lolos, Bocah. Tapi jangan harap aku akan menahan diri.”
Mo Long menunduk sedikit, tatapannya membara. “Justru itu yang aku mau. Jangan menahan diri, atau kau akan menyesal.”
Kakinya melebar, membentuk kuda-kuda kokoh. Tangan kirinya mengepal ke depan, tangan kanannya menekuk ke dalam. Aura Qi berwarna hitam pekat mulai bergetar mengelilingi tubuhnya, mengeluarkan suara mendengung rendah.
TENG!
Lonceng berbunyi.
WUSHH!
Dalam sekejap mata, Mo Long menghilang dari pandangan orang awam. Ia meluncurkan pukulan tangan kanan. Bayangan tangan hitam raksasa terbentuk dari Qi, melesat menghantam udara dengan kecepatan menakutkan.
Ketua Penguji terbelalak. Ia menyilangkan dua lengan bawahnya yang diselimuti Qi jingga pelindung.
DUAR!
Benturan itu menciptakan gelombang kejut. Tubuh Ketua Penguji terseret mundur. Kakinya menggores lantai batu hingga menciptakan parit kecil, hampir terhempas keluar arena.
Belum sempat ia menarik napas, Mo Long sudah berada di udara, tepat di atas kepalanya.
“Tendangan Naga Bayangan Menyelam.” Suaranya nyaris lirih, namun bergema jelas.
Bayangan seekor naga hitam menukik dari langit, menyatu dengan kaki Mo Long yang menghunjam ke bawah.
BOOOM!
Pertahanan Ketua Penguji hancur. Tubuhnya terlempar jauh seperti boneka kain, menabrak pagar arena hingga kayu-kayu tebal itu patah, dan jatuh berguling di luar garis batas.
TENG! TENG! TENG!
Tiga kali lonceng berbunyi, tanda kemenangan mutlak.
Semua orang terdiam. Mulut mereka menganga. Mereka menoleh ke dupa pencatat waktu di meja juri.
Hanya sedikit abu yang jatuh. Sumbu dupa itu nyaris masih utuh.
Sementara saat giliran Mo Feng sebelumnya, dupanya sudah setengah habis.
Mo Long menang. Jauh lebih cepat.
Sorak, teriakan histeris, dan bisikan panik memenuhi arena. Tapi Mo Long tidak mendengar apa pun. Tatapannya dingin mencari Mo Feng di tribun.
Kosong.
Ia menyapu pandangan, menemukan punggung Mo Feng yang berjalan cepat meninggalkan arena. Bahunya tegang, langkahnya kasar. Ketiga temannya mengikutinya tergesa dengan wajah pucat.
Mo Long menyeringai. “Mau lari ke mana kau?”
Jauh dari hiruk pikuk arena, di sebuah gang sempit kota yang diapit dua tembok kusam.
Mo Feng berjalan dengan langkah lebar dan cepat. Napasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena amarah dan rasa malu yang membakar dadanya.
‘Aku tidak kabur! Aku hanya… aku hanya tidak sudi melihat wajah sombongnya! Taruhan itu tidak sah! Pengujinya pasti lengah!’ Mo Feng berusaha meyakinkan hatinya, meski langkah kakinya yang semakin cepat mengkhianati pikirannya.
“Bagaimana mungkin dia bisa sekuat itu?” Ryouken bergumam panik sambil berlari kecil di belakang. “Ketua Penguji dari pasukan pusat terlempar begitu saja! Feng, itu… itu gila!”
Akira mendengus sinis, meski tangannya gemetar. “Jangan bodoh. Itu hanya keberuntungan. Serangan Mo Long dadakan.”
“Diam kalian!” bentak Mo Feng tiba-tiba. Suaranya meledak. “Satu kata lagi, aku akan lampiaskan kemarahanku pada wajah kalian!”
Keheningan langsung menyelimuti.
Namun hening itu pecah ketika suara tenang, namun penuh ejekan, terdengar dari atas kepala mereka.
“Wah-wah, siapa ini yang berlari terburu-buru seperti tikus got di siang hari?”
Mereka serempak mendongak.
Di atas genteng paviliun, Mo Long berdiri tegak, jubah hitam panjangnya berkibar ditiup angin senja, siluetnya menutupi matahari. Di atap seberangnya, Hu Wei berdiri dengan wajah dingin, pedang sudah di tangan.
“Mo Long!” Mo Feng meledak.
Tanpa aba-aba, Qi hitam gelap langsung terkumpul di tinjunya. Ia meninju udara.
“Mati kau!”
Bola Qi Bayangan hitam melesat deras menghantam genteng.
DUAR!
Genteng-genteng pecah berhamburan. Namun Mo Long sudah tidak di sana. Ia melompat ringan, mendarat dengan elegan di tengah gang, memotong jalan mereka. Hu Wei mendarat di belakang mereka, menutup jalan keluar.
Mo Long menyilangkan tangan, senyum tipis di bibirnya. “Aku kira kakakku lelaki sejati yang menepati janji. Rupanya aku salah. Kau hanya pecundang yang lari dari taruhan.”
Urat-urat di pelipis Mo Feng menonjol. “Apa kau bilang?!”
“Kau pecundang,” jawab Mo Long santai.
Amarah Mo Feng putus. “Bunuh dia!”
Ia berlari maju, diikuti tiga kawannya. Mo Feng melapisi tangannya dengan Qi hitam, berniat menghancurkan kepala adiknya. Namun emosi membuat tekniknya tak sempurna. Pukulannya terlalu lebar.
Mo Long tidak menghindar. Ia maju selangkah.
KRAAK!
Sarung pedang naga perak Mo Long—masih terbungkus kain—menusuk keras ke ulu hati Mo Feng dengan kecepatan kilat.
Mo Feng terbelalak. Napasnya berhenti. Rasa sakit yang melumpuhkan menyebar dari perutnya. Ia terhuyung, jatuh berlutut, memuntahkan cairan lambung.
“Ka… kau…!”
Tiga kawannya menyerbu.
Ryouken menebas liar. Mo Long menangkis dengan punggung tangannya yang dilapisi Qi. KRAK! Tulang jari Ryouken retak, rasa sakit tak tertahankan menusuk hingga ke sumsum tulangnya.
Mo Long memutar tubuh, tendangan kakinya melesat, menyapu perut Ryouken. Suara “BUK!” keras terdengar, tubuhnya melengkung ke belakang.
Dari luka kecil di perut itu, Qi Bayangan merambat cepat, rasa panas dan perih menyebar, membuat Ryouken menggeliat kesakitan sambil meraung.
Akira melompat. Mo Long menyentil bahunya dengan ujung sarung pedang yang dialiri Qi Hitam. KREK! Tampak hanya memar kecil, namun Qi Bayangan meresap ke dalam—urat hitam menjalar, kulitnya menghitam, tangannya bergetar tak terkendali.
Daigo mencoba menyerang dari belakang. Namun Hu Wei sudah di sana.
“Disampingmu!” teriak Hu Wei.
Kakinya berputar, sapuan tendangan penuh tenaga menghantam rahang Daigo. Pemuda itu terpental, menabrak tembok hingga retak, lalu pingsan.
Dalam sekejap, gang itu sunyi. Hanya tersisa suara rintihan.
Mo Feng berusaha berdiri dengan kaki gemetar. Harga dirinya hancur lebur. “Hu Wei! Anjing pengkhianat! Kenapa kau berpihak pada sampah ini!”
Hu Wei maju selangkah, berdiri di samping Mo Long. “Aku hanya mematuhi perintah Patriark, Tuan Mo Feng. Dalam perjalanan ini, aku melindungi Tuan Mo Long apapun yang terjadi.”
Mata Mo Feng memerah, air mata amarah menetes. “Aku akan membunuh kalian!”
Ia menghirup napas dalam, dadanya membusung. Qi hitam pekat berkobar di mulutnya, siap menyemburkan serangan pamungkas jarak dekat yang mematikan.
“Itu Nafas Kutukan Naga!” teriak Hu Wei.
Transmisi suara Qi tiba-tiba masuk ke telinga Hu Wei. “Aku akan menahan serangannya. Kau pukul wajahnya dengan Qi Bayanganmu sekuat tenaga. Jika kau menolak… aku potong tanganmu.”
Hu Wei menoleh cepat, wajahnya pucat menatap mata tajam Mo Long.
“Ingatlah harga dirimu!” teriak Mo Long sambil melompat mundur.
Semburan Qi Bayangan bagai api hitam berkobar, melesat mengikuti Mo Long ke mana pun ia melompat. Mo Long berputar, menghindar, tapi semburan itu terus mengejar. Hingga tak ada lagi ruang untuk mengelak.
KLANG!
Pedang naga peraknya terhunus, Qi Bayangan membungkus bilahnya. Ia menebas-nebas deras, setiap ayunan menebas aliran semburan itu hingga pecah berhamburan ke udara.
BUAAGGHHH!
Saat itulah, sebuah pukulan keras berlapis Qi warna hitam menghantam tepat di kepala belakang Mo Feng. Suara tengkorak yang retak terdengar mengerikan.
Mo Feng tersentak ke samping. Semburan Qi di mulutnya meledak di dalam, membuatnya tersedak asapnya sendiri. Tubuh "Sang Jenius" itu terpelanting, berputar di udara, lalu jatuh menghantam tanah berlumpur dengan keras.
Ia tidak bangun lagi. Hanya kedutan di jarinya yang menandakan ia masih hidup.
Hu Wei berdiri terengah-engah, menatap tangannya yang bergetar. Ia menangis dan tertawa sekaligus. “Aku… aku memukulnya. Tuan, aku memukulnya!”
Mo Long menepuk bahu pengawalnya. “Pukulan yang bagus.”
Mo Long melangkah mendekati tubuh kakaknya yang pingsan. Ia mengangkat kakinya, hendak memberikan satu injakan terakhir untuk memastikan dendam itu terbalas.
Namun tiba-tiba—
WUSHH! WUSHH!
Puluhan bayangan mendarat di atas tembok gang. Aura-aura kuat menekan dari segala arah. Pasukan Balai Hukum Kota Long Ya.
“Jangan bergerak!”
Tombak-tombak diarahkan ke leher Mo Long dan Hu Wei.
Dari balik barisan pengawal, seorang pria paruh baya berbusana biru bangsawan yang mewah melangkah maju. Wajahnya merah padam menahan murka.
Pria bangsawan itu menunjuk Mo Long dengan jari gemetar.
“Tangkap dia!” teriaknya menggelegar. “Orang inilah yang memukuli anakku Jin Yuu hingga cacat! Aku mengenali jubah klan dan wajahnya! Seret dia ke penjara bawah tanah!”
Mo Long tertegun sejenak, lalu matanya melirik Mo Feng yang pingsan di tanah. Sudut bibirnya terangkat getir.
‘Sialan… wajah kami memang mirip.’
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁