Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Poligami!?
Arjuna menatap ibunya sebentar, lalu mengangguk. “Aku setuju, Ma. Aku juga pengin punya anak. Rumah ini semakin hari terasa sepi.”
Eliza menatapnya cepat, seperti tak percaya suaminya bisa mengiyakan begitu mudah. “Mas, kamu kok nggak tanya aku dulu?” Suaranya menahan emosi.
Arjuna menatapnya lembut. “El, aku tahu kamu masih trauma, tapi kalau terus takut, kapan kita siap? Mau sampai kapan Mas menunggu, apa harus Mas menunggu sampai tua?”
Eliza menunduk, jari-jarinya menggenggam sendok erat. “Aku bukan belum siap. Hanya … aku takut, Mas. Kamu tahu kan sahabatku, Mia, meninggal waktu melahirkan. Aku nggak mau itu terjadi padaku. Aku nggak mau mati di usia muda, memangnya Mas siap kehilangan aku?”
Ruangan mendadak hening. Arjuna mengembuskan napas, lalu menggenggam tangan istrinya. “Sayang, ajal itu bukan karena sebab hamil atau melahirkan. Semua orang punya waktunya masing-masing. Nggak ada yang bisa tahu ajalnya seperti apa. Kalau kamu terus menunda, mau sampai kapan?”
Eliza menatap mata suaminya — ada ketulusan di sana, tapi juga tekanan halus yang membuatnya makin gelisah. “Aku cuma butuh waktu, Mas. Aku janji, aku akan siap nanti.”
Mama Hanum tiba-tiba tertawa kecil, tapi kalimat berikutnya membuat udara membeku. “Kalau Eliza nggak siap-siap juga, sementara garis keluarga Adiwongso nggak boleh berhenti di kamu, Arjun … ya mau nggak mau, Mama rela kamu poligami.”
Sendok di tangan Eliza jatuh dengan suara nyaring. “Apa, Ma? Poligami?”
Mama Hanum tetap tenang. “Mama cuma bilang seandainya. Mama juga manusia, pengin cucu, El. Lagi pula, banyak perempuan baik yang bisa jadi pendamping kedua tanpa mengganggu istri pertama. Lagi pula secara financial Arjuna bisa memiliki istri lebih dari satu.”
“Aku nggak akan izinin Mas Arjuna poligami! Mama nih nggak punya perasaan ya! Kita sama-sama perempuan, dan tak mau suaminya mendua!” bentak Eliza spontan, suaranya bergetar.
Arjuna segera menenangkan, memegang pundaknya. “Ma, tolong jangan bahas itu.”
Namun Mama Hanum justru menatap Eliza tajam. “Mama nggak bermaksud nyakitin kamu, El. Tapi kamu seorang istri, dan kamu juga punya kewajiban pada suami. Kalau kamu terus menolak, jangan salahkan Arjuna kalau dia cari jalan lain. Kecuali secara kesehatan kamu mengalami kendala tidak bisa hamil.”
“Aku bukan penakut!”
Suara Eliza meninggi, matanya berkaca. “Tapi aku juga bukan perempuan yang bisa dipaksa hamil cuma karena tekanan keluarga!”
Arjuna menarik napas berat. “Cukup. Ini masih pagi hari, jangan ribut.”
Wajah Eliza sudah merah, menahan amarah dan air mata sekaligus. Ia berdiri, mendorong kursinya dengan kasar. “Aku ke kamar.”
Mama Hanum memandang anaknya dengan kecewa. “Arjun, kamu harus pikirkan masa depan keluarga kita. Kamu tahu garis keturunan Adiwongso nggak boleh berhenti di kamu. Grup Adiwongso tetap harus ada generasi penerusnya. Dan, harapan Mama hanya ada di kamu."
Arjuna menatap ibunya tanpa ekspresi. “Aku tahu, Ma. Tapi izinkan aku menyelesaikan dengan caraku.”
“Caramu terlalu lembut,” jawab Mama Hanum dingin. “Dan itu yang bikin istrimu besar kepala, kamu selalu saja memanjakannya. Sampai saat ini kalian berdua tidak berusaha, sedangkan umurmu terus bertambah. Andaikan saja dulu kamu mau mendengarkan kata Mama untuk memilih Lidya bukan kakaknya, mungkin sekarang Mama sudah punya cucu. Lidya memang tidak secantik kakaknya, tapi dia punya hati yang lembut dan tulus. Disangka Mama tidak tahu Eliza itu kayak apa sama kamu.”
Arjuna tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap sisa makanan di piring yang tiba-tiba terasa hambar.
Ketika Mama Hanum pamit tak lama kemudian, mansion itu kembali sunyi. Hanya bunyi langkah Eliza di lantai atas yang terdengar samar — cepat, gelisah.
Arjuna menatap ke arah tangga, wajahnya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu.
Ia tidak tahu, rasa sesak di dadanya pagi itu muncul karena kata-kata ibunya—atau karena bayangan Lidya yang masih terbaring lemah semalam.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Arjuna merasa tak lagi menguasai dirinya sepenuhnya. Ada sesuatu yang sedang bergerak di dalam hatinya — sesuatu yang tidak seharusnya ada.
***
“El, tolong buka pintunya.”
Suara Arjuna terdengar tenang dari balik pintu kamar tamu yang tertutup rapat. Namun di balik ketenangan itu, suaranya menyimpan sesuatu—rasa bersalah, dan sedikit takut kehilangan kendali.
Tak ada jawaban. Hanya isak pelan yang samar-samar terdengar dari dalam. Arjuna mengetuk sekali lagi, lebih pelan.
“Eliza … Sayang, please.”
Masih sunyi. Tapi suara tangis yang tertahan justru semakin jelas.
Akhirnya Arjuna memutar kenop perlahan. Rupanya tak dikunci. Ia masuk perlahan, langkah sepatunya nyaris tak bersuara di karpet tebal.
Eliza duduk di tepi ranjang, punggungnya membelakangi pintu. Rambut panjangnya yang biasanya rapi kini berantakan, matanya sembab. Gaun sutra warna gading yang dipakainya tampak kusut, dan tisu-tisu bekas air mata berserakan di atas meja rias.
“Sayang.” Arjuna mendekat perlahan, lalu duduk di sampingnya. Tangannya ragu-ragu menyentuh bahu Eliza.
Eliza menepis pelan. “Mas, tolong jangan ngomong apa-apa dulu. Aku masih kesal sama Mama kamu dan kamu sendiri,” ujarnya pelan tapi tegas, suaranya bergetar.
Arjuna menelan ludah. “Mas cuma mau minta maaf, El. Maaf atas ucapan Mama. Mas nggak tahu kalau—”
“Mas, Mama kamu tuh selalu begitu!” potong Eliza cepat, suaranya meninggi. Ia menoleh, menatap suaminya dengan mata merah. “Selalu nuntut aku ini, aku itu! Dari dulu, dari awal nikah! Sekarang ngomong soal poligami, Mas diem aja?”
“Mas nggak diem,” jawab Arjuna lembut. “Tadi Mas udah bilang, Mas nggak mau bahas itu. Mas juga nggak setuju kalau Mama nyebut soal poligami.”
“Tapi kamu nggak membela aku, Mas!” seru Eliza, menatapnya tajam. “Kamu malah setuju buat program bayi tabung, padahal aku belum siap! Kamu tahu nggak rasanya ditekan kayak gini?”
Arjuna menarik napas panjang, lalu memeluk Eliza perlahan. “Aku tahu kamu capek, aku tahu kamu belum siap. Tapi kamu dengar dulu.”
Eliza sempat berontak, tapi pelukan itu terlalu hangat untuk ditolak. Bahu bidang Arjuna membuat tubuhnya sejenak tenang, meski dadanya masih bergemuruh.
“Mas minta maaf, El,” bisik Arjuna di telinganya. “Mas salah tadi nggak langsung belain kamu. Mas cuma pengin suasana pagi ini nggak makin panas.”
Air mata Eliza menetes lagi, jatuh di kemeja Arjuna. “Tapi Mama kamu … ngomong kayak gitu tuh nyakitin banget, Mas.”
“Mas tahu,” jawab Arjuna pelan. “Dan Mas janji, nggak akan ada perempuan lain di hidupku. Nggak akan, El.” Ia merengkuh wajah istrinya dengan kedua tangannya, menatap dalam. “Mas cuma mau anak dari kamu. Dari perempuan yang Mas cintai.”
Eliza menatap balik, wajahnya penuh luka dan ragu. “Kamu yakin masih cinta sama aku, Mas?”
Bersambung ... ✍️
Farel, mainkan peranmu sebaik mungkin 🤣🤣🤣 mari kita bwt Arjuna makin merana hidupnya, wkwkwkwk
aq g yakin Arjuna akan selalu bersikap dingin klo dia meliat dengan mata kepala sendiri kamu d jemput cowo,,apalagi klo cowo nya lebih ganteng dr Arjuna..d jamin tuh s kaka ipar g bakalan tenang hidup nyaaa /Joyful//Joyful/