Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Bu Dewi Marah
Aini masih terduduk kaku di sofa ruang tamu yang remang-remang. Matanya menatap kosong ke arah layar ponsel yang baru saja meredup setelah menampilkan deretan pesan pedas dari ibuhya. Notifikasi dari pesan WhatsApp terus bermunculan berupa sindiran halus tentang anak yang lupa daratan namun ia hanya mengabaikan pesan itu. Belum sempat ia menarik napas lega, ponselnya kembali bergetar hebat di genggamannya. Nama "Ibu" tertera di sana, diiringi nada dering yang biasanya membawa kehangatan, namun kini justru terasa seperti alarm bahaya yang memekakkan telinga.
Dengan tangan sedikit gemetar dan hati yang berdegup kencang, Aini menggeser tombol hijau. "Halo, Assalamu’alaikum, Bu," sapa Aini, berusaha sekuat tenaga menjaga agar suaranya tidak pecah atau terdengar gemetar.
"Wa’alaikumsalam! Aini! Kamu itu benar-benar ya! Apa yang kamu lakukan pada adikmu di sana?" Suara Ibu Dewi meledak dari seberang telepon, melengking tinggi penuh amarah yang meluap-luap.
"Cilla menelepon Ibu sambil menangis sesenggukan, katanya napasnya sampai sesak karena kamu bentak-bentak terus tanpa henti. Kamu suruh dia jadi pembantu? Kamu tidak kasih dia uang sepeser pun untuk sekadar uang jajannya? Ingat Aini, dia itu adik kandungmu sendiri, darah dagingmu!"
Aini memejamkan mata erat-erat, merasakan denyut di pelipisnya semakin kencang akibat tekanan batin. Ia harus menelan pahitnya kenyataan bahwa ibunya sendiri lebih percaya pada drama air mata buaya Cilla dibandingkan kejujurannya.
"Bu, tolong dengarkan Aini dulu sekali saja. Aini cuma minta Cilla belajar disiplin agar tidak manja. Dia sudah mau kuliah, masa bangun jam lima pagi saja tidak bisa? Soal uang, Mas Varo baru-baru ini membelikan dia banyak barang mewah di mal. Harusnya dia masih punya simpanan uang saku, Bu."
"Halah! Jangan bikin alasan fiktif untuk menutupi sifat pelitmu itu!" bentak Ibu Dewi lagi, sama sekali tidak memberi ruang bagi Aini untuk membela diri.
"Cilla bilang itu cuma barang-barang pemberian Varo yang harganya tidak seberapa, katanya Varo cuma kasihan melihat Cilla tidak punya baju layak. Kamu sebagai kakak harusnya mengayomi dan memanjakan adikmu, bukan malah menindasnya seperti budak. Ibu tidak mau tahu, kamu harus minta maaf pada Cilla sekarang juga. Jangan sampai Ibu yang harus turun tangan datang ke kota untuk menjewer telingamu di depan suamimu!"
Klik!
Sambungan diputus secara sepihak, menyisakan suara dengung kosong yang memuakkan.
Aini tertegun dalam kesunyian rumah yang terasa semakin mencekik. Rasa sakit di dadanya bukan lagi karena amarah, melainkan karena kekecewaan yang sangat mendalam terhadap keluarga intinya. Ternyata benar, selama ia mengirimkan uang dan menjadi sumber materi, ia adalah anak yang paling berbakti. Namun saat ia mencoba menegakkan aturan di rumahnya sendiri, ia seketika menjadi musuh nomor satu.
"Baiklah kalau itu mau kalian. Kalian ingin drama yang menguras air mata? Akan aku siapkan panggung megahnya," gumam Aini dengan mata berkilat dingin. Ia menyeka air matanya dengan kasar, menggantinya dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian yang baru.
Sore harinya, Varo pulang dengan langkah ringan seolah tidak ada beban dosa sedikit pun. Di dalam tas kerjanya, ia menyembunyikan sebuah kotak kecil berisi perhiasan emas ¹yang tentu saja bukan ditujukan sebagai kejutan untuk Aini. Saat masuk ke dalam rumah, ia mendapati Aini sedang sibuk di dapur dengan wajah yang tampak lelah namun tetap tenang secara mencurigakan.
"Sayang, Mas pulang," panggil Varo sambil meletakkan tasnya di atas meja makan dengan santai.
Aini menoleh singkat, memaksakan senyum tipis yang tampak sangat tulus hingga menipu mata Varo.
"Oh, sudah pulang Mas. Makan malam sudah siap di meja, tapi maaf ya hari ini aku cuma sempat masak sayur bening dan tempe goreng. Uang belanja yang kamu kasih minggu lalu sudah benar-benar tipis karena harga kebutuhan pokok naik, jadi aku tidak bisa beli daging atau ikan."
Varo mengernyitkan dahi, menatap meja makan dengan kecewa namun mencoba menahan kesalnya agar tidak terjadi keributan.
"Tempe lagi? Mas ini capek kerja seharian mengurus proyek, Aini. Tapi ya sudahlah, mungkin bulan depan Mas usahakan tambah sedikit uang belanjanya kalau Mas dapat jatah lemburan atau bonus kecil."
Aini hanya mengangguk pelan dengan wajah penuh pengertian, seolah ia sangat percaya dengan kebohongan Varo tentang lemburan atau kesulitan ekonomi kantornya. Padahal di dalam hati, Aini ingin sekali tertawa miris. Bagaimana bisa suaminya berakting semiskin itu sementara di rekening rahasianya mengalir gaji tiga puluh juta sebulan sebagai Manajer?
Tiba-tiba Cilla keluar dari kamarnya dengan langkah yang diseret, wajahnya sengaja dibuat layu dengan mata yang tampak sembap karena sengaja digosok.
"Mas Varo sudah pulang? Mas... tadi Ibu menelepon dari kampung, Ibu sedih sekali mendengar aku sering dimarahi dan disuruh-suruh di sini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi agar Mbak Aini tidak benci padaku, Mas," rintihnya sambil menatap Varo dengan tatapan memelas.
Varo langsung menatap tajam ke arah Aini, namun kali ini Aini lebih dulu memotong sebelum suaminya itu sempat mengeluarkan kata-kata makian.
"Maaf ya Mas, tadi Cilla mungkin salah paham saat aku mengajarinya cara menggunakan mesin cuci. Aku cuma ingin dia belajar mandiri sebelum nanti sibuk kuliah. Tadi aku sudah jelaskan sedikit ke Ibu juga melalui telepon, tapi sepertinya Cilla bicara hal yang berbeda sehingga Ibu salah paham."
Varo yang melihat Aini tetap bersikap lembut, tenang, dan tidak meledak-ledak seperti biasanya justru merasa aman. Ia mengira Aini sudah jinak lagi.
"Ya sudah, kalau begitu jangan terlalu keras sama adikmu sendiri, Aini. Cilla masih kecil, mentalnya belum sekuat kamu. Dia butuh waktu menyesuaikan diri dengan aturan rumah kita."
"Iya Mas, aku mengerti sepenuhnya," jawab Aini dengan suara yang sangat lembut, membuat Varo dan Cilla saling lirik penuh kemenangan di belakang punggungnya. Mereka merasa telah berhasil menaklukkan Aini lewat ancaman dari Ibu Dewi.
Malam harinya, saat seluruh penghuni rumah sudah terlelap dalam mimpi, Aini masih terjaga dengan waspada. Ia duduk di meja makan yang remang-remang dengan laptop di hadapannya. Melalui akses sinkronisasi yang pernah ia pasang diam-diam beberapa hari lalu, ia berhasil mengintip cadangan ponsel Varo saat suaminya itu mendengkur pulas.
Jantung Aini berdegup kencang, tangannya mendingin saat matanya menangkap sederet pesan singkat di folder pesan rahasia yang terenkripsi.
"Sayang, besok kita ketemuan di kafe dekat kampus ya. Aku kangen banget pengen peluk kamu tanpa ada gangguan," tulis Varo kepada kontak yang diberi nama samaran 'Cilla Sayang'.
Ada juga pesan lain yang dikirimkan Varo kepada ibunya.
"Tenang saja Bu, jatah belanja emas Ibu sudah Varo transfer tadi siang. Jangan bilang Aini ya Bu, biarkan dia tetap tahu kalau gaji Varo masih kecil supaya dia tidak banyak minta jatah uang belanja ini-itu. Varo mau simpan uangnya buat masa depan kita."
Aini memejamkan mata sesaat, menahan sesak luar biasa yang menghimpit dadanya hingga ia sulit bernapas. Ia kini benar-benar tahu segalanya tanpa celah sedikit pun. Suaminya yang berbohong soal jabatan dan harta, adiknya yang menjadi selingkuhan di bawah atap rumahnya sendiri, dan ibu kandungnya yang tega bersekongkol menghisap hartanya di belakang punggungnya.
"Kalian pikir aku wanita bodoh yang bisa kalian injak selamanya? Silakan nikmati rasa aman semu kalian malam ini. Besok, aku akan memastikan pondasi kebahagiaan yang kalian bangun di atas penderitaanku ini akan runtuh berkeping-keping tanpa sisa," bisik Aini dengan senyum dingin yang tampak mengerikan dalam kegelapan. Ia menutup laptopnya perlahan, siap untuk memulai pembalasan yang sesungguhnya di pagi hari.
Bersambung
...****************...