Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Trauma
"Bonus?"
Nokia berdiri terpaku di tempat sementara pintu sudah tertutup rapat. Namun demikian, bayangan seringai tipis di wajah Reygan masih terbayang di pelupuk mata.
Harga sewa. Ia baru saja menyewakan status hubungannya, status yang paling ia benci di dunia kepada pria paling menyebalkan yang pernah ia temui, hanya untuk sebuah galon air.
Nokiami tertawa getir. Ia seharusnya marah besar, melempar sesuatu, atau setidaknya mengumpat. Namun, yang ia rasakan hanyalah kelelahan yang aneh dan rasa ingin tahu yang begitu dalam.
"Siapa sebenarnya pria itu?" pertanyaan ini terus berputar di otaknya.
Dua hari kemudian kakinya sudah jauh lebih baik. Ia bisa berjalan terpincang-pincang di sekitar apartemen tanpa bantuan tongkat, meskipun rasa nyeri masih berdenyut jika ia terlalu banyak bergerak.
Keheningan memberinya terlalu banyak waktu untuk berpikir. Memikirkan kebohongan Reygan yang begitu mulus di lobi. Pria itu tidak ragu sedetik pun. Ia menciptakan narasi lengkap pada semua orang. Tunangan yang cedera, kunjungan untuk membawa obat, kepanikan saat alarm berbunyi dengan kepercayaan diri seorang aktor kawakan.
Nokia menyeret laptopnya ke sofa, kakinya disandarkan dengan hati-hati di atas tumpukan bantal. Rasa penasarannya sudah mencapai titik didih. Ia tidak bisa lagi hanya duduk dan menebak-nebak. Ia butuh data.
“Oke, Tuan Reygan,” gumamnya pada layar kosong. “Mari kita lihat seberapa efisien kau menyembunyikan jejakmu.”
Dalam pencarian data ini modalnya tidak banyak. Nama depan: Reygan. Nama perusahaan pengiriman yang tertera besar-besar di jaket hijaunya. Dan sebuah ingatan samar tentang plat nomor motornya saat ia pernah melihat pria itu parkir di bawah dari jendela. Sesuatu seperti B 4, JKT. Tidak banyak membantu.
Pencarian pertama dengan kata kunci “Reygan” dan nama perusahaan itu menghasilkan ribuan profil pengemudi. Sia-sia. Ia mencoba menambahkan kata “Jakarta”, tetapi hasilnya tidak jauh berbeda. Ia butuh sesuatu yang lebih spesifik. Sesuatu yang personal.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat setiap detail interaksi mereka. Jaketnya. Selain logo besar perusahaan, ada sesuatu yang lain. Sebuah emblem kecil di dada kanan dan sebuah nama. Ya, ada nama lengkap yang dijahit di sana, seperti seragam standar. Reygan A.
"A itu kira-kira siapa ya? Adriansyah? Abdullah? Aditya? Memorinya kabur.
Frustrasi, ia beralih ke media sosial. Ia mengetik “Reygan” di kolom pencarian Instagram, lalu memfilternya berdasarkan lokasi Jakarta. Ratusan wajah muncul. Tak satu pun dari mereka yang memiliki tatapan dingin dan rahang keras yang sudah begitu familier baginya. Ia mencoba Facebook dengan hasil yang sama mengecewakannya. Pria ini seolah hantu di dunia maya.
“Masa, sih, orang sepertimu tidak punya jejak digital?” cibirnya. Ia menolak untuk menyerah. Pria yang begitu peduli dengan rating dan ulasan digital pasti pernah, pada satu titik dalam hidupnya, peduli dengan citranya sendiri.
Ia kembali ke mesin pencari, kali ini mencoba pendekatan yang berbeda. Ia mengetikkan kombinasi nama yang mungkin, “Reygan Adriansyah”, “Reygan Aditya”, lalu menambahkan nama universitas-universitas ternama di Jakarta. Nihil. Ia hampir menyerah ketika sebuah ide terlintas. Ia tidak tahu nama belakangnya, tetapi ia tahu sesuatu yang lain: kebenciannya pada potret keluarga Nokiami. Kebencian yang begitu kuat terhadap simbol kemapanan. Itu menunjukkan sesuatu. Mungkin ia tidak berasal dari lingkaran elite, tetapi ia pernah berada di dekatnya. Cukup dekat untuk membencinya.
Nokiami mengetikkan sesuatu hasil tebakannya sendiri
“Reygan pemenang olimpiade sains Jakarta.”
Entah dari mana ide itu datang. Mungkin dari cara pria itu menganalisis situasi dengan cepat, atau dari pilihan katanya yang kadang-kadang terdengar terlalu cerdas untuk sekadar seorang kurir.
Hening. Lalu, satu tautan muncul. Sebuah artikel berita dari portal pendidikan, tertanggal enam tahun yang lalu. Judulnya: “Tim Mahasiswa Universitas Cendekia Juarai Kompetisi Coding Nasional, Siap Wakili Indonesia di Tingkat Internasional.”
Jantung Nokiami berdebar sedikit lebih kencang. Ia mengklik tautan itu. Sebuah foto buram muncul, menampilkan empat mahasiswa laki-laki yang tersenyum canggung sambil memegang piala besar. Dan di sana, di barisan paling kanan, berdiri seorang pemuda dengan rambut sedikit lebih panjang, senyumnya lebih lebar dan lebih tulus daripada senyum mana pun yang pernah Nokiami lihat darinya. Wajahnya lebih tulus, matanya berbinar dengan ambisi. Di bawah foto itu, ada keterangan nama.
Reygan Pratama.
Nokiami menahan napas. Nama itu terasa pas. Pratama. Sederhana, kuat. Ia menatap lekat-lekat wajah di foto itu. Itu benar-benar dia. Versi yang lebih muda, lebih bahagia, versi yang belum dihantam oleh apa pun yang telah mengubahnya menjadi pria sinis yang mengantar makanannya setiap hari.
Dengan nama lengkap di tangan, dunia digital tiba-tiba terbuka untuknya. Ia langsung mengetik “Reygan Pratama” di kolom pencarian Facebook. Kali ini, sebuah profil muncul di urutan teratas. Foto profilnya adalah logo sebuah tim e-sport, dan profil itu sudah tidak aktif selama hampir empat tahun. Tetapi isinya adalah tambang emas.
Album foto lamanya penuh dengan kehidupan yang sama sekali berbeda. Foto-foto dari kompetisi pemrograman, piala-piala yang dipajang di rak buku, catatan-catatan tentang proyek kecerdasan buatan yang rumit. Ada juga foto-foto saat ia mendaki gunung bersama teman-temannya, tertawa lepas dengan wajah belepotan lumpur. Pria itu tampak hidup normal, cerdas dan penuh potensi.
Nokiami terus menggulir ke bawah, melewati status-status lama yang penuh dengan istilah teknis yang tidak ia mengerti, hingga ia menemukan sebuah postingan yang membuatnya berhenti total. Sebuah foto Reygan yang merangkul seorang pria paruh baya yang tampak bangga di depan sebuah ruko dengan papan nama “Pratama Katering”.
Keterangannya singkat: “Membantu bisnis Ayah naik kelas. Langkah pertama menuju otomatisasi sistem pemesanan.”
Pratama Katering. Jadi, ayahnya adalah seorang pengusaha. Sama seperti ayahnya sendiri. Tetapi skalanya jelas berbeda. Ini adalah bisnis keluarga yang dibangun dari nol, buan warisan keluarga.
Lalu, semua pembaruan berhenti. Tiba-tiba saja. Postingan terakhirnya adalah empat tahun lalu, sebuah tautan ke artikel tentang teknologi blockchain, tanpa komentar apa pun. Setelah itu, senyap. Seolah Reygan Pratama, mahasiswa jenius dan anak yang berbakti, telah lenyap dari muka bumi. Dan di tempatnya, muncul Reygan, sang kurir pemarah dengan tatapan mata yang kosong.
"Apa yang terjadi dalam rentang waktu empat tahun itu? Apa yang bisa menghancurkan seseorang dengan masa depan secerah itu hingga ia berakhir mengantar burger dan memeras pelanggan untuk ongkos angkat galon?" Nokiami berpikir keras.
Tiba-tiba rasa kesalnya terhadap Reygan perlahan menguap, digantikan oleh simpati yang enggan ia akui. Kebenciannya pada foto keluarga Nokiami sekarang terasa masuk akal. Mungkin bagi Reygan, potret itu adalah pengingat menyakitkan akan apa yang pernah ia miliki atau apa yang telah menghancurkannya.
Saat serius berpikir bel apartemen ada yang memencet.Nokia tersentak.
"Siapa itu?" tanyanya pada diri sendiri. Ia merasa tidak memesan apa pun. Jantungnya langsung berdebar kencang.
"Leo? Apakah Leo berhasil menemukanku?"
Ia terpincang-pincang menuju pintu, mengintip dari lubang intip. Di luar, berdiri sesosok tubuh yang familier dalam balutan jaket hijau. Bukan Leo melainkan Reygan.
Nokiami mengerutkan kening.
"Untuk apa dia di sini?" Ia membuka pintu dengan ragu.
“Aku tidak pesan apa-apa.”
Reygan menatapnya, ekspresinya seperti biasa, datar. Di tangannya ada sebuah paket kotak kecil berwarna cokelat. “Ini bukan pesanan makanan. Paket untuk unit ini, atas nama Rina,” katanya, menyebut nama sahabat Nokiami.
“Oh. Oke, makasih.”
Nokiami mengulurkan tangan untuk mengambil paket itu. Saat itulah mata Reygan turun, tertuju pada kakinya yang telanjang. Ia melihat pergelangan kaki Nokiami yang bengkaknya sudah surut, tetapi masih menyisakan warna ungu kebiruan. Ia melihat cara Nokiami menumpukan berat badannya pada satu kaki.
Tidak ada komentar sinis. Tidak ada cemoohan. Ia hanya menatap selama sepersekian detik, lalu kembali menatap wajah Nokiami. Ia menyerahkan paket itu.
“Sama-sama,” jawabnya singkat.
Ia berbalik untuk pergi, langkahnya cepat seperti biasa. Nokiami hendak menutup pintu, merasa sedikit lega karena interaksi itu begitu singkat dan tanpa drama.
Namun, Reygan berhenti di depan lift. Ia tidak menekan tombol. Ia hanya berdiri di sana dengan punggung menghadap Nokiami, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ia berbalik.
Pria itu berjalan kembali ke pintu apartemen Nokiami yang masih sedikit terbuka. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah benda kecil. Sebuah tabung salep berwarna putih.
Dengan gerakan cepat, ia meletakkan tabung itu di lantai, tepat di ambang pintu, lalu segera mundur selangkah.
Nokiami menatap tabung itu, lalu menatap wajah Reygan dengan bingung. “Apa ini?”
“Buat kakimu,” jawabnya, nadanya tetap datar. “Biar cepat sembuh.”
“Aku tidak minta. Berapa harganya? Biar kuganti.”
Reygan menatapnya lurus, kilatan di matanya redup seolah ia sangat lelah.
“Anggap saja itu bonus. Harga sewa untuk layanan tunangan palsu.”
Tanpa menunggu jawaban, Reygan berbalik dan kali ini benar-benar berjalan menuju lift, meninggalkan Nokiami sendirian dengan paket dan tabung salep di lantai.
Nokiami menutup pintu lalu menyandarkan bahunya kemudian membungkuk perlahan. Rasa nyeri berdenyut di kakinya saat mengambil tabung salep itu. Ia mengira itu hanya salep pereda nyeri biasa yang bisa dibeli di mana saja.
Tetapi saat ia membalik tabung itu di tangannya, napasnya tercekat di tenggorokan.
Itu bukan merek biasa. Itu adalah Athlon-Rub, salep analgesik impor yang sangat kuat, biasa digunakan oleh atlet profesional untuk cedera otot serius. Aroma khas mentol dan kamper yang tajam langsung menusuk indranya, memicu sebuah kenangan yang berusaha keras ia kubur.
Kenangan tentang Leo, yang selalu terobsesi dengan kebugaran, mengoleskan salep dengan merek yang sama persis di bisepnya setelah latihan beban, sambil bercermin dan mengkritik paha Nokiami yang menurutnya terlalu besar.
Bagaimana bisa? Dari ratusan merek salep di dunia ini, mengapa Reygan memberinya yang satu ini? Yang membawa kembali hantu tergelap dari masa lalunya?