NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti
Popularitas:23.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."

Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.

Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.

Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.

Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch : Dua Belas

Raya hendak berbalik menuju kamar mandi, tapi lengannya ditarik kembali. Sekali lagi, bibir Arka menemukan miliknya.

Kali ini lebih dalam. Lebih panas. Lebih tak terbendung.

“Arka…” bisiknya pelan, antara menolak dan menyerah. Tapi suara itu tenggelam oleh desahan pelan saat Arka mengangkat tubuhnya dalam gendongan.

Langkah Arka mantap membawa Raya menuju kamar. Ciumannya tak pernah terputus. Sesekali berpindah ke leher, ke rahang, lalu kembali ke bibir yang bergetar. Pintu kamar terbuka dengan satu hentakan ringan, dan dalam sekejap mereka sudah jatuh bersama ke atas ranjang.

Cahaya malam menyelinap masuk dari celah gorden, memperlihatkan siluet tubuh yang saling bersatu. Jemari Arka menyentuh kulit Raya perlahan—tak tergesa, tak tergoda oleh waktu. Satu per satu lapisan pakaian terlepas, berganti dengan kehangatan kulit yang saling menyentuh.

Raya memejamkan mata saat Arka menatapnya. Sorot itu berbeda—bukan sekadar hasrat, tapi ada rasa yang jauh lebih dalam.

“Aku bisa berhenti, kalau kau tak siap,” bisik Arka, suara yang biasanya dingin kini terdengar rapuh.

Raya menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan.

Itu adalah izin.

Dan Arka menerimanya dengan hati-hati. Sentuhannya berubah lembut, tubuhnya menyatu dengan milik Raya perlahan… hingga akhirnya rasa asing itu menembus batas yang selama ini tak tersentuh.

Raya menahan napas, tubuhnya menegang sesaat—perih, menusuk, tapi juga hangat.

Arka berhenti sejenak, mengecup keningnya.

Darah mengalir tipis, menyatu dengan seprai putih, menjadi saksi bisu atas malam yang baru saja mereka lewati. Arka terdiam beberapa detik, menatap noda itu dengan campuran rasa—tak sekadar puas, tapi juga terkejut… dan tersentuh.

Itu bukti bahwa Raya telah menyerahkan seluruh dirinya padanya. Utuh. Tak tersentuh. Suci.

Ada sorot berbeda di mata Arka. Bukan sekadar milik secara fisik, tapi lebih dari itu—ia merasa seperti diberi kepercayaan yang tidak semua pria bisa dapatkan.

Ia membungkuk, menyentuh pipi Raya yang masih basah oleh peluh dan air mata. “Kau baik-baik saja?”

Raya mengangguk pelan, wajahnya memerah, dan tak sanggup menatap mata Arka. Tubuhnya masih gemetar, dan napasnya belum sepenuhnya tenang. Tapi ada kelegaan… dan kehangatan yang sulit dijelaskan.

Arka menarik tubuhnya ke dalam pelukan, membungkus mereka berdua dengan selimut. Ia tidak berkata apa pun untuk waktu yang lama. Hanya membelai rambut Raya perlahan.

“Aku tak akan biarkan siapa pun memilikimu,” bisiknya, seolah mengucap sumpah yang hanya bisa didengar malam.

Dan untuk pertama kalinya, Raya merasa… bukan hanya tubuhnya, tapi hatinya pun kini mulai dimiliki oleh pria itu.

Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelinap dari celah tirai. Udara dingin menggigit kulit, namun di dalam kamar itu, suasananya jauh lebih hangat—terlalu hangat, sampai membuat dada Raya sesak.

Ia terbangun lebih dulu. Tubuhnya terasa lelah, pegal di beberapa bagian, dan ketika ia menoleh, napasnya tertahan.

Arka masih tertidur di sebelahnya. Tenang. Dada bidangnya naik turun dengan ritme lambat. Lengan kekar itu masih melingkar di pinggangnya, membuatnya sulit untuk bergerak—dan lebih sulit lagi untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Raya menggigit bibir bawahnya pelan. Apa yang sudah ia lakukan semalam?

Dengan hati-hati, ia mencoba bangkit dari ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun belum sempat ia benar-benar menjauh, tangan Arka menariknya kembali.

“Pagi-pagi sudah mau kabur dariku?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Raya menoleh cepat, wajahnya memerah. “Aku… hanya mau ke kamar mandi.”

Arka membuka matanya perlahan, memperhatikan ekspresi canggung di wajah Raya. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Kau menyesal?”

Pertanyaan itu menghantam dada Raya seperti palu. Ia tak langsung menjawab. Lalu dengan suara sangat pelan, ia berkata, “Aku hanya… belum tahu bagaimana bersikap setelah ini.”

Arka mendekat, duduk bersandar di kepala ranjang, lalu mengulurkan tangannya. “Kemarilah.”

Raya ragu, tapi akhirnya menurut. Ia mendekat, membiarkan dirinya berada dalam pelukan pria itu lagi.

“Kita tidak perlu terburu-buru mendefinisikan apa pun,” ucap Arka lembut. “Tapi jangan pernah berpura-pura seolah tak ada apa-apa di antara kita. Karena ada, Raya. Kau tahu itu.”

Deg.

Raya menunduk. Ia tidak bisa mengelak. Ada sesuatu yang memang tumbuh… tak bisa ditolak, tak bisa dihentikan.

Dan mungkin, tak bisa diingkari lagi.

Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan segala keraguan yang mulai merayap perlahan.

Haruskah aku menganggap ini nyata?

Satu malam… satu langkah melampaui garis yang dulu dijaganya mati-matian. Tapi bagaimana jika semua ini hanya sesaat? Bagaimana jika pada akhirnya, masa lalu itu kembali?

Bagaimana jika Amara kembali…?

Nama itu menghantamnya seperti angin dingin. Ia menunduk. Perih.

Masihkah Arka akan bersikap seperti ini padanya?

Masihkah pria itu akan tetap berdiri di sisinya, menggenggam tangannya seperti semalam? Atau justru—membiarkannya kembali jadi asing?

Raya menggeleng perlahan, memaksa pikirannya berhenti berkelana ke tempat yang menyakitkan. Hatinya telah memilih. Untuk sekarang, hanya satu hal yang ingin ia genggam.

Keputusan.

Menjalani semua ini… sesuai apa yang dikatakan Arka:

Sebagai suami istri.

Meskipun hubungan ini hanya hidup dalam senyap, meski dunia tak akan tahu, dan meski dalam bayang-bayang, mungkin akan datang hari ketika hatinya harus remuk lagi—Raya memilih tetap berjalan bersamanya.

Ia membalikkan badan pelan, memperhatikan wajah Arka yang kini terjaga dan sedang menatapnya.

"Apa yang kau pikirkan pagi-pagi begini?" tanya Arka, suaranya berat namun lembut.

Raya tak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng, lalu menarik selimut hingga menutupi dada dan berkata lirih, "Aku akan menjalani ini… seperti yang kau katakan. Seperti pasangan suami istri."

Mata Arka menyipit, memperhatikan sorot mata Raya yang serius. Lalu bibirnya tersenyum, dan tangannya terulur, membelai lembut pipi wanita itu.

“Berarti kau milikku, sepenuhnya.”

“Dan kau milikku,” bisik Raya, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat dada Arka menghangat.

Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada kata yang dibutuhkan lagi.

Sebab kadang, kesepakatan paling kuat justru dibentuk dalam diam… di antara hati yang sama-sama takut, namun tetap memilih untuk percaya.

*

Raya sedang melipat pakaian yang baru saja keluar dari mesin pengering. Ia mengenakan kaus longgar milik Arka, yang ukurannya jatuh longgar di bahunya, menambah kesan manis tanpa ia sadari.

Sementara itu, Arka berdiri di dapur, sibuk meracik kopi.

“Gula dua sendok, tanpa krim,” gumamnya sambil menuang cairan hitam itu ke dalam cangkir berwarna merah muda—jelas milik Raya. Ia bahkan mulai mengingat hal-hal kecil semacam itu, tanpa sadar.

Raya memerhatikannya dari jauh.

“Sejak kapan kau bisa bikin kopi?” tanyanya sambil melipat kaus terakhir.

“Sejak seseorang merebut hak istimewa itu dari pelayan-pelayanku,” jawab Arka santai.

Raya tertawa kecil. “Berarti aku istimewa?”

Arka berjalan mendekat, menyerahkan cangkir itu dan menatapnya tanpa berkedip. “Lebih dari itu.”

To Be Continued >>>

1
partini
kenapa ga pergi jauh ke lai kota,,ayo be smart jadi sukses ,,cintai dir sendiri baru cintai orang lain
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
Ayu_Lestary: Terima kasih 💞
total 1 replies
sutiasih kasih
lagian untuk ap km mngekang raya.... & mmbuat raya dlm situasi sulit....
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........
Ayu_Lestary: Arka juga gak tau ini pernikahan macam apa 😭😭
total 1 replies
Dwi Estuning
wah...
momsRaydels
semangat selalu awal yang sangat menarik semangat kak 💪🏼
Ayu_Lestary: Terima kasih 🙏🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!