Azalea, Mohan, dan Jenara. Tiga sahabat yang sejak kecil selalu bersama, hingga semua orang yakin mereka tak akan pernah terpisahkan. Namun dibalik kebersamaan itu, tersimpan rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang tak pernah terucapkan.
Bagi Azalea, Mohan adalah cinta pertamanya. Tapi kepercayaan itu hancur ketika lelaki itu pergi meninggalkan luka terdalam. Jenara pun ikut menjauh, padahal diam-diam dialah yang selalu menjaga Azalea dari kejauhan.
Bertahun-tahun kemudian, Jenara kembali. Dan bersama kepulangannya, terbongkarlah kebenaran masa lalu tentang Mohan, tentang cinta yang tersimpan, dan tentang kesempatan baru bagi hati Azalea.
Kini, ia harus memilih. Tetap terikat pada luka lama, atau membuka hati pada cinta yang tulus, meski datang dari seseorang yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Faroca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Mohan Dan Kebimbangan Jenara
Mohan sedang asik bermain PS saat Jenara masuk ke ruang keluarga rumahnya. Mohan hanya melirik sebentar, lalu tersenyum ke arah Jenara.
"Tumben lo nggak ngabarin dulu mau kesini." ucap Mohan ketika Jenara duduk di sebelahnya.
"Gimana cara gue mau ngubungin lo, kalo chat grup aja lo nggak bls. Telpon pun nggak di angkat, darimana sih lo?" suara Jenara seperti mengintimidasi.
"Weits santai bro!" kata Mohan. "gue tadi abis jalan sama Amara, ponsel gue silent." sambungnya sambil menekan tombol pause dan menaruh stik PS di depannya.
"Azalea nyariin lo, dia nelponin lo Mulu dari tadi—tapi lo nggak pernah angkat telponnya." beritahu Jenara.
"Iya gue tau," jawab Mohan
"Emang nggak bisa lo telpon balik dia,"
"Lo tau kan dia tuh selalu heboh, pasti dia bakalan nanya macem-macem. Gue capek jawabnya," ucap Mohan cuek
"Kenapa baru sekarang? Azalea udah heboh dari dulu kan? cewek Absurd yang punya seribu kalimat ajaib bahkan mungkin lebih. Kenapa lo baru sadar sekarang? Apa karena Amara?" suara Jenara datar namun penuh sindiran.
"Lo kenapa sih Je, di kantin tadi lo ngomong kasar ke Amara. Dan sekarang lo nuduh Amara cuma karena gue bilang kalo Azalea itu heboh." Mohan mendengus kasar.
"Karena cewek yang lo bilang heboh itu, dari tadi nungguin kabar dari lo. Dia khawatir sama lo, kehebohan dia yang bikin pikirannya selalu overthinking .Dia cuma takut lo kenapa-napa, tapi lo—dengan santainya bilang males nelpon balik, karena dia terlalu heboh." kesalnya mengulang kata-kata Mohan
Mohan menarik nafas dalam, "iya sorry gue salah, nanti gue bakalan telpon kok." sesal Mohan,
"Dari dulu Azalea menjadi prioritas untuk kita Moh, tolong jangan lupain itu."
"Gue masih inget, cuma nggak selamanya dia jadi prioritas kita Je. Kita berdua juga punya kehidupan, dan Azalea suatu saat bakalan nemuin seseorang yang dicintainya. Saat itu tiba, nggak mungkin kan Azalea masih kita prioritaskan? Mau ngamuk lakinya nanti." cerocos Mohan,
Jenara pun sependapat dengan Mohan. Namun, direlung hatinya. Jenara berharap hanya dia yang akan menjadi jodoh untuk Azalea. Hanya dia yang akan selalu mendampingi dan melindungi gadis itu selamanya.
"Darimana lo," tanya Jenara
"Gue cuma ngajak Amara jalan aja kok, habis itu kita makan terus pulang deh."
Jenara mengangguk lalu dengan suara datar dia berkata. "cepet banget kalian akrab, padahal baru kenalan dua hari kan?"
"Maybe..., karena gue ganteng kali ya," ucapnya sambil terkekeh.
"Hati-hati nanti dia nyaman sama lo,"Jenara menghela napas pelan. “Karena gue liat, Sikap lo ke Amara… terlalu berlebihan, untuk orang yang baru kenal. Seakan-akan semua hal tentang dia selalu jadi prioritas lo.”
"Berlebihan gimana maksud lo? Udah dong Je, gue lagi males berdebat." kesal Mohan, sahabat yang satu ini banyakan nyebelinnya daripada nyenenginnya.
"Gue suka sama dia Je," Akunya
"Terlalu cepet buat dibilang cinta," Jawab Jenara datar.
"Love at the first sight, itu yang gue rasain sekarang." yakin Mohan, Jenara meliriknya sekilas.
"Lo belom tau banyak tentang dia Moh, jangan ceroboh." Jenara mengingatkan.
"Gue bakalan ngedeketin dia pelan-pelan kok, nggak langsung nembak juga. Kaya yang Lo bilang, gue belom tau banyak hal tentang dia."
"Amara kriteria gue banget, semua yang ada di dia gue suka." Mohan berkata sambil tersenyum, mengingat kembali kebersamaannya tadi.
"Jangan terlalu berharap lebih, belom tentu dia juga suka sama lo Moh." ujar Jenara
"Gila Je, nyelekit banget omongan lo. Harusnya lo ngedukung gue sama dia, eh ini belom apa-apa udah bikin gue overthinking." Mohan berkata sambil melempar bantal ke arah Jenara.
"Gue cuma kasian sama Azalea, kalo lo fokus ngedeketin Amara. Pasti dia bakalan kesepian,"
"Masih ada lo, sementara gue ngedeketin Amara. Lo temenin dia terus, jangan bikin dia kesepian." Mohan beranjak dari duduknya.
"Kemana Lo Moh?" tanya Jenara.
"Mau mandi gue, lengket banget kayanya. Gue tinggal bentar ya, jangan pulang dulu—Bik Minah udah nyiapin makan." ujar Mohan sambil ngeloyor pergi.
"Jangan lupa telpon Azalea, biar dia nggak khawatir. Gue yakin dia lagi nungguin telpon dari Lo Moh," teriak Jenara, agar cowok itu mendengarnya.
"IYA—" Mohan balas berteriak.
Jenara menarik nafas dalam, dia bersandar di sofa lembut itu, kedua matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya penuh dengan satu nama 'Azalea'. Cewek absurd dengan segala keluguan dan tawanya yang kadang bikin orang geleng-geleng kepala, sebenarnya menyimpan sesuatu yang lebih rapuh dari yang terlihat. Jenara tahu, betul-betul tahu, kalau hati Azalea nggak sesederhana candaannya.
Dan sekarang, bayangan itu makin jelas. Bagaimana kalau Azalea suatu saat tahu kenyataannya? Bahwa Mohan, sahabat yang selama ini jadi pusat dunianya jatuh hati pada Amara—Cewek yang kata Mohan sangat cantik dan lembut itu. Apa Azalea bakal sanggup senyum kayak biasanya, atau justru akan hancur?
Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin selalu memastikan Azalea baik-baik saja. Sesuatu yang sudah lama ia pendam, dan tak pernah berani ia beri nama. Mungkin itulah alasan setiap kali Mohan mulai terlalu dekat dengan Amara, dia justru ingin marah. Bukan karena dia cemburu atau tidak suka dengan adanya Amara dimejanya tadi, tapi karena Azalea. Jenara hanya ingin melindungi gadisnya itu dari rasa sakit dan terluka.
Jenara menutup mata, mencoba menyingkirkan bayangan itu. Tapi wajah Azalea, dengan senyum kecil yang kadang dipaksakan, kembali muncul. Senyum yang ia kenal terlalu baik, senyum yang hanya dipakai untuk menyembunyikan luka. Azalea tau cara menyembunyikan luka, sejak dia kehilangan sang Bunda dan harus menerima kenyataan
bahwa semua itu diakibatkan oleh Ayahnya sendiri. Sang ayah berselingkuh dengan wanita lain tiga tahun yang lalu tepatnya.
Kebimbangan itu menyesakkan, seperti benang kusut yang tak ada ujungnya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Jenara merasa persahabatan mereka bertiga bukan lagi sekadar lingkaran aman. Ada retakan kecil yang siap menjelma jadi jurang, dan Jenara terjebak tepat di tengah-tengahnya.