NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:296
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jaring laba-laba

Malam telah turun di atas Jakarta, membungkus kota dalam selubung kelembapan dan cahaya neon. Di dalam The Alchemist's Table yang baru saja dibuka kembali, suasananya tenang dan elegan. Para tamu undangan—para elite kota yang dipilih dengan cermat—tertawa dan berbincang di tengah alunan musik jazz yang lembut, menikmati hidangan-hidangan indah yang disajikan dengan sempurna. Di permukaan, ini adalah malam perayaan, sebuah deklarasi kemenangan dan kelahiran kembali. Tapi di bawah permukaan yang berkilauan itu, di dalam jantung restoran yang telah ditempa ulang oleh api, sebuah permainan yang sama sekali berbeda sedang mencapai babak akhirnya.

Di dapurnya yang kini menjadi kuil sekaligus benteng, Leo berdiri dalam keheningan. Ia tidak memasak. Ia mengenakan setelan jas hitam yang tajam, kontras dengan seragam putih para stafnya yang bergerak di sekelilingnya seperti hantu yang efisien. Di sampingnya, Isabella bersandar di meja persiapan baja, gaun malamnya yang berwarna merah anggur memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Mereka tidak berbicara. Mereka hanya menunggu. Setiap sudut restoran kini dilengkapi dengan kamera mikro dan sensor audio. Setiap pelayan adalah anggota Legiun yang terlatih. Restoran ini bukan lagi sekadar tempat makan; itu adalah sebuah panggung, sebuah jebakan, dan mereka adalah sutradaranya.

Di telinga Leo, suara tenang Bianca terdengar dari ruang perang di Empress Tower. "Target telah mengambil umpan. Dia meninggalkan markasnya sepuluh menit yang lalu. Sendirian, sesuai perkiraan. Dia sedang dalam perjalanan. Perkiraan tiba... lima menit."

Operasi umpan mereka telah berhasil dengan sempurna. Selama seminggu terakhir, mereka telah menyebarkan informasi palsu melalui jaringan mereka, menciptakan skenario bahwa sisa-sisa faksi Rostova yang paling fanatik—yang kini secara rahasia dikendalikan oleh Marco—akan melakukan kesepakatan senjata ilegal skala besar dengan Kartel Sinaloa di salah satu gudang di pelabuhan. Kesepakatan sebesar itu, jika terjadi, akan memicu perang geng baru yang akan membakar seluruh kota. Itu adalah jenis kekacauan yang tidak bisa diabaikan oleh sang "Gembala". Itu adalah jenis masalah yang harus ia "kelola" secara pribadi dan diam-diam.

Sebuah layar kecil yang tersembunyi di dinding dapur menampilkan rekaman langsung dari kamera valet di depan restoran. Sebuah sedan Toyota biasa yang tidak mencolok berhenti. Seorang pria keluar. Dari penampilannya, ia bisa saja seorang pegawai negeri atau seorang dosen. Tapi Leo dan Isabella mengenali postur tubuhnya yang tegap, cara matanya yang tajam memindai sekeliling, dan aura otoritas yang ia coba sembunyikan di balik penampilannya yang sederhana.

Detektif Adrian Hartono telah tiba.

Ia masuk ke dalam restoran, berpikir bahwa ia akan menemui salah satu informan tingkat rendahnya untuk memberikan peringatan keras dan membatalkan kesepakatan senjata itu. Seorang pelayan (Riko, yang menyamar dengan sempurna) menyambutnya dengan sopan. "Selamat malam, Pak. Meja Anda sudah siap."

Hartono sedikit terkejut. "Saya tidak punya reservasi."

"Sudah diurus, Pak," kata Riko sambil tersenyum, menuntunnya bukan ke meja biasa, tetapi ke sebuah ruang makan pribadi yang sunyi di bagian belakang, yang jendelanya menghadap ke sebuah taman kecil yang tenang.

Saat Hartono masuk ke dalam ruangan itu, ia langsung tahu ada yang tidak beres. Ruangan itu kosong, kecuali satu meja di tengahnya. Dan di sana, menunggunya, bukanlah seorang preman kelas teri, melainkan Leo dan Isabella.

Sebelum Hartono sempat berbalik, pintu di belakangnya tertutup dan terkunci dengan suara klik yang berat. Lampu utama di ruangan itu meredup, menyisakan hanya satu lampu sorot yang menerangi meja mereka, mengubah ruangan itu menjadi sebuah ruang interogasi yang elegan.

Wajah Hartono yang biasanya tenang menunjukkan keterkejutan sesaat, tetapi dengan cepat ia berhasil menguasai dirinya. Ia adalah seorang profesional. Ia menatap mereka, matanya yang tajam bergerak cepat, menganalisis situasi, mencari jalan keluar.

"Isabella Rosales. Dan 'konsultan' barumu," kata Hartono, suaranya datar. "Ini pertemuan yang tidak terduga. Seharusnya aku tahu jebakan ini terlalu rapi untuk ukuran preman biasa."

"Silakan duduk, Detektif," kata Isabella, suaranya manis namun dingin. "Atau haruskah kami memanggilmu dengan nama yang diberikan oleh klienmu di Swiss? Sang Gembala."

Mendengar kata-kata itu, untuk pertama kalinya, topeng ketenangan Adrian Hartono retak. Hanya sepersekian detik, tapi Leo melihatnya. Kilat kepanikan murni di matanya sebelum ia berhasil menyembunyikannya lagi. Tapi itu sudah cukup. Mereka telah mengkonfirmasi segalanya.

"Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan," kata Hartono, mengambil tempat duduk, posturnya kini defensif.

Leo melangkah maju dari bayang-bayang, meletakkan sebuah tablet di atas meja dan menggesernya ke arah Hartono. Di layar, terpampang salinan transaksi dari Steiner Privatbank ke serangkaian rekening cangkang, yang akhirnya bermuara di sebuah dana perwalian anonim yang terbukti didirikan oleh Hartono.

"Heinrich Steiner mengirimkan salam," kata Leo pelan. "Dia sangat 'murah hati' dalam mendanai 'biaya konsultasi keamanan'-mu. Kami mengambil alih pembukuan banknya. Dan kami menemukan beberapa anomali yang menarik."

Leo kemudian menampilkan rekaman dari operasi umpan mereka di pelabuhan beberapa saat yang lalu. Rekaman itu menunjukkan kedatangan unit taktis "hantu", unit yang sama sekali bukan dari kepolisian. "Dan ini... ini bukan tim standar dari Polda Metro Jaya, bukan? Peralatan mereka terlalu canggih, disiplin mereka terlalu militeristik. Ini lebih mirip... unit operasi khusus dari intelijen negara."

Hartono terdiam. Wajahnya pucat. Ia telah benar-benar dipermainkan. Setiap rahasianya, setiap lapis dari kehidupannya yang ganda, telah dikupas habis. Sang pemburu kini telah menjadi buruan, terperangkap di dalam sangkarnya sendiri.

"Siapa kau sebenarnya, Hartono?" tanya Isabella, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau bukan sekadar polisi korup. Polisi korup bisa kami beli dengan mudah. Kau berbeda. Kau bermain dalam permainan yang jauh lebih besar."

Selama beberapa menit yang terasa panjang, Hartono tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap mereka, otaknya yang brilian berpacu, mencari jalan keluar, mencari celah, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Ia dikelilingi, tidak hanya secara fisik di dalam ruangan ini, tetapi juga secara informasional. Mereka memegang semua kartunya.

Akhirnya, ia menghela napas panjang, sebuah suara kekalahan. "Kalian tidak akan mengerti," katanya, suaranya lelah.

"Kalau begitu, buat kami mengerti," desak Leo.

Dan Hartono pun mulai berbicara. Ia menceritakan sebuah kisah yang begitu luar biasa hingga terasa seperti fiksi, tetapi Leo dan Isabella tahu setiap katanya adalah kebenaran. Ia menceritakan tentang sebuah konsorsium rahasia, sebuah aliansi informal dari para tokoh-tokoh paling kuat di dunia politik, militer, dan bisnis. Mereka tidak punya nama resmi, tetapi di kalangan internal mereka, mereka menyebut diri mereka "The Synod"—Sinode.

Tujuan mereka, menurut Hartono, bukanlah kejahatan atau kebaikan. Tujuan mereka adalah stabilitas. Sebuah stabilitas global yang terkontrol dan, tentu saja, menguntungkan bagi para anggotanya. Mereka percaya bahwa dunia terlalu kacau untuk diserahkan pada politisi biasa atau pasar bebas. Dunia butuh para "Gembala"—orang-orang seperti dirinya—yang bekerja dalam bayang-bayang untuk menjaga keseimbangan.

"Di Jakarta," jelas Hartono, "tugas saya adalah memastikan dunia bawah tanah tetap terkendali. Saya tidak memberantasnya. Itu mustahil dan justru akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang lebih berbahaya. Saya mengelolanya."

Ia menatap Isabella. "Keluarga Rosales diizinkan untuk berkembang karena ayahmu memahami keseimbangan. Ia tidak terlalu serakah. Keluarga Rostova dibiarkan masuk untuk menciptakan persaingan, untuk mencegah ayahmu menjadi terlalu kuat. Saya yang mengatur perbatasan wilayah mereka, saya yang membocorkan informasi untuk memastikan tidak ada pihak yang menang telak. Saya adalah tangan tak terlihat yang menjaga papan catur tetap seimbang."

"Dan Steiner?" tanya Leo.

"Steiner adalah bendahara The Synod. Ia yang mendanai operasi-operasi kami yang tidak tercatat di anggaran negara mana pun," kata Hartono. "Pembayaran itu bukan untukku. Itu adalah dana operasional untuk unit-unit seperti yang kau lihat di pelabuhan."

"Dan mengapa kau melakukan semua ini?" tanya Isabella. "Untuk stabilitas? Untuk negara?"

Di sinilah, wajah Hartono yang keras menunjukkan jejak kerapuhan. "Awalnya, ya. Tapi kemudian..." ia berhenti, menelan ludah. "...istri saya sakit. Penyakit genetik langka. Biaya perawatannya astronomis. The Synod menolong. Mereka mendanai perawatannya hingga akhir hayatnya."

"Dan putriku..." lanjutnya, suaranya nyaris tak terdengar, "...dia mewarisi kondisi yang sama. Dia baik-baik saja sekarang, tapi suatu hari nanti, dia akan butuh perawatan yang sama. Aku melakukan ini semua... untuknya."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Musuh mereka yang licik dan berbahaya ternyata adalah seorang pria yang putus asa, seorang ayah yang rela membuat kesepakatan dengan iblis untuk menyelamatkan anaknya. Ini membuatnya jauh lebih kompleks, dan jauh lebih berbahaya. Seorang pria yang berjuang demi uang atau kekuasaan bisa dipatahkan. Seorang pria yang berjuang demi anaknya... tidak akan pernah berhenti.

Leo dan Isabella saling berpandangan. Mereka kini memahami segalanya. Dan Leo tahu, mereka tidak bisa membunuh pria ini. Mereka tidak bisa melawannya secara langsung. Mereka harus mengubah permainannya.

Setelah pengakuan Hartono, suasana di penthouse terasa berat. Mereka telah menatap ke dalam jurang, dan jurang itu adalah sebuah konspirasi yang begitu luas dan dalam hingga membuat perang mereka melawan Viktor terasa seperti pertengkaran di halaman sekolah. Mereka melawan sebuah sistem, sebuah "pemerintahan bayangan" yang memiliki sumber daya tak terbatas dan agen-agen di setiap level kekuasaan.

Malam itu, setelah Marco membawa Hartono ke sebuah lokasi penahanan yang aman dan Bianca mulai menganalisis informasi baru yang mereka dapatkan, Leo dan Isabella akhirnya sendirian di ruang perang. Mereka dikelilingi oleh diagram-diagram dari jaring laba-laba baru yang menakutkan ini, dengan nama-nama yang terhubung ke The Synod, Steiner, dan Hartono.

Mereka merasa sangat kecil di hadapan musuh yang begitu besar.

"Kita bisa lari, kau tahu," kata Isabella pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita punya cukup uang dari Steiner untuk menghilang. Membeli sebuah pulau di Karibia, hidup dalam damai."

Leo berjalan ke arahnya dan berdiri di belakangnya, melingkarkan lengannya di pinggang Isabella sambil menatap diagram konspirasi itu bersama-sama. "Dan membiarkan orang-orang ini terus mengendalikan dunia dari bayang-bayang? Membiarkan mereka terus mempermainkan hidup orang lain seperti yang mereka lakukan pada Hartono? Seperti yang mereka lakukan padamu?"

Ia menggelengkan kepalanya. "Itu bukan dirimu. Dan itu... bukan lagi diriku."

Isabella bersandar pada tubuh Leo, merasakan kekuatan dan ketenangan darinya. Di dunia yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi ini, pelukan ini adalah satu-satunya kebenaran, satu-satunya benteng yang nyata. Mereka adalah "kita" melawan seluruh dunia.

"Kau benar," bisiknya.

Gairah yang timbul di antara mereka malam itu bukanlah gairah yang liar atau penuh perayaan. Itu adalah gairah yang lahir dari kebutuhan yang mendesak untuk saling menguatkan, untuk menegaskan kembali keberadaan mereka di tengah konspirasi yang mengancam untuk menelan mereka. Itu adalah sebuah tindakan pemberontakan yang sunyi.

Leo memutar tubuh Isabella untuk menghadapnya. Ia menatap ke dalam matanya, dan di sana ia melihat Ratu-nya, pejuangnya, partnernya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menundukkan kepalanya dan menciumnya.

Ciuman itu dalam, lambat, dan penuh dengan semua emosi yang telah mereka lalui bersama. Mereka bercinta di sana, di jantung dari ruang perang mereka, di atas meja holografik yang dingin, dengan cahaya biru dari peta konspirasi sebagai satu-satunya penerangan mereka. Itu adalah sebuah adegan yang sureal: dua tubuh yang terjalin dalam gairah yang membara, dikelilingi oleh diagram-diagram kekuasaan dan intrik global.

Setiap sentuhan adalah sebuah penegasan. Setiap ciuman adalah sebuah sumpah. Mereka bergerak bersama sebagai satu kesatuan, menemukan kekuatan dan pelarian dalam tubuh satu sama lain. Itu adalah cara mereka mengisi ulang jiwa mereka sebelum menghadapi pertempuran terbesar dalam hidup mereka. Gairah mereka adalah satu-satunya wilayah yang sepenuhnya milik mereka, satu-satunya kerajaan di mana tidak ada mata-mata, tidak ada pengkhianat, hanya ada kepercayaan mutlak antara dua jiwa yang telah ditempa oleh api. "Panas" dari adegan itu bukanlah dari aksi fisiknya, melainkan dari kedalaman emosionalnya yang luar biasa—sebuah momen keindahan dan kehidupan yang ganas di tengah dunia yang dingin dan penuh perhitungan.

Keesokan harinya, Leo memulai langkah berikutnya dari rencananya yang paling berani. Ia akan menemui Hartono, sendirian. Bukan untuk interogasi lebih lanjut, tetapi untuk sebuah negosiasi.

Mereka bertemu di sebuah safe house yang netral. Hartono tampak lelah, bahunya merosot. Ia telah kalah.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Hartono. "Membunuhku?"

"Aku tidak tertarik pada kematianmu, Detektif," kata Leo tenang. "Aku tertarik pada keahlianmu."

Leo meletakkan sebuah tablet di atas meja di antara mereka. Ia tidak menampilkan bukti kejahatan Hartono. Ia menampilkan sesuatu yang lain.

"Ini adalah riset medis terbaru tentang kondisi putrimu," kata Leo. "Sebuah terapi gen eksperimental di sebuah klinik di Swiss. Tingkat keberhasilannya 80%, tapi biayanya... astronomis."

Hartono menatap layar itu, matanya melebar.

"Dan ini," lanjut Leo, menampilkan dokumen lain, "adalah sebuah akta pendirian dana perwalian. Dibuat secara anonim melalui bank yang baru saja kami akuisisi. Dana ini akan menutupi seluruh biaya perawatan putrimu, pendidikannya, seluruh hidupnya, tanpa bisa dilacak oleh siapa pun, termasuk oleh The Synod."

Hartono mendongak, wajahnya penuh dengan kebingungan dan secercah harapan yang menyakitkan. "Kenapa? Kenapa kau melakukan ini?"

"Karena kau membuat kesepakatan dengan iblis untuk menyelamatkan putrimu," jawab Leo. "Aku menawarimu kesepakatan yang lebih baik, dengan iblis yang berbeda. Iblis yang setidaknya memberimu pilihan."

"Apa yang kau inginkan sebagai balasannya?" tanya Hartono, suaranya serak.

"Aku ingin kau terus menjadi sang Gembala," kata Leo. "Lanjutkan pekerjaanmu. Lanjutkan melapor pada atasanmu. Tapi mulai sekarang, kau melapor pada kami terlebih dahulu. Kau akan menjadi agen ganda kami. Kau akan memberi kami informasi yang kami butuhkan untuk membongkar jaring ini dari dalam. Dan kau akan memberikan informasi palsu yang kami rancang kepada atasanmu."

"Kau ingin aku mengkhianati negaraku?"

"Kau sudah mengkhianati prinsip-prinsip negaramu saat kau bergabung dengan mereka," balas Leo tajam. "Aku menawarimu kesempatan untuk benar-benar menegakkan keadilan. Keadilan yang sesungguhnya. Pikirkan ini sebagai penebusan dosamu."

Leo berdiri. "Pilihan ada di tanganmu, Detektif. Kehidupan putrimu yang terjamin, atau loyalitas pada para dalang yang hanya melihatmu sebagai bidak yang bisa dikorbankan."

Leo meninggalkan Hartono sendirian di ruangan itu dengan pilihan yang mustahil.

Beberapa jam kemudian, Leo menerima sebuah pesan terenkripsi dari Hartono. Pesan itu hanya berisi satu kata: "Setuju."

Di bawahnya, ada sebuah nama.

Nama atasan Hartono. Nama pria yang merekrutnya. Nama sang laba-laba di pusat jaring laba-laba Jakarta.

Jenderal Purnawirawan Soeharto.

Leo menatap nama itu. Nama yang membawa bobot sejarah, kekuasaan, dan ketakutan yang luar biasa di negara itu. Seorang pahlawan perang yang dihormati, seorang industrialis yang kuat, seorang "kingmaker" di dunia politik. Tak tersentuh. Seorang dewa.

Leo berjalan ke balkon penthouse, di mana Isabella sedang menunggunya. Ia menunjukkan nama itu pada Isabella. Isabella membaca nama itu, dan untuk pertama kalinya, Leo melihat jejak keraguan di mata Ratu-nya.

"Dia... bukan sekadar gangster atau bankir, Leo," bisiknya. "Dia adalah bagian dari fondasi negara ini. Melawannya sama saja dengan menyatakan perang terhadap gunung."

Leo menatap cakrawala Jakarta. Perang mereka selama ini terasa begitu kecil, begitu remeh. Mereka tidak pernah benar-benar bertarung melawan musuh-musuh mereka.

"Kita tidak pernah bertarung melawan Viktor, atau Jäger, atau bahkan Hartono," pikirnya dalam hati, saat kebenaran yang mengerikan itu terungkap sepenuhnya.

"Kita hanya sedang menarik benang-benang kecil dari sebuah jaring laba-laba r

aksasa. Dan sekarang... kita akhirnya melihat sang laba-laba itu sendiri."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!