NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wisuda

Pertengahan April 2002, Dion telah menyelesaikan proyek akhir dan dinyatakan lulus dalam ujian sidang dengan nilai memuaskan. Ia diperbolehkan untuk ikut serta dalam wisuda penamatan yang akan dilaksanakan pada bulan berikutnya.

Dion yang merasa bahagia menyampaikan kabar gembira itu pada Oppung dengan mengunjunginya.

Oppung mulanya merasa heran dengan kunjungan mendadak Dion, apalagi saat itu ia sedang menjamu teman-teman lamanya. Oppung lalu mengajak Dion nimbrung dengan mereka.

Awalnya Dion merasa canggung, namun keramahan para lansia itu segera membuatnya nyaman. Ia menjadi antusias mendengar penuturan kisah-kisah masa lalu. Sesekali ia berkomentar dengan melempar guyonan membuat suasana kian hidup. Tetamu yang tadi hendak berpamitan malah urung pergi dan semakin larut dalam obrolan nostalgia.

Oppung yang menyadari bahwa Dion harus bekerja karena jam sudah hampir menunjukkan pukul lima akhirnya menanyakan keperluan Dion mengunjunginya sore itu.

“Ada apa tadi Amang? Ada yang penting?” tanya Oppung pada Dion di hadapan tamu-tamunya.

“Ah, ada Oppung. Tiba-tiba aku ingin ngobrol sama Oppung jadi dari kampus aku langsung ke sini,” sahut Dion.

“Bah, ngobrol kau bilang penting. Malu kau rupanya bilang keperluanmu karena ada kami para tamu,” celetuk seorang kakek tamu Oppung membuat semua yang berada di situ tertawa.

Sebenarnya Dion tak ingin mengutarakan maksudnya di depan para tamu. Tapi anggukan Oppung membuatnya buka bicara.

“Begini Oppung, Dion cuma mau laporan kalau tadi sudah lulus ujian akhir. Bulan depan aku diperbolehkan wisuda,” tutur Dion membuat Oppung kaget sekaligus senang.

“Wah. Selamat! Tak terasa ternyata sudah dua tahun,” Oppung sejenak terkenang. Ia dengan mudah mengingat dua tahun karena dua tahun lalu Wina meninggalkan kota Medan.

“Loh. Dua tahun kuliah bisa wisuda?” tanya seorang nenek heran.

“Iya, Si Dion ini sudah kuliah D1 sebelumnya, jadi tinggal dua tahun karena melanjut ke D3,” jelas Oppung membuat para tamu menganggukkan kepala.

“Sebenarnya aku tidak harus wisuda. Malah hemat karena tak perlu bayar biaya wisuda,” ujar Dion lirih, nyaris pada diri sendiri.

“Harus wisuda lah Amang! Kan sudah lelah kuliah. Tak mengapa kalau sedikit dirayakan,” timpal Oppung.

“Iya Oppung. Aku mau wisuda, tapi aku ingin Oppung yang mewakili orang tua supaya aku tidak malu karena sendirian,” ujar Dion membuat Oppung dan tetamu diam keheranan.

“Dulu waktu penamatan SMK, aku sendirian. Semua orang melihatku dengan rasa kasihan. Membuatku malu,” lanjut Dion.

“Pantas rupanya Oppung menjadi pengganti orang tuamu?” tanya Oppung.

“Kalau Oppung tidak pantas, maka tidak ada orang yang pantas. Lagipula, Oppung yang selalu menasihati dan menyemangatiku untuk kuliah,” sahut Dion mantab.

“Baiklah. Tapi siapa lah kawanku di sana nanti?” tanya Oppung lagi.

“Sama Mbak Sari boleh, kok. Kan undangannya untuk dua orang,” jawab Dion bersemangat dan senang karena mendapat persetujuan dari Oppung.

“Iya. Oppung akan ke sana. Nanti kasih tahu lah tanggal sama jamnya,” pungkas Oppung.

Seorang tamu menimpali, “Kuliah di mana? Mau kerja apa setelah ini?”

“Dia kuliah komputer,” sahut Oppung bangga. “Si Dion ini sudah bekerja, mandiri, membiayai kuliahnya sendiri.”

Karena hari sudah cukup sore, Dion kemudian berpamitan pada Oppung dan tamunya untuk pergi ke kantor.

Sepeninggal Dion, para tamu yang penasaran mulai bertanya mengapa pemuda itu meminta Oppung menggantikan orang tuanya di wisuda. Dengan suara tenang, Oppung menjelaskan bahwa Dion adalah anak yatim piatu yang merantau ke Medan seorang diri.

“Sepertinya dia pemuda baik dan pekerja keras. Sopan pula. Kalau aku punya cucu perempuan yang sebaya, sudah kujadikan cucu menantu,” celetuk seorang kakek, setengah bergurau.

“Kita kenalkan saja dengan Susi, cucu Parhata,” sahut nenek di sampingnya.

Oppung tersenyum tipis. “Kita ini memang sudah tua, jadi berpikiran lebih sederhana. Tapi belum tentu orang tua Susi mau menerima anak tading maetek seperti Dion.”

“Kukira mereka akan setuju saja. Apalagi Susi sudah hampir tiga puluh,” timpal si nenek.

Oppung menarik napas panjang. “Dion itu dulu pacarnya Wina, cucuku. Tapi hubungan mereka berakhir karena anakku, Maria, tak mau bermenantukan seorang yatim piatu dan miskin. Itulah sebabnya Wina dipindahkan kuliahnya, supaya mereka terpisah.” Ada nada sedih yang terselip di suaranya.

“Wah! Apa si Dion masih berharap jadi cucu menantumu?” tanya si kakek.

“Kupikir dia sudah merelakannya,” jawab Oppung lirih. “Aku yang memintanya sering ke sini karena tak mau dia kehilangan semangat. Lagipula, aku suka berbincang dengannya.”

Para tamu mengangguk-angguk memahami.

“Benar katamu, Kak,” ujar seorang nenek. “Bagi kita yang sudah renta, hal seperti itu bukan masalah besar. Kita tak lagi peduli pada anggapan orang. Tapi bagi mereka yang masih muda dan merasa memiliki status sosial tinggi, menerima seorang yatim piatu sebagai menantu memang tak semudah itu.”

...***...

Senin pagi, 20 Mei 2002, Dion pun menjalani hari wisudanya dengan bahagia. Oppung dan Mbak Sari menggantikan orang tuanya di acara penamatan itu. Wisuda juga dihadiri Hendri, Atik, Andi dan Nita.

Setelah acara wisuda, Dion ingin mengajak Oppung dan para sahabatnya untuk makan siang di sebuah restoran. Tapi Oppung ternyata sudah punya rencana lain.

Oppung justru mengajak semuanya untuk makan siang di rumahnya karena pagi-pagi sekali Mbak Sari dan Oppung sudah mempersiapkan makan siang sebelum menghadiri acara wisuda.

Secara khusus, Oppung ternyata sudah menyiapkan ikan mas untuk Dion sebagai ungkapan syukur dan doa pengharapan untuk masa depan. Sama seperti yang pernah ia lakukan dua tahun lalu ketika Dion sembuh dari luka-luka akibat pengeroyokan yang terjadi padanya.

Oppung tampak bahagia menjamu tamunya. Apalagi semua orang-orang muda itu tampak sopan dan ramah. Atik dan Nita bahkan tak segan-segan membantu Mbak Sari berberes di dapur seusai makan siang.

Acara selamatan kecil-kecilan itu berlanjut hingga sore hari. Sebelum pamitan, Dion tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Oppung yang hari itu menggantikan orang tuanya di acara wisuda bahkan menjadi tuan rumah acara syukuran kecil-kecilan untuknya.

Malam harinya, Dion juga menjamu rekan-rekannya di unit produksi di restoran kecil sekitar kantor.

Sepulang kerja, Dion menjamu beberapa penghuni indekos dengan membawakan makanan dan minuman. Perayaan wisuda Dion pun dilanjutkan dengan nyanyian-nyanyian bersama sesama penghuni.

Sudah hampir jam tiga pagi ketika Dion meninggalkan teman sekosnya yang masih asyik dengan nyanyian untuk beristirahat. “Pagi-pagi sekali aku ada urusan. Jadi maaf aku harus istirahat,” Dion undur diri pada para mahasiswa itu.

...***...

Tak butuh waktu lama bagi Dion untuk tertidur. Bukan hanya karena kelelahan dan pengaruh minuman, alunan lagu yang dimainkan para mahasiswa turut membuat Dion terlelap dalam waktu singkat.

Dion terbangun ketika merasakan seseorang mengusap dahi dan rambutnya. Dion segera mengetahui Melati sedang bersamanya karena ia bisa membaui aroma parfum Melati yang khas.

“Hei, selamat yah! Dion akhirnya menamatkan kuliah,” ujar Melati yang lalu sedikit menjauh karena Dion bangkit duduk.

“Terima kasih, Kak. Ini berkat Kakak juga yang terus memberikan dorongan positif,” sahut Dion.

“Hari ini Dion terlihat sangat tampan.”

Dion yang hendak berjalan hendak mengambil air minum terhenti mendengar pujian Melati. “Aih, Kakak ini sedikit-sedikit bilang tampan.”

“Itu karena hari ini kamu banyak tersenyum.”

“Aku terlihat tampan yah kalau tersenyum?” tanya Dion lalu meminum air dari gelas di tangannya. Tenggorokannya tadi terasa sangat kering.

Sambil memberikan gestur tangan menggambarkan ukuran kecil dengan telunjuk dan jempolnya, Melati berkata singkat, “Sedikit.”

“Harusnya kakak tadi bilang hari ini Dion tampan sedikit. Jangan diangkat tinggi lalu diturunkan lagi,” protes Dion membuat Melati tertawa.

“Sebenarnya aku ingin merayakannya dengan kakak,” lanjut Dion merasa bersalah.

“Ah sudah lah. Keadaan tak memungkinkan,” sahut Melati. Tapi lalu mengatakan, “Bagaimana perayaan diganti dengan permintaan?”

“Boleh. Kakak mau apa?” tanya Dion.

Melati menatap Dion ragu. “Nggak usah deh. Nanti malah Dion gak mampu,” Melati urung.

“Apa sih si Kakak. Bilang dulu. Siapa tahu Dion bisa,” desak Dion.

“Dion belikan daster rumahan untuk kakak,” Melati mengemukakan permintaannya.

Dion merasa geli dengan permintaan itu. “Astaga! Itu sih gampang. Kenapa nggak bilang dari dulu?”

“Aku juga baru kepikiran,” jawab Melati.

Sambil tersenyum Dion mengamati Melati beberapa saat membayangkan wanita itu mengenakan daster rumahan.

“Kenapa liatin kakak begitu?” tanya Melati mendapati Dion memandanginya dengan aneh.

“Kakak pasti cantik kalau pakai daster. Nanti aku pilih daster ibu-ibu,” sahut Dion bersemangat.

“Ha? Ibu-ibu kok cantik?”

“Iya dong. Semua ibu-ibu itu kan cantik. Apalagi kakak cantik, jadinya dua kali cantik,” canda Dion.

“Sekalian aku beliin yang lain, deh,” tambah Dion ketika ia ingat sesutu.

“Apa?”

Dion berdeham kecil. “Pakaian dalam.”

Melati sontak menatapnya tajam. “Heh?”

“Biar lengkap, Kak. Masa daster doang?”

“Nggak usah. Lagian, masak cowok beliin yang begituan?”

Dion tertawa. “Kenapa? Aku pilih yang bagus kok, nggak asal.”

“Justru itu masalahnya! Kakak nggak mau tahu selera kamu soal yang begituan,” sahut Melati cepat.

Dion masih tertawa ketika Melati pura-pura mengancam hendak melempar bantal ke arahnya.

Obrolan keduanya kemudian dilanjutkan dengan cerita Dion bersama Oppung dan sahabatnya yang mengadakan selamatan seadanya.

“Mantan calon nenek mertuamu baik, ya?” ujar Melati.

“Mantan calon nenek mertua? Aih! Baru kali ini aku dengar istilah itu,” Dion tertawa geli.

“Tapi beliau memang baik, kok. Dia suka memberi wejangan dan aku suka kisah-kisah masa mudanya. Karena aku memang selalu tertarik dengan kehidupan di awal kemerdekaan,” lanjutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!