Memergoki sepasang manusia yang sedang bercinta, membuat Kumala Rasya Putri—Kurap—harus terjerat sebuah perjanjian konyol dengan lelaki itu. Pandu Nugraha Andaksa—Panu—harus menahan emosi setiap kali berhadapan dengan Rasya yang begitu menguji kesabarannya.
Lantas, akankah mereka terjebak dengan sebuah pernikahan seperti kisah novel pada umumnya? Atau akan ada kejutan luar biasa yang mampu membuat kedua orang itu saling jatuh cinta?
Mau tahu jawabannya? Baca kisah ini dan jangan lupa beri dukungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
"Saya terima nikah dan kawinnya, Kumala Rasya Putri binti Joko Saifudin dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Pandu menggema di ruang tamu.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Pernikahan itu benar-benar digelar secara siri. Tidak ada gaun pengantin apalagi pesta mewah. Tidak ada sesi berfoto bersama, hanya foto saat ijab kabul yang diambil oleh Arga secara diam-diam. Namun, bibir Rasya justru tersenyum lebar, berbeda dengan Pandu yang memasang wajah datar.
"Kamu akan langsung kembali ke kota atau di sini dulu, Kum?" tanya Marlina.
"Om, mau balik sekarang apa besok aja?" Rasya menoleh ke arah Pandu yang sedang menikmati teh panas.
"Nanti sore kita langsung balik sama daddy dan mommy." Pandu menjawab ketus.
"Bu, Rasya langsung balik. Nanti kalau pas enggak sibuk, Rasya pulang kampung lagi." Rasya menatap Marlina dan Paijo bergantian.
"Baiklah, hati-hati nanti di jalan, Kum. Padahal bapak masih kangen banget sama anak perawan bapak satu-satunya." Paijo tampak terlihat sedih. Rasya bangkit berdiri lalu memeluk erat Paijo.
"Jangan sedih, sih, Pak. Kukum 'kan sekarang bisa pulang kapan aja tanpa mikirin uang buat bayar bus," balas Rasya. Mereka semua terkekeh kecuali Pandu yang memasang wajah malas.
"Tapi bapak masih kangen sama kamu loh, Kum." Paijo memeluk putrinya erat. Sejak kecil, Rasya memang lebih dekat dengan dengannya daripada Marlina.
"Atau Bapak mau ikut aja ke kota? Tapi nanti jangan kangen lihat bokong Juleha yang lebar sempurna," seloroh Rasya. Dia tergelak sendiri, sedangkan Paijo ingin sekali menjewer telinga Rasya sampai putus. Setiap kali nama Juleha masuk pembicaraan, Marlina pasti akan mengomel habis-habisan.
"Aduh! Aduh!" Rasya berteriak karena Agus sudah menjewer telinganya kencang bahkan sampai memerah.
"Kenapa kamu selalu bikin orang tua kita bertengkar?" omel Agus. Bukannya menjawab, Rasya justru mendekati Pandu dan memeluk tubuh lelaki itu erat.
Tubuh Pandu menegang saat tangan Rasya melingkar di perutnya. Apalagi saat Rasya menyandarkan kepala di dada bidangnya, jantung Pandu berdebar begitu kencang seolah tidak terkendali. Ingin sekali dia mendorong tubuh gadis itu karena takut tidak bisa menahan diri, tapi dia ingat kalau Rasya sekarang adalah istrinya.
"Jantung kamu berdebar-debar ya, Om?" tanya Rasya tanpa melepas pelukannya.
"Jangan ngarang!" bantah Pandu berusaha menetralkan suaranya agar tidak terdengar gugup.
"Ini kedengaran banget, Om." Rasya semakin menempelkan telinganya membuat Pandu tak karuan rasanya. "Ciee ... yang lagi dag dig der ... SERRR!!"
"Kamu!"
"Aku sekarang istrimu yang menggemaskan Om." Rasya mengerlingkan sebelah mata untuk menggoda Pandu.
"Astaga." Pandu hanya mengusap wajah secara kasar. Ingin sekali dia meremas wajah Rasya yang terlihat begitu menggemaskan.
***
Sore hari Rasya benar-benar kembali ke kota bersama dengan keluarga Pandu. Lisa sudah meminta Rasya untuk tinggal di rumah utama bersama mereka, tetapi Pandu menolaknya dan akan tinggal di rumah pribadi miliknya saja. Lisa dan Ferdinan pun hanya bisa menyetujui karena berpikir mungkin pengantin baru itu ingin menikmati waktu hanya berdua saja.
Sesampainya di rumah pribadi milik Pandu, Rasya terkejut saat melihat beberapa pelayan berdiri menyambut kedatangan mereka. Namun, Pandu hanya berjalan begitu saja dengan raut wajah datar. Berbeda dengan Rasya yang menarik kedua sudut bibirnya tersenyum ke arah pelayan yang sedang menatap heran padanya.
"Ini kamar kamu, Om?" Rasya begitu terpukau melihat kamar utama di rumah itu. Kamar yang begitu luas dengan ranjang king size. Tidak terlalu banyak hiasan, tetapi kamar itu terkesan begitu elegan.
"Jangan kampungan!" hina Pandu. Rasya mengembuskan napas secara kasar.
"Bukannya Om tahu kalau aku ini anak kampung." Rasya merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk itu.
"Bangun! Jangan mengotori tempat tidurku!" bentak Pandu, tetapi Rasya justru memejamkan mata dengan santai.
"Yaelah, Om. Pelit amat." Rasya menjawab santai, tetapi Pandu tampak begitu kesal.
"Bangun!" bentak Pandu.
"Enggak mau!"
"Bangun, Kurap!"
"Enggak mau, Om Panu!"
"Ba—"
"Tunggu dulu, Om." Rasya menginterupsi, "kenapa aku baru sadar kalau nama kita sangat cocok. Panu Kurap besok kalau punya anak, aku kasih nama Bima Sultan Andaksa, namanya keren 'kan, Om?"
Pandu terdiam sesaat. "Ternyata otakmu sedikit cerdas juga," puji Pandu. Rasya menepuk dada dengan bangga.
"Iya dong, Om. Rasya gitu," angkuh Rasya. "Bima Sultan Andaksa kalau disingkat jadi Bisulan, jadi pas sama kita. Haha."
"Astaga."
Pandu mengusap dada untuk memberi kesabaran pada hatinya, sedangkan Rasya justru tergelak keras karena yakin Pandu sedang sangat kesal saat ini.
Om Panu