Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
“Besok mama bawa Luca ke dokter.”
“Mama punya uang?” tanya Luca khawatir. Pasalnya untuk menghidupi mereka berdua apalagi pola makan Lily, membuat Ava kualahan.
Entah Lily meniru siapa. Makannya cukup banyak berbeda dengan Luca. Namun, itu tak membuat Ava marah atau menyerah.
Justru Ava bahagia dikaruniai bocah kembar cerdas seperti mereka yang selalu menemani hari-harinya.
“Tentu saja mama punya,” jawab Ava dengan cepat menggendong Luca yang lunglai, berjalan menuju kamar tidur mereka.
“Terserah mama saja.”
Luca, yang biasanya pendiam, kini tampak lemas dan menggigil.
Lily mengikuti mereka dari belakang, tak henti-hentinya mengoceh. Bocah perempuan berusia enam tahun itu memiliki tubuh agak chubby, pipinya bulat kemerahan yang kontras dengan sikapnya yang cerewet dan cerdas.
Lily melipat kedua tangan di dada, persis seperti seorang ibu yang mengomel.
“Kau seharusnya tidak boleh bilang begitu, Luca! Papa belum meninggal! Mama tidak pernah bilang Papa meninggal. Itu omongan anak bodoh!” seru Lily kembali membahas soal ayahnya.
Luca, yang sedang bersandar lemah di bahu Ava, mendongak sedikit ke arah kembarannya.
“Papa tidak penting. Papa sudah tiada,” bisiknya pelan, menirukan kata-kata Ava di masa lalu, meskipun kali ini ia hanya mengucapkannya untuk menyudahi perdebatan yang melelahkan.
“TIDAK BOLEH!” Lily menunjuk Luca dengan jari telunjuknya, melupakan sejenak bahwa adiknya sedang sakit. “Papa itu ada! Papa itu pasti hebat, makanya Mama melarikan diri! Kau jangan asal bicara kalau Papa sudah meninggal. Kalau Papa meninggal, kita tidak akan punya papa seperti teman-teman kita, Luca! Pikirkan sedikit!”
Ava menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Lily. Bocah itu benar-benar replika dirinya, cerewet, terlalu cerdas, dan selalu ingin mendominasi.
Sementara Luca hanya diam saja, memeluk Ava erat-erat, menikmati sensasi digendong oleh ibunya.
Dalam kondisi sakit, Luca menyerahkan perannya sebagai ‘Si Pintar’ pada Lily dan memilih bermanja-manja dengan Ava.
Sesampainya di kamar, Ava membaringkan Luca di tempat tidur, lalu menyelimuti tubuhnya.
Sementara Lily berdiri di samping tempat tidur, masih dengan raut wajah cemberut.
“Ma,” panggil Lily, nadanya kini melunak sedikit, beralih ke mode memohon.
“Ya, Lily, ada apa?”
“Kalau papa masih ada, mama tak perlu mencuri berlian lagi, kan? Lebih baik mama mencari papa saja. Papa pasti punya banyak uang dan bisa mengobati Luca.”
Pertanyaan Lily menusuk tepat ke titik terlemah Ava.
Ava telah menjual kehormatannya dan mempertaruhkan hidupnya hanya untuk mendapatkan uang demi anak-anaknya.
Keangkuhan masa lalunya kini telah dibayar mahal dengan ketakutan setiap hari bahwa ia akan tertangkap atau kankernya kembali aktif.
Wajah Ava mengeras. Ia tidak bisa lagi membiarkan si kembar menciptakan fantasi tentang seorang ayah yang ingin Ava lupakan.
“Cukup! Jangan membahas soal papa lagi!” seru Ava dengan nada sedikit tinggi. “Benar kata Luca, papa sudah tiada. Papa tidak penting. Mama yang akan mencari uang, kalian tidak perlu memikirkannya!”
Lily tersentak, mata bulatnya berkaca-kaca. Luca, di balik selimut, memejamkan mata, seolah kata-kata itu sudah ia hafal di luar kepala.
“Mama mandi dulu,” ucap Ava.
Setelah memberikan obat penurun panas pada Luca dan memastikan selimutnya terpasang rapat, Ava keluar kamar, menutup pintu perlahan.
Ava berdiri bersandar pada dinding di luar, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila karena amarah dan ketakutan.
Di dalam kamar, kesunyian hanya bertahan beberapa detik, Luca membuka matanya, menatap Lily yang masih cemberut di samping tempat tidurnya.
“Sudah aku bilang, papa tidak ada,” ujar Luca dengan suara sedikit lemah. “Mama sudah marah. Lihat, kau kena omel mama lagi kan?”
Lily mendengus, wajahnya semakin masam. “Ya, ya. Kau selalu benar kalau mama marah. Tapi aku tidak suka kalau kau bilang papa mati!” seru Lily memukul lengan Luca pelan.
“Tapi mama bilang papa sudah tiada. Bukankah itu sama dengan mati,” balas Luca, kali ini sambil tersenyum tipis. Ia merasa menang.
Lily cemberut, lalu duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya.
“Kau tidak mengerti, Luca. Kalau papa mati, berarti kita tidak punya harapan lagi untuk mama berhenti mencuri. Kita harus menemukan papa. Aku yakin, papa kita itu hebat, makanya mama takut dan lari,” ucap Lily.
Luca menatap wajah saudara kembarannya yang serius. Lily adalah otak di balik perencanaan harian mereka, dan ia selalu punya ide gila.
Meskipun sakit, Luca tetap mengangguk setuju.
“Baiklah, kita temukan papa. Tapi jangan tanya mama lagi. Mama galak kalau soal papa,” bisik Luca.
Mereka berdua saling tatap, si sakit dan si cerewet, mengukuhkan aliansi rahasia baru mereka. Mereka tidak tahu bahwa Papa yang mereka cari sedang terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta.
“Kalau begitu, sekarang kau temui mama dan minta maaf,” ucap Luca.
Lily melotot. “Sekarang?”
“Bukan tahun depan!” jawab Luca.
“Aku kan baru saja dimarahi karena papa. Kau saja sana yang minta maaf!”
“Sekarang, Lily! Kau tidak lihat aku sedang sakit?” balas Luca lalu bersembunyi di balik selimut tebalnya.
Lily mendengus, wajahnya semakin cemberut. Ia tahu Luca menggunakan penyakitnya sebagai perisai.
“Baiklah! Tapi nanti kau harus membelikanku permen satu bungkus dari uang tabunganmu!” Lily bergegas keluar kamar, meninggalkan Luca yang cekikikan tanpa suara.
udh gk ada maaf lagi dri edgar😌
klo km msh berhianat jg udh end hidupmu
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔