Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Sore, dan Penasaran yang Membakar!
Setelah berjalan dengan langkah mantap dan riang, Shanmu tiba di gerbang megah Sekte Langit Biru. Di sana, seperti yang dijanjikan, Tuan Yao sudah menunggu dengan sapu di pundaknya, wajahnya tampak biasa saja meski matanya menyapu sekeliling dengan kewaspadaan alami.
"Mari, kita mulai," ucap Tuan Yao dengan nada datar, lalu memimpin jalan masuk ke dalam kompleks sekte.
Hari itu berjalan dengan pola yang sama seperti sebelumnya, namun dengan perbedaan halus. Shanmu berusaha ekstra keras untuk menyapu dengan sangat pelan dan biasa, mengikuti irama Tuan Yao dengan cermat. Ia tidak ingin menimbulkan kehebohan lagi atau menarik perhatian yang tidak diinginkan. Proses penyembuhan ajaibnya juga memberinya tenaga lebih, sehingga meski bergerak lambat, ia merasa sangat segar.
Seperti biasa, tepat pukul sepuluh pagi, seluruh area yang menjadi tanggung jawab mereka sudah bersih sempurna berkat "usaha bersama" yang kali ini lebih terkordinasi. Mereka kemudian berjalan menuju bangunan administratif untuk mengambil gaji harian mereka.
Saat mereka mendekati pintu masuk bangunan itu, kebetulan dari arah berlawanan, tiga sosok muncul. Tuan Muda Leng Zuan, dengan wajahnya yang tampak namun dingin, berjalan di depan. Di belakangnya, mengikuti seperti bayangan setia, berjalan dua murid yang sangat familier bagi Shanmu, wajah licik dan mata dingin, kedua orang yang semalam menghunjamkan pisau ke pahanya.
Tuan Yao, yang melihat mereka, segera membungkuk hormat, menarik lengan Shanmu agar ikut melakukan hal yang sama. Shanmu patuh menunduk, matanya tertuju pada ujung sepatunya.
Namun, di saat itulah sesuatu yang tak terduga terjadi.
Tatapan Leng Zuan yang awalnya melayang tiba-tiba tertancap pada Shanmu yang sedang membungkuk. Ekspresi angkuhnya pecah, digantikan oleh keterkejutan yang mendalam, hampir tidak percaya. Kedua anak buahnya di belakangnya bahkan lebih parah. Wajah si bermata licik menjadi pucat pasi, bibirnya bergetar. Si bermata dingin mendesah keras, matanya membelalak seperti melihat mayat hidup.
Tuan Yao, dari sudut matanya, menangkap reaksi aneh itu. Hatinya berdesir. Kenapa mereka memandang Shanmu seperti melihat hantu? Apa yang terjadi?
"Apa... bagaimana mungkin dia masih bisa bekerja?" gumam si bermata licik, suaranya hampir tak terdengar, namun cukup jelas bagi mereka yang berada dekat.
Yang bermata dingin menimpali dengan suara bergetar penuh ketidakpercayaan, "Semalam... lukanya parah sekali. Kita melihatnya."
Leng Zuan, yang mendengar gumaman bawahannya, wajahnya berkerut menjadi kemarahan yang dingin. "Kalian berdua bodoh," desisnya, suaranya rendah namun penuh ancaman, membuat kedua anak buahnya gemetar dan menunduk dalam ketakutan. Tapi di balik kemarahannya, matanya yang tajam tetap menatap Shanmu dengan keheranan dan kecurigaan yang menggelegak.
Ini tidak mungkin. Luka seperti yang mereka deskripsikan seharusnya membuat sampah ini terbaring setidaknya selama seminggu. Bagaimana mungkin dia berdiri di sini, bahkan terlihat segar bugar?
Sementara itu, Shanmu, yang masih dalam posisi membungkuk, memutuskan untuk tidak menceritakan insiden semalam pada Tuan Yao. Ia tidak ingin membebani pikiran orang tua yang sudah baik padanya dengan masalahnya. Jadi, ia tetap diam, berharap tatapan itu segera berlalu.
Setelah momen tegang yang terasa lama itu, Leng Zuan akhirnya menggerutu dan berjalan terus, melewati mereka dengan langkah cepat, diikuti oleh kedua anak buahnya yang masih terlihat terguncang. Tuan Yao segera menarik Shanmu masuk ke dalam ruangan administratif.
Di depan Diaken He, prosedur berjalan lancar dan cepat. Diaken He kali ini bahkan tidak banyak bicara, hanya melemparkan dua puluh koin emas dengan gerakan jijik sebelum kembali pada dokumennya. Rupanya, ia masih kesal dengan insiden taruhan sebelumnya.
Setelah mengambil gaji, mereka bergegas mengembalikan sapu dan karung ke gudang, lalu berjalan keluar dari gerbang sekte. Begitu berada di luar, Tuan Yao tidak bisa menahan keingintahuannya lagi.
"Shanmu," tanyanya, suaranya berbisik. "Apa yang terjadi? Kenapa Tuan Muda Leng dan teman-temannya memandangmu dengan ekspresi seperti... seperti melihat sesuatu yang mustahil?"
Shanmu, yang telah menyiapkan jawaban, menggaruk-garuk kepalanya dengan polos. "Oh, itu. Itu keajaiban buatan Tabib Li, Tuan Yao. Lukaku sembuh sangat cepat. Mungkin mereka terkejut karena mengira aku masih terbaring sakit."
Jawaban itu, meski masuk akal, tidak sepenuhnya memuaskan Tuan Yao. Ia mengenal ekspresi "terkejut" dan "ketakutan" yang tadi ia lihat. Itu bukan ekspresi orang yang sekedar kaget melihat seseorang pulih. Itu adalah ekspresi orang yang menyaksikan sebuah pelanggaran terhadap hukum alam yang mereka pahami. Tuan Yao semakin heran dan penasaran. Tabib Li memang ahli, tetapi tidak sampai selevel itu. Pasti ada sesuatu yang lain.
Namun, sebelum ia bisa menggali lebih dalam, langkah mereka terhenti oleh sebuah suara.
"Shanmu."
Suara itu lembut, merdu, dan penuh wibawa, terdengar dari belakang mereka. Shanmu segera berbalik, dan wajahnya langsung berseri-seri seperti matahari yang muncul dari balik awan.
"Lanxi!" sambutnya dengan senyum cerah, melupakan sejenak semua ketegangan.
Di sampingnya, Tuan Yao langsung membeku, lalu dengan cepat menundukkan kepalanya dalam-dalam, memberikan penghormatan yang layak. "Nona Lan."
Lanxi tersenyum lembut, mengangguk pada Tuan Yao, lalu memusatkan perhatiannya pada Shanmu. Matanya yang indah memeriksa Shanmu sekilas, dan ada kilatan kepuasan dan sesuatu yang lain, mungkin kelegaan yang melintas di dalamnya.
"Shanmu," ucap Lanxi lagi. "Aku ingin mengingatkan janji kita. Jam tiga sore nanti, tunggu aku di depan gerbang kota lama, ya? Seperti yang kita bicarakan tadi malam."
Mendengar pengingat itu, antusiasme Shanmu langsung meledak. Ia mengangguk dengan cepat dan penuh semangat, seperti anak kecil yang dijanjikan pergi bermain. "Tentu, Lanxi! Aku tidak akan lupa! Aku akan menunggumu di sana!"
Sebuah senyum yang lebih hangat dan tulus dari sebelumnya menghias bibir Lanxi. "Bagus. Sampai nanti." Ia lalu menoleh ke Tuan Yao dan memberikan anggukan permisi yang anggun. "Aku harus kembali melanjutkan latihan. Pedang Bunga Salju ini masih perlu diselaraskan."
Setelah mengucapkan itu, Lanxi berbalik dan berjalan dengan langkah ringan kembali ke dalam kompleks sekte, meninggalkan aroma bunga yang samar.
Tuan Yao berdiri diam sejenak, baru kemudian mengangkat kepalanya. Ia mengelap keringat dingin yang tiba-tiba muncul di dahinya. Pertemuan singkat dengan Lanxi selalu membuatnya merasa seperti berada di dekat gunung berapi yang anggun, indah namun penuh potensi bahaya. Ia baru teringat bahwa kemarin Lanxi memang mengajak Shanmu. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.
Apa hubungan Shanmu dengan Nona Lanxi? Dan mengapa Nona Lanxi tampak begitu... akrab dengannya?
Namun, ia memutuskan untuk tidak bertanya langsung pada Shanmu. Pengalamannya memberitahunya bahwa bocah polos ini mungkin akan menjawab dengan jujur, tetapi jawabannya mungkin tidak akan memuaskan keingintahuannya yang sudah membara. Lebih baik aku tanyakan pada Lao Gong. Pasti dia tahu lebih banyak.
Dengan tekad itu, Tuan Yao mengalihkan perhatiannya. "Ayo, Shanmu. Mari kita kembali ke penginapan dengan cepat. Cuaca siang ini semakin panas."
Alasannya terdengar biasa, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir, Aku harus segera menemui Lao Gong sebelum rasa penasaranku ini membuatku mati!
Shanmu, yang tidak menangkap gejolak dalam hati Tuan Yao, hanya mengangguk patuh. "Baik, Tuan Yao."
Mereka kemudian berjalan dengan langkah cepat menyusuri jalanan kota yang semakin ramai oleh aktivitas siang hari. Sepuluh menit kemudian, mereka sudah tiba di depan Penginapan Bintang Senja yang familiar.
Begitu masuk, Shanmu langsung menyapa Paman Gong yang sedang berdiri di belakang konter dengan suara riang dan penuh hormat.
"Paman! Kami sudah kembali!"
Paman Gong membalas dengan senyum, tetapi matanya langsung tertuju pada Tuan Yao yang tampak agak tegang.
Tuan Yao tidak membuang waktu. "Shanmu," ucapnya, berusaha terdengar biasa. "Kau pasti lelah. Pergilah ke kamarmu untuk istirahat sebentar. Aku perlu bicara dengan Paman Gong tentang... tentang urusan pemasokan sayuran untuk penginapan."
Alasan yang dibuat-buat itu terdengar masuk akal bagi Shanmu. Ia mengangguk, memberi hormat pada keduanya, lalu berjalan menuju lorong menuju kamarnya, meninggalkan dua orang tua itu sendirian di ruang depan.
Begitu Shanmu menghilang di balik pintu kamarnya, Tuan Yao langsung menarik lengan Paman Gong dengan kuat, hampir menariknya.
"Teman Gong!" desisnya, suaranya bergetar karena penasaran dan kekhawatiran yang tertahan. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan bocah itu? Kita harus bicara. Sekarang!"
Dan dengan itu, pintu ruangan pribadi Paman Gong tertutup, mengurung dua orang tua yang penuh tanda tanya, sementara di kamarnya, Shanmu berbaring di atas ranjang empuk, menghitung mundur menuju jam tiga sore dengan hati yang dipenuhi antisipasi untuk latihan dan pertemanan baru, sama sekali tidak menyadari badai pertanyaan dan keheranan yang sedang mengamuk di ruangan sebelah.