NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11

Setelah mendengar penjelasan dari dua pria yang mengikutinya, Devan langsung memutar arah mobil dan melaju menuju rumah keluarganya. Langkahnya terburu-buru ketika masuk, namun tiba-tiba terhenti di ambang ruang tamu saat melihat Rosmala duduk santai di sofa, menonton televisi.

“Kamu ingat pulang juga?” ucap Rosmala tanpa menoleh lama, hanya sekilas melirik putranya sebelum kembali fokus pada acara di layar. Ia terkekeh kecil sambil mengunyah camilan, seolah tak ada yang terjadi.

“Mama nyuruh orang buat buntutin aku?” tanya Devan tiba-tiba, suaranya datar tapi jelas mengandung nada kecewa.

Rosmala terdiam. Gerakannya sempat kikuk saat menoleh, tatapannya sedikit panik meski mencoba tersenyum.

Devan menghela napas panjang, kelelahan jelas tergambar di wajahnya. Ia tetap berdiri di sisi sofa, menatap ibunya dengan sorot mata lelah dan getir. “Kenapa Mama harus ngelakuin itu?” tanyanya pelan, nada suaranya melemah, lebih seperti keluh kesah daripada kemarahan.

Rosmala akhirnya menghela napas panjang. Tak ada gunanya lagi menyangkal, memang benar, dialah yang menyuruh dua pria itu mengikuti Devan. Ia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya sedang disembunyikan putranya. Devan yang tiba-tiba mengaku punya kekasih bahkan berniat menikah tentu saja membuatnya curiga. Kalau ia bertanya langsung, Devan pasti hanya akan mengelak. Maka dari itu, ia memilih jalan memutar.

“Mama cuma mau tahu kebenarannya,” ucapnya akhirnya, nada suaranya terdengar datar tapi penuh emosi. “Kamu tiba-tiba bilang punya pacar, bahkan mau menikah?”

Ia menatap Devan tajam, menyembunyikan kekecewaan di balik kata-kata yang terdengar keras. “Mama bahkan belum pernah ketemu pacarmu itu, tapi kamu udah ngomong soal pernikahan?”

Devan mengembuskan napas pelan, menundukkan kepala. Dalam dirinya bercampur rasa lelah, kesal, tapi juga sedikit lega, setidaknya ia tahu dua pria itu bukan ancaman.

Keributan kecil di ruang tamu itu rupanya sampai ke kamar Ami. Wanita tua itu keluar sambil menatap mereka berdua dengan dahi berkerut. “Kenapa malam-malam ribut begini?” tanyanya, suaranya serak tapi penuh wibawa.

Rosmala tidak menggubrisnya. Pandangannya tetap tertuju pada Devan, nada bicaranya tegas dan tak bisa ditawar. “Bawa dia kemari. Mama mau kenalan sama pacarmu. Dan jangan pernah mimpi buat nikah kalau Mama belum kenal dia.”

Devan kembali dengan kepala penuh pikiran. Ia tak menyangka ucapan asalnya tempo hari justru berubah jadi masalah serumit ini. Semua bermula dari kebohongan kecil dan kini, ia bahkan harus memikirkan bagaimana menjelaskan semuanya pada Jovita. Memintanya berpura-pura jadi pacar saja sudah cukup membuatnya dianggap gila, apalagi sekarang.

Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa apartemen, menatap kosong ke arah langit-langit. Pikirannya berputar tanpa arah, seperti benang kusut yang tak tahu ujungnya di mana.

Brownie sejak tadi mengendus kakinya, menggoyangkan ekor seolah mengajak bermain. Tapi Devan hanya diam, tak sanggup menggerakkan tubuhnya. Helaan napas berat terdengar berulang kali dari mulutnya, antara lelah, bingung, dan menyesal.

Tiba-tiba ponselnya berdering, memecah keheningan. Dengan malas, Devan meraih ponselnya yang tergeletak di meja dan menatap layar, nama Jovita terpampang di sana. Ia menghela napas kecil sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.

“Tun­jukkan padaku di mana Brownie,” suara Jovita terdengar dari seberang, cepat dan tidak sabaran.

Devan mendesah, lalu bangkit dari sofa sambil membawa ponselnya. Ia mengarahkan kamera ke Brownie yang sedang sibuk menggigit boneka kecilnya di lantai.

Begitu mendengar panggilan namanya, anjing kecil itu langsung menggonggong nyaring, telinganya tegak mencari sumber suara.

“Udah, kan? Kututup ya,” kata Devan singkat.

“Aish, apa-apaan. Tunggu bentar! Kenapa buru-buru? Aku masih kangen sama anakku,” protes Jovita kesal dari seberang.

Devan terkekeh kecil, tak bisa menahan tawa. Anaknya? pikirnya geli. Bagaimana bisa seekor anak anjing disebut anak. Tapi di balik tawa kecil itu, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya, sebuah ide yang mungkin bisa jadi jalan keluar dari kekacauan yang ia buat sendiri.

“Kamu mau ketemu dengannya?” tanya Devan tiba-tiba, suaranya tenang tapi mengandung sesuatu yang membuat Jovita waspada. “Kemarilah, tapi… lakukan sesuatu untukku dulu.”

Jovita langsung mengernyit curiga. “Apa yang mau kamu lakukan padaku?” tanyanya waspada, nada suaranya naik setengah oktaf.

“Temui mamaku,” jawab Devan datar. “Dia minta buat ketemu denganmu.”

“Apa?!” seru Jovita refleks, nyaris tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Rosmala ingin menemuinya. “Kenapa?”

“Karena kamu pacarku,” ucap Devan santai, seolah itu hal paling wajar di dunia. Lalu dengan ekspresi datar yang nyaris menyebalkan, ia menambahkan, “Mama mau kenalan.”

Jovita tertawa getir, tapi matanya menatap layar dengan kesal. Ia mendekatkan kamera ke wajah, suaranya bergetar pelan menahan emosi.

“Makanya jangan asal ngomong mau nikah sama aku,” bisiknya tajam, berusaha tetap pelan agar tak membangunkan orang rumah. “Enggak mau,” lanjutnya, kali ini lebih tegas, penuh penolakan.

Devan membelalak. Sekilas tampak gugup, tapi bibirnya cepat melengkung nakal, seperti biasa, otaknya langsung menemukan cara untuk membalik keadaan.

“Kalau gitu, aku jual aja Brownie,” katanya santai, padahal jelas sedang menantang.

“Hei! Nggak bisa gitu!” seru Jovita, nyaris lupa menahan suara. Ia segera menurunkan nada bicaranya, tapi nada kesalnya tak berkurang sedikit pun.

“Kamu udah janji bakal ngerawat dia,” omelnya cepat, nyaris berbisik tapi penuh tekanan.

Devan terkekeh ringan, menatap layar dengan wajah puas. “Makanya, temui mamaku dulu, sebelum Brownie kujual.”

Tanpa menunggu reaksi, ia langsung menutup telepon, meninggalkan keheningan di sisi lain sambungan.

Jovita terpaku beberapa detik, lalu menatap ponselnya dengan ekspresi tak percaya. “Devan sialan,” gumamnya pelan. “Dia baru aja ngancam aku?”

***

Hari Sabtu tiba, dan mau tak mau Jovita harus bertemu Rosmala. Mereka janjian di sebuah restoran Cina, tetapi sialnya Devan, yang memintanya datang, tidak bisa hadir karena ada urusan mendadak di kantor. Jovita duduk canggung di seberang Rosmala, senyumannya kaku dan kedua telapak tangannya basah oleh keringat.

“Kamu pacarnya Devan?” Rosmala menatapnya teliti.

“Iya, tante,” jawab Jovita dengan suara gemetar. Di dalam hati ia terus mengutuk Devan.

“Sejak kapan kalian pacaran?”

Jovita terdiam. Lidahnya kelu. Apa yang harus ia katakan? Ia bahkan tidak sempat menyiapkan apapun untuk pertemuan ini. Pertanyaan sederhana itu justru terasa seperti jebakan, salah menjawab sedikit saja, bisa berakibat panjang.

“Kenapa diam?” suara Rosmala terdengar tegas. Mungkin karena terbiasa bersikap formal sebagai pengacara, setiap katanya terucap dengan tekanan yang membuat Jovita semakin gugup. “Kapan kalian mulai pacaran?” ulangnya, kali ini lebih menuntut.

Jovita menarik napas dalam. Ia harus mengatakan sesuatu, apapun, agar keluar dari situasi menegangkan ini. “Sekitar… dua tahun yang lalu,” ujarnya akhirnya, suaranya ragu dan nyaris berbisik.

Rosmala memicingkan mata, menatap Jovita yang mencoba tersenyum meski jelas-jelas gugup. Tak lama kemudian, pelayan datang membawa pesanan mereka. Rosmala dengan sopan mempersilakan Jovita untuk makan, namun wanita itu bahkan tak sanggup menggerakkan sendok. Kakinya terus bergoyang di bawah meja, menandakan kecemasannya yang tak tertahan.

Pertemuan itu sebenarnya tak berlangsung lama. Rosmala hanya ingin mengenalnya sedikit. Tapi bagi Jovita, waktu seolah berjalan sangat lambat. Begitu mereka akhirnya berpisah, ia langsung menghembuskan napas lega. Baju dalamnya terasa lembab oleh keringat dingin, sementara dadanya masih berdebar hebat.

Saat menunggu bus di halte, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela turun perlahan, menampakkan wajah Devan.

“Oi,” panggilnya santai. Sebuah senyum nakal tersungging di bibirnya, jelas ia menikmati melihat wajah Jovita yang tampak kelelahan sekaligus putus asa. Mereka memang sudah janjian bertemu di sana.

Jovita hanya mendesis kesal. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka pintu mobil dan masuk, lalu membantingnya cukup keras hingga Devan spontan terkekeh. Tatapan tajam Jovita menusuk ke arahnya.

“Kenapa marah? Kamu baru aja menyelamatkan anakmu,” goda Devan ringan.

Jovita mendengus, wajahnya sudah memerah menahan emosi. Rasanya asap bisa saja keluar dari kepalanya kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, menolak menoleh padanya.

“Apa yang kamu katakan?” tanya Devan.

Jovita terdiam sejenak, lalu perlahan senyumnya muncul, senyum licik yang langsung membuat Devan waspada.

“Aku bilang kita batal menikah,” ucapnya santai, seolah tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Devan spontan menoleh. “Hei!” serunya, namun Jovita hanya menatap ke depan sambil tersenyum puas, menikmati keterkejutan di wajah pria itu.

Memang itu yang ia katakan tadi, ketika Rosmala menyinggung soal rencana pernikahan mereka. Dan soal Brownie? Ia tak khawatir sedikit pun. Sebelum ke restoran, Jovita sudah menghubungi Karen dan memintanya merawat Brownie sementara, untungnya, Karen langsung setuju.

Devan mendesis pelan. Ia lupa satu hal penting tentang Jovita: jangan pernah menantangnya. Karena sekali ia memutuskan untuk melawan, Jovita selalu punya cara untuk membalikkan keadaan dengan mudah.

Jovita datang ke rumah Devan hanya dengan satu tujuan, membawa Brownie pergi. Devan berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi putus asa.

“Kamu serius? Dia udah nyaman di sini. Bisa stres kalau harus pindah lagi,” ucap Devan, suaranya terdengar seperti bujukan.

“Kenapa khawatir? Kamu sendiri yang hampir menjualnya,” balas Jovita dingin, tanpa sedikit pun rasa iba.

Devan hanya bisa mengembuskan napas panjang, menyesal karena sudah menantangnya.

Begitu Jovita hendak melangkah pergi, ia berhenti sejenak di depan pintu, lalu menoleh sambil menepuk bahu Devan pelan. “Semangat, ya. Semoga kamu bahagia dengan wanita pilihan mamamu,” ucapnya penuh dengan ledekan, sebelum berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi.

Namun apa yang tidak diketahui Jovita, suatu hari nanti, entah bagaimana caranya, ia akan kembali pada Devan.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!