NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23. RISOTTO DAN RINTIK HUJAN

..."Di antara aroma risotto dan rintik hujan, dua jiwa yang retak belajar bahwa cinta tak harus sempurna untuk terasa utuh."...

...---•---...

Hujan turun deras di Bandung sore itu, mengubah pemandangan kota dari jendela dapur menjadi lukisan kabur berwarna abu-abu.

Doni berdiri di depan kompor, mengaduk risotto dengan gerakan memutar yang sudah seperti meditasi. Di belakangnya, Naira duduk di meja dapur dengan laptop, membaca skrip film yang dikirim agennya seminggu lalu.

Sudah dua bulan sejak Rendra datang. Dua bulan sejak mereka memilih menjelajahi perasaan yang tumbuh di antara mereka tanpa pengumuman dramatis. Hanya pergeseran kecil: Naira yang kini bangun lebih pagi untuk melihat Doni menyiapkan sarapan, tangan mereka yang berlama-lama saat menyerahkan piring, mata yang bertemu dan berbicara tanpa suara.

Mereka hati-hati. Sangat hati-hati. Di depan Ratna dan Tuti, mereka tetap menjaga jarak profesional. Tidak ada sentuhan yang tidak perlu, tidak ada percakapan yang terlalu pribadi, tidak ada tatapan yang terlalu lama. Tapi saat rumah sepi, ketika hanya ada mereka berdua di dapur pada jam-jam awal pagi atau larut malam, dunia seperti jadi milik mereka.

"Doni." Panggil Naira tanpa mengangkat mata dari layar. "Menurut kamu bagaimana kalau aku terima tawaran film ini?"

"Tergantung." Jawab Doni tanpa menoleh. "Kamu mau terima karena suka skripnya, atau karena kamu merasa harus balik kerja?"

Naira menutup laptop, pandangannya beralih pada punggung Doni yang masih fokus pada risottonya. "Kombinasi dua-duanya, mungkin? Skripnya bagus, perannya menantang. Tapi aku juga mulai merasa seperti terkurung terus. Sudah hampir empat bulan aku tidak keluar dari rumah ini."

Doni menuangkan sedikit white wine ke dalam panci. Aroma yang menguap bercampur dengan wangi jamur dan keju parmesan, hangat dan menenangkan. "Kamu merasa sudah siap hadapi dunia luar? Media, fotografer jalanan, pertanyaan soal perceraian?"

"Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa sembunyi selamanya juga." Naira turun dari kursi, berjalan ke arah kompor, berdiri di samping Doni. "Kerja sebagai aktris itu bagian besar dari diriku. Tidak bekerja sama sekali membuat aku merasa kehilangan jati diri."

"Aku mengerti." Kata Doni pelan. Dia mematikan api, lalu menuang risotto ke mangkuk saji. "Tapi pertanyaannya, kamu mau ambil film ini buat dirimu sendiri, atau buat membuktikan sesuatu ke Rendra? Ke media? Ke orang-orang yang menghakimimu?"

Pertanyaan itu membuat Naira terdiam. "Mungkin sedikit dari semuanya."

"Kalau begitu jangan ambil dulu." Ujar Doni sambil berbalik menghadapnya. Tangannya secara alami mencari tangan Naira, jari mereka saling bertaut. "Waktu restoran aku mulai sepi setelah Sari meninggal, aku ambil semua tawaran katering yang datang. Pesta pernikahan, acara kantor, bahkan ultah anak yang cuma butuh nasi kotak. Bukan karena aku mau, tapi karena aku takut kalau berhenti, aku bakal tenggelam. Ujung-ujungnya malah aku yang kelelahan sendiri, masakan jadi asal-asalan, dan restoran makin sepi. Aku baru ngerti belakangan: aku lari dari rasa sakit, bukan bergerak maju."

Naira memperhatikan tangan mereka yang bertautan, ibu jarinya mengusap pelan buku jari Doni. "Kamu selalu tahu harus berbicara apa. Bagaimana bisa kamu sebijak ini padahal umur kita cuma beda tiga tahun?"

"Karena aku sudah lewat fase harus membuktikan sesuatu lewat kerja." Kata Doni pelan. "Setelah Sari meninggal, aku kerja tanpa henti, membuka restoran, sibuk sampai tidak punya waktu buat napas. Aku pikir kalau aku cukup sukses dan cukup sibuk, rasa sakit bakal hilang. Tapi tidak. Rasa sakitnya baru hilang waktu aku berhenti lari dan mulai menghadapinya."

"Dan sekarang?" Tanya Naira. "Kamu sudah sembuh sepenuhnya?"

Doni diam sebentar, mencari kata yang tepat. "Tidak ada yang bisa sembuh total dari luka seperti itu. Tapi aku belajar hidup dengan itu. Kayak waktu aku kena luka bakar di lengan pas masih jadi sous chef." Dia menggulung lengan bajunya, menunjukkan bekas luka di lengan kanannya. "Bekas lukanya masih ada. Tapi aku belajar pegang panci dengan cara yang beda, belajar jaga supaya nggak kena api lagi. Lukanya jadi bagian dari caraku masak sekarang, bukan penghalang."

Naira melangkah lebih dekat, sampai jarak di antara mereka hilang. Dahinya bertumpu di dada Doni, mendengarkan detak jantung yang stabil dan menenangkan. "Ajarin aku caranya, bagaimana hidup dengan luka tanpa membiarkan mereka mengaturku."

Doni mengangkat dagunya lembut, membuat mata mereka bertemu. "Kamu sudah melakukannya. Kamu tidak sadar, tapi kamu sudah berubah banyak dari dua bulan lalu. Waktu itu kamu tidak mau keluar kamar, tidak mau makan, tidak mau bicara. Sekarang kamu di sini, berdiri di dapur, membahas pilihan karier dan masa depan. Itu kemajuan besar."

"Karena kamu." Bisik Naira. "Karena nasi goreng tengah malam, pelajaran memasak, dan kamu yang sabar mendengarkanku."

"Bukan cuma karena aku." Kata Doni lembut. "Karena kamu memilih untuk mencoba. Aku cuma bantu, tapi kamu yang menjalani semuanya."

Mereka berdiri begitu saja untuk beberapa saat. Dahi bertemu, napas berpadu, waktu seperti berhenti di tengah suara hujan yang menghantam atap.

"Aku takut." Bisik Naira. "Takut kalau aku balik ke dunia luar, semua kemajuan ini hilang. Takut aku bakal jatuh lagi."

"Kalau begitu jangan balik sendirian." Jawab Doni. "Balik dengan sistem dukungan. Dengan terapi yang konsisten. Dengan orang-orang yang benar-benar peduli, bukan yang cuma mau memanfaatkanmu." Dia menunduk, mengecup kening Naira perlahan. "Dan kembalilah dengan tahu kamu punya tempat aman buat pulang. Rumah ini, dapur ini, aku. Selalu di sini."

Mata Naira berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Hanya kilau basah yang menangkap cahaya dapur. "Kamu terlalu baik buatku. Kamu pantas dapat seseorang yang tidak rusak, yang tidak rumit, yang bisa memberikan kamu cinta yang tidak rumit."

"Aku tidak mau yang tidak rumit, aku mau yang nyata." Ucap Doni sambil menyeka sudut matanya dengan ibu jari. "Kamu tahu kenapa?" Dia menarik napas. "Waktu Sari masih hidup, kami pernah bikin crème brûlée bareng. Harusnya permukaannya sempurna, rata, mengkilap. Tapi oven tiba-tiba mati tengah jalan, jadi permukaannya retak-retak. Sari mau buang, tapi aku bilang coba dulu. Ternyata rasa dan teksturnya tetap enak, malah retakannya bikin karamelnya lebih crunchy. Sejak itu, aku selalu sengaja bikin permukaannya nggak sempurna." Pandangannya tertuju pada mata Naira. "Yang rusak, yang retak itu yang bikin hidup terasa nyata. Kamu pikir aku tidak rumit? Aku masih mimpi buruk hampir tiap malam, masih punya rasa bersalah, masih punya restoran yang nyaris bangkrut. Kita berdua berantakan. Tapi kita berantakan dengan cara yang indah."

Tawa Naira keluar tersendat, setengah terisak, suara lembut yang membuat dada Doni hangat. "Berantakan yang indah. Aku suka itu."

Doni tersenyum kecil. "Sekarang ayo makan risotto sebelum dingin. Kamu bisa cerita lebih detail soal skripnya. Siapa tahu setelah mengobrol, kamu bisa lebih yakin."

Mereka makan di meja dapur seperti biasa, berbagi risotto dalam mangkuk yang sama. Naira menyendok yang pertama. Butiran arborio yang masih al dente meledak lembut di lidahnya, krim dan parmesan menyatu dengan white wine yang sedikit asam. Rasa jamur porcini datang belakangan, dalam dan earthy, seperti hutan setelah hujan. Dia menutup mata sebentar, menikmati.

"Enak." Katanya pelan.

"Sabar dan teknik." Balas Doni. "Dan white wine yang bagus."

Naira menceritakan plot film tersebut. Drama tentang seorang perempuan yang bangkit lagi setelah kekerasan rumah tangga, peran yang terlalu dekat dengan kenyataan hidupnya.

"Itu mungkin kenapa aku ragu." Kata Naira pelan sambil memutar garpu di atas piring. "Terlalu personal. Terlalu mentah. Aku belum yakin bisa memainkan karakter itu tanpa terbawa trauma sendiri."

"Atau justru karena terlalu personal, kamu bisa memainkan dengan jujur." Kata Doni sambil menyuap risotto. "Tapi pertanyaannya, kamu siap belum buat hadapi trauma itu tiap hari di lokasi syuting?"

Naira menggigit bibir bawahnya. Logika Doni masuk akal, terlalu masuk akal sampai terasa menakutkan. Bagian dari dirinya masih ingin membuktikan pada Rendra, pada media, pada dirinya sendiri, bahwa dia bisa. Tapi bagian lain yang lebih dalam, yang sudah belajar mendengarkan tubuhnya sendiri, berbisik: belum waktunya.

"Aku bukan aktris yang totalitas sekali." Sangkalnya, meskipun terdengar lemah.

"Itu kamu banget." Balas Doni. "Aku baca wawancara lama kamu. Kamu bilang suka tenggelam penuh ke dalam karakter."

Alisnya terangkat. "Kamu baca wawancara aku?"

"Mungkin." Jawab Doni canggung. "Waktu susah tidur, aku cari tahu lebih banyak soal kamu."

"Itu manis." Naira tersenyum lembut. "Koki pribadi yang riset kliennya di luar menu masakan."

"Aku cuma... penasaran tentang kamu."

"Aku tidak keberatan. Aku malah senang kok." Senyumnya menurun pelan. "Kamu benar, Doni. Kalau aku ambil peran itu, aku bakal tenggelam. Dan itu berarti menghidupkan lagi luka yang belum benar-benar sembuh. Aku tidak yakin siap."

"Kalau begitu, jawabannya sudah jelas." Kata Doni. "Tolak dengan sopan. Akan ada film lain, peran lain, yang tidak menguras kamu sedalam itu."

Naira mengangguk pelan. "Oke. Aku bakal bilang ke agen besok." Matanya mengamati wajah Doni dengan lembut, alis yang sedikit turun karena khawatir, garis rahang yang tegas tapi tidak kaku. "Terima kasih sudah membantuku berpikir jernih."

"Kapan pun." Ucap Doni, lalu berhenti. Dia tidak yakin harus menyebut apa hubungan mereka sekarang.

"Itu yang dilakukan orang yang peduli satu sama lain." Potong Naira, menyelamatkannya dari kebingungan. "Dan aku peduli sama kamu. Lebih dari yang aku kira bisa aku rasakan lagi."

"Aku juga." Balas Doni pelan sambil menggenggam tangannya. "Peduli sekali."

Mereka menghabiskan risotto dalam keheningan yang nyaman. Hujan mulai mereda, tinggal sisa rintik lembut di atap.

Setelah makan, seperti biasa, mereka mencuci piring bersama. Naira mencuci, Doni mengeringkan. Gerakan mereka selaras, tanpa perlu banyak bicara.

"Boleh aku tanya sesuatu yang agak blak-blakan?" Tanya Naira sambil menggosok piring.

"Kamu bisa tanya apa saja."

"Kita ini apa?" Katanya akhirnya. "Maksudku, buat kamu, hubungan ini apa?"

Doni berhenti mengeringkan gelas. "Buat aku, ini sesuatu yang tidak aku duga tapi aku syukuri sekali. Ini bukan cuma hubungan kerja antara koki dan klien. Ini koneksi yang tumbuh dengan jujur. Aku tidak punya kata yang pas. Tapi ini penting. Kamu penting."

"Tapi kita tidak bisa resmi. Tidak bisa publik. Tidak bisa bahkan mengakui ke Ratna atau siapa pun."

"Belum." Kata Doni. "Tapi suatu hari, setelah kontrak selesai, setelah kamu sembuh dan restoranku stabil, mungkin kita bisa lebih terbuka. Sekarang, ini cukup. Momen di dapur, obrolan larut malam, kebersamaan yang tenang. Buat aku, ini cukup. Buat kamu?"

Naira mematikan keran, berbalik. Tangannya masih basah dan bersabun saat menangkup wajah Doni. "Lebih dari cukup. Selama aku tahu ini nyata, selama kamu di sini karena alasan yang benar, aku oke dengan semua yang tersembunyi. Aku malah lebih suka begitu. Aku belum siap untuk sorotan publik."

"Kalau begitu kita sama." Kata Doni dengan suara rendah. "Kita lebih suka kebersamaan yang tenang daripada pengakuan yang keras."

Naira sedikit berjinjit. Doni menunduk. Jarak di antara mereka menyusut, satu inci, setengah inci, sampai napas mereka berpadu. Tangannya yang basah meninggalkan jejak air di pipi Doni, dingin tapi lembut. Dan kemudian, pelan seperti hujan yang baru berhenti, bibir mereka bertemu.

Tidak mendesak, tidak dramatis. Hanya dua jiwa yang retak, menemukan keutuhan dalam sentuhan yang sederhana.

...---•---...

...Bersambung...

1
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
PrettyDuck
ini resep minyak bawang untuk nasgor beneran kan tor? mau dipraktekin nih 😂
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
aku suka telor setengah Mateng. 🤤🤤🤤
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
ternyata sudah mau makan... 🙄🙄🙄
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
semoga ya... mau makan.. kasian badannya tinggal tulang kalau nggak makan²😭
LyaAnila
nai. kenapa nangis nai?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!