NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: Sahabat yang Tahu

#

Larasati tidak tidur semalaman.

Dia berbaring di sofa ruang tamu—tidak sanggup naik ke kamar, tidak sanggup berbaring di ranjang yang sama dengan Gavin. Matanya menatap kosong ke langit-langit, mengikuti bayangan lampu taman yang bergerak perlahan seperti hantu.

_Sayang, tadi malamnya luar biasa. Kapan lagi? - K_

Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti lagu rusak yang tidak bisa dimatikan. Setiap kali dia memejamkan mata, huruf-huruf itu terbakar di kegelapan. _Sayang._ _Tadi malamnya._ _Luar biasa._

Siapa K?

Pertanyaan itu mencengkeram tenggorokannya seperti tangan yang tidak terlihat. Larasati mencoba mengingat-ingat. Karyawan Gavin? Klien? Teman? Atau... seseorang yang lebih dari itu?

Dadanya sesak. Dia menekan telapak tangannya ke dada, mencoba mengatur napas yang tercekat. Tapi sepertinya ada sesuatu yang patah di sana, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki dengan bernapas.

Jam lima pagi, langit mulai terang. Larasati bangkit dengan tubuh yang terasa seperti dihantam truk. Setiap sendi sakit. Matanya bengkak, tenggorokannya kering. Tapi dia tidak menangis lagi—tidak ada lagi air mata yang tersisa.

Dia mendengar langkah kaki dari atas. Gavin bangun.

Larasati bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Dia menatap pantulannya di cermin—mata merah, kulit pucat, bibir pecah-pecah. Wanita di cermin itu terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.

"Kamu harus kuat," bisiknya pada bayangan itu. "Kamu harus bertahan."

Tapi untuk apa?

Pertanyaan itu muncul tiba-tiba, menusuk seperti jarum. Untuk apa dia bertahan? Untuk pernikahan yang sudah retak? Untuk suami yang mungkin—dia bahkan tidak berani menyebut kata itu dalam pikirannya.

"Untuk Abimanyu," jawabnya keras pada dirinya sendiri. "Untuk anakmu."

Itu satu-satunya alasan yang masih masuk akal.

Saat Larasati keluar dari kamar mandi, Gavin sudah turun, berpakaian rapi dalam jas abu-abu gelap. Dia sedang menyiapkan kopi di dapur, tidak menyadari Larasati berdiri di ambang pintu, memperhatikannya.

"Pagi," kata Gavin tanpa menoleh.

"Pagi." Suara Larasati terdengar asing di telinganya sendiri—datar, kosong.

Gavin meneguk kopinya sambil scrolling ponsel. Ponsel yang semalam menerima pesan itu. Larasati menatap benda persegi panjang di tangan suaminya seolah itu bom yang akan meledak.

"Gue ada meeting pagi," kata Gavin, masih tidak menatapnya. "Pulangnya mungkin sore."

Mungkin. Atau mungkin tengah malam. Atau mungkin setelah "tadi malamnya luar biasa" yang lain.

"Oke," kata Larasati.

Gavin akhirnya menatapnya, sekilas. "Lo kelihatan capek. Tidur yang cukup, Lara."

Ironis. Dia yang menyuruhnya tidur cukup, padahal dialah alasan Larasati tidak bisa tidur.

Gavin mengambil kunci mobil dan tas kerjanya. "Gue berangkat."

Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Bahkan tidak ada kontak mata yang benar. Gavin berjalan keluar seperti Larasati hanya rekan sekamar, bukan istri yang sudah berbagi delapan tahun hidupnya.

Pintu tertutup. Bunyi mesin mobil menyala. Lalu hilang.

Larasati berdiri sendirian di dapur yang terlalu bersih, terlalu rapi, terlalu hampa. Tangannya gemetar saat dia menuangkan kopi untuk dirinya sendiri. Cangkir berdetak keras di atas piring keramik—tangan yang tidak bisa diam.

Dia butuh bicara dengan seseorang. Siapa saja. Dia tidak bisa menyimpan ini sendirian atau dia akan gila.

Larasati mengambil ponselnya dan mengetik pesan ke Aurellia: "Bisa ketemu hari ini? Butuh ngobrol."

Balasannya datang cepat: "Jam 10 di kafe biasa yuk. Ada apa, Lara? Lo okay?"

Larasati tidak menjawab pertanyaan itu. Bagaimana dia bisa jawab lewat pesan?

---

Kafe Elysian di Kemang sudah ramai saat Larasati tiba pukul sepuluh lewat lima menit. Aroma kopi panggang dan suara jazz lembut menyambut, tapi semuanya terasa teredam, seolah dia mendengar dari balik kaca tebal.

Aurellia sudah duduk di meja pojok favorit mereka, di bawah tanaman gantung yang merambat cantik. Sahabatnya sejak SMA itu langsung berdiri saat melihat Larasati—wajahnya berubah dari senyum menjadi kekhawatiran dalam sepersekian detik.

"Lara? Oh my God, Lara..." Aurellia memeluknya erat.

Sentuhan itu—kehangatan tubuh sahabatnya, aroma parfum soft musk-nya yang familiar—membuat sesuatu di dalam dada Larasati runtuh. Dia tidak menangis, tapi tubuhnya gemetar hebat, seperti menahan gempa bumi internal.

"Duduk dulu," bisik Aurellia, membimbingnya ke kursi. "Gue udah pesen cappuccino buat lo."

Larasati duduk, tangannya langsung meraih cangkir hangat di depannya. Dia butuh sesuatu untuk dipegang, sesuatu yang nyata.

Aurellia menunggu, tidak memaksa. Dia tahu kapan harus diam dan memberi ruang. Itu salah satu hal yang Larasati cintai dari sahabatnya—dia tidak pernah mendesak, tapi selalu ada.

"Gavin lupa ulang tahun pernikahan kami," kata Larasati akhirnya, suaranya serak.

Aurellia mengerutkan dahi. "Lupa? Serius?"

"Aku masak makanan favoritnya. Hiasi meja. Tunggu dia dari jam tujuh. Dia baru pulang jam sebelas. Bahkan tidak ingat hari apa hari itu." Larasati tersenyum pahit. "Dia cuma bilang capek, lalu tidur."

"Lara..." Aurellia menggenggam tangannya di atas meja.

"Aku tahu dia sibuk. Aku tahu tanggung jawab CEO itu berat. Tapi, Lia..." Suara Larasati retak. "Rasanya... rasanya aku jadi invisible. Dia menatapku seolah aku bukan siapa-siapa. Seperti aku... hanya bagian dari rumah. Seperti furniture."

Aurellia mengusap punggung tangan Larasati dengan ibu jarinya, gerakan menenangkan yang mereka berdua lakukan sejak remaja saat salah satu dari mereka sedang patah hati.

"Sudah berapa lama kayak gini?" tanya Aurellia pelan.

Larasati mencoba mengingat. "Entah. Mungkin... setahun? Atau lebih? Perubahannya perlahan. Dulu dia masih sering pulang makan malam bareng. Sekarang seminggu dua kali aja udah bagus. Dulu dia masih tanya kabar Abi, tanya kabarku. Sekarang... sekarang rasanya kita cuma berbagi alamat, bukan hidup."

"Dan lo udah coba ngomong sama dia?"

"Berkali-kali." Larasati menelan ludah, mengingat percakapan-percakapan yang diabaikan, keluhan-keluhan yang dijawab dengan "nanti kita bahas" tapi tidak pernah dibahas. "Tapi dia selalu bilang gue overthinking. Bilang dia cuma capek. Bilang gue harus lebih pengertian."

Aurellia diam sejenak, wajahnya berubah serius. Dia menatap cangkir kopinya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu berat.

"Lara," katanya pelan. "Gue... gue harus bilang sesuatu."

Nada suaranya membuat jantung Larasati berdetak lebih cepat. "Apa?"

Aurellia menarik napas dalam. "Minggu lalu, gue ada meeting dengan client di restoran Italia itu—La Piazza, yang di Senopati. Gue selesai lebih cepat, jadi gue makan siang di sana." Dia berhenti, matanya menatap Larasati dengan tatapan yang sulit dibaca. "Gue lihat Gavin."

Larasati menegang. "Gavin? Di sana?"

"Dia duduk di meja pojok, yang agak privat. Gue mau nyapa, tapi..." Aurellia menggigit bibirnya. "Dia gak sendirian, Lara."

Dunia berputar.

"Dia sama... sama perempuan. Muda. Cantik. Mereka... mereka duduk terlalu deket. Ngobrol sambil ketawa. Dan cara Gavin ngeliatin dia..." Aurellia menggeleng. "Gue gak pernah liat Gavin ngeliatin orang lain kayak gitu. Itu bukan tatapan partner bisnis."

Larasati merasa sesuatu yang dingin menjalar di tulang belakangnya. "Kamu yakin itu Gavin?"

"Lara, gue kenal Gavin hampir sepuluh tahun. Itu dia."

"Mungkin cuma... klien?" Tapi bahkan saat Larasati mengatakan itu, dia tidak percaya kata-katanya sendiri.

Aurellia menatapnya dengan tatapan penuh kasihan. "Lara, dengar. Gue gak mau nuduh tanpa bukti. Tapi gue juga gak bisa pura-pura gak lihat apa yang gue lihat. Dan kalo ditambah sama cerita lo tentang gimana dinginnya dia akhir-akhir ini..." Dia tidak melanjutkan kalimatnya, membiarkan implikasinya menggantung di udara.

Larasati merasa dadanya sesak. Napasnya pendek-pendek. "Aku... aku nemuin pesan di ponselnya. Semalam. Dari seseorang yang inisialnya K."

Aurellia menatapnya tajam. "Pesan apa?"

Larasati mengutip dengan suara yang hampir tidak terdengar, setiap kata seperti pecahan kaca di mulutnya: "Sayang, tadi malamnya luar biasa. Kapan lagi?"

"Shit," bisik Aurellia.

Mereka duduk dalam keheningan yang berat. Di sekeliling mereka, kafe ramai dengan percakapan orang-orang—tertawa, bercanda, merencanakan hari mereka yang normal. Tapi di meja pojok ini, dunia Larasati sedang runtuh.

"Aku tidak tahu harus apa," kata Larasati, suaranya pecah. "Aku... aku sudah kasih dia segalanya, Lia. Karirku. Waktuku. Hatiku. Aku tinggalkan impianku jadi fashion designer buat jadi istri yang sempurna buat dia. Buat jaga rumah, rawat Abi, pastikan hidup Gavin nyaman. Aku rela jadi bayangan biar dia bersinar."

Air mata mulai mengalir di pipinya, perlahan, seperti sungai yang akhirnya menemukan retakan di bendungan.

"Dan ternyata... ternyata itu semua tidak cukup? Aku tidak cukup?"

"Lara, dengar." Aurellia pindah ke kursi di sebelahnya, memeluk sahabatnya erat. "Ini bukan tentang lo cukup atau enggak. Ini tentang dia yang memilih jadi bajingan. Lo udah jadi istri yang luar biasa. Kalo dia gak bisa ngeliat itu, itu salahnya, bukan salah lo."

Tapi kata-kata itu tidak mengurangi sakit. Kata-kata itu tidak membuat pesan di ponsel Gavin hilang. Kata-kata itu tidak membuat delapan tahun pernikahan terasa lebih berarti.

Larasati menangis di pelukan Aurellia, tangis yang diredam agar tidak menarik perhatian. Tubuhnya bergetar, napasnya tersengal. Semua yang dia tahan sejak semalam akhirnya tumpah—rasa sakit, pengkhianatan, kekecewaan, kehilangan.

Kehilangan pria yang dia kira akan mencintainya selamanya.

"Aku harus tahu pasti," bisik Larasati di sela-sela isakannya. "Aku harus tahu siapa K itu. Aku harus tahu... seberapa parah ini."

Aurellia mengusap rambutnya dengan lembut. "Gue akan bantu lo. Apapun yang lo butuhkan."

Mereka duduk di sana cukup lama, sampai kopi mereka dingin dan tangis Larasati mereda menjadi diam yang kosong. Pelayan datang menawarkan refill tapi mereka tolak.

Akhirnya Larasati pulang dengan mata bengkak dan hati yang lebih berat. Dia duduk di mobilnya di parkiran, menatap ponselnya.

Dia buka Instagram Gavin—akun yang jarang diupdate, kebanyakan foto kantor dan acara bisnis. Tapi dia scroll ke foto-foto lama, mencari... apa? Petunjuk? Bukti? Atau hanya kenangan saat mereka masih bahagia?

Ada foto tiga bulan lalu—Gavin di sebuah gala dinner perusahaan. Dia berdiri di antara karyawan-karyawannya, tersenyum di kamera. Dan di sebelahnya, berdiri sedikit terlalu dekat, ada seorang perempuan muda. Rambut panjang bergelombang, gaun hitam elegan, senyum yang terlalu akrab.

Caption foto: "Great night with the Narendra Group team."

Larasati zoom foto itu. Wanita itu cantik. Sangat cantik. Muda—mungkin akhir dua puluhan. Dan cara dia berdiri di sebelah Gavin, cara tangannya hampir menyentuh lengan Gavin...

Larasati screenshot foto itu dengan tangan gemetar.

Lalu dia pulang.

---

Rumah kosong saat dia tiba. Abimanyu masih di sekolah. Pembantu sedang pergi berbelanja. Hanya Larasati dan keheningan yang mencekik.

Dia naik ke kamar, membuka lemari pakaian Gavin. Dia tidak tahu apa yang dia cari, tapi tangannya bergerak sendiri—memeriksa saku jas, memeriksa laci, mencari sesuatu, apa saja.

Di jas yang Gavin pakai semalam—jas yang berbau parfum asing—dia menemukan sesuatu.

Sehelai rambut panjang.

Rambut yang bukan miliknya.

Larasati mengangkat helai rambut itu dengan jemari gemetar. Cokelat gelap, lurus, panjang. Rambutnya sendiri hitam dan sedikit bergelombang.

Ini rambut orang lain.

Bukti fisik.

Bukti bahwa Gavin cukup dekat dengan perempuan lain untuk membawa pulang rambutnya.

Larasati menatap helai rambut itu, lalu menatap jas suaminya, lalu menatap kamar yang mereka bagi—ranjang di mana mereka dulu bercinta, lemari di mana pakaian mereka tergantung berdampingan, meja rias di mana foto pernikahan mereka masih berdiri.

Semuanya terasa seperti kebohongan.

Kakinya tidak kuat lagi. Larasati duduk di lantai kamar, memegang helai rambut itu di tangannya. Kali ini dia tidak menangis. Tidak ada lagi air mata.

Hanya kekosongan yang dalam, seperti lubang hitam di dadanya yang menelan semua yang pernah dia percaya tentang cinta, tentang kesetiaan, tentang selamanya.

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Gavin: "Meeting seharian. Pulang malem ya."

Larasati menatap pesan itu. Lalu dia ketik balasan dengan tangan yang sudah tidak gemetar lagi—tidak karena dia tenang, tapi karena sesuatu di dalam dirinya sudah mati rasa.

"Oke. Hati-hati."

Dia kirim. Centang biru muncul.

Gavin tidak membalas.

Tentu saja tidak. Kenapa harus? Dia sibuk dengan... apa yang dia sibukkan? Siapa yang membuatnya sibuk?

Larasati berdiri, meletakkan helai rambut itu di atas meja dengan hati-hati—bukti yang akan dia simpan. Lalu dia berjalan ke kamar mandi, menatap pantulannya di cermin.

Wanita di sana terlihat lebih tua hari ini. Matanya lebih kosong. Bibirnya lebih pucat. Seperti bayangan yang memudar.

"Kamu tidak akan jadi korban diam-diam," bisiknya pada pantulannya. "Kamu akan cari tahu. Dan kamu akan putuskan apa yang harus dilakukan."

Tapi di balik tekad itu, ada ketakutan yang membeku—ketakutan tentang apa yang akan dia temukan jika dia mencari tahu. Ketakutan bahwa pernikahannya sudah berakhir sejak lama, dan dia hanya satu-satunya yang belum sadar.

Malam itu, Gavin pulang jam sebelas lagi.

Larasati tidak menunggu di ruang makan. Dia sudah di kamar, berbaring memunggungi pintu. Dia mendengar Gavin masuk, mengganti baju, lalu berbaring di sisi ranjang yang lain—begitu jauh, seolah ada jurang di antara mereka.

"Lara, lo tidur?" bisik Gavin.

Larasati diam, pura-pura tidur.

Dia mendengar Gavin menghela napas, lalu tidak ada suara lagi.

Tapi Larasati merasakan jarak di antara mereka—jarak yang bukan diukur dengan sentimeter, tapi dengan rahasia, kebohongan, dan pengkhianatan.

Dan dia tahu, malam ini adalah awal dari sesuatu.

Awal dari akhir.

Atau awal dari kebenaran.

Yang mana yang lebih menakutkan, dia tidak tahu.

---

**Bersambung ke Bab 3**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!