Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Perhatian yang sunyi"
Hari demi hari berlalu Zavian mulai menunjukan sedikit perhatian, kadang tak terlihat namun terasa. Perubahan itu tidak datang tiba-tiba.
Ia hadir pelan, hampir tak terasa—seperti cara Zavian selalu bergerak di dunia yang tidak mengenal kelembutan.
Awalnya hanya hal kecil.
Alya mendapati jadwalnya berubah. Sopir yang sama menjemput dan mengantar dengan lebih tepat waktu. Di tas sekolahnya, tiba-tiba ada kotak makan sederhana—isiannya hangat, rapi, dan jelas bukan masakan kantin. Tidak ada catatan. Tidak ada penjelasan.
Hanya perhatian yang diam-diam.
Malam pertama Zavian mengajaknya makan malam bersama, Alya hampir menolak.
Ia berdiri kaku di depan meja makan panjang yang biasanya terasa terlalu besar untuk satu orang. Lampu gantung memantulkan cahaya lembut, menyorot piring-piring yang tertata rapi. Zavian duduk di ujung meja, kemeja gelapnya diganti sweater tipis—lebih santai, tapi tetap berjarak.
“Kamu belum makan dengan benar hari ini,” katanya datar, seolah itu fakta sederhana.
“Aku… sudah makan siang,” jawab Alya cepat, refleks.
Zavian mengangkat alis sedikit. “Satu roti bukan makan.”
Alya terdiam.
Ia duduk perlahan, punggungnya tegak, tangannya rapi di pangkuan. Ia menunggu—seperti menunggu izin yang tak pernah diminta, tapi selalu diberikan orang lain.
“Ambil saja,” ujar Zavian saat melihatnya ragu memegang sendok. “Ini bukan ujian.”
Kata-kata itu membuat Alya tersenyum kecil tanpa sadar.
Mereka makan dalam diam. Tidak canggung, tapi juga tidak hangat. Namun untuk Alya, diam tanpa teriakan adalah kemewahan.
Sejak malam itu, makan malam bersama menjadi kebiasaan baru.
Tidak setiap hari. Tapi cukup sering untuk membuat Alya menyadarinya.
Zavian tidak banyak bicara. Kadang hanya bertanya soal sekolah. Pelajaran apa yang sulit. Apakah ada yang mengganggunya. Pertanyaan-pertanyaan singkat, tanpa nada interogasi.
Dan Alya—untuk pertama kalinya—menjawab tanpa rasa takut.
---
Perhatian kecil lainnya mulai bermunculan.
Selimut tambahan di kamarnya saat hujan turun deras. Buku pelajaran yang sudah dilapisi rapi. Sepatu sekolah baru yang “kebetulan” ukurannya pas. Bahkan suatu sore, saat Alya pulang dengan mata merah karena kelelahan, Zavian hanya berkata singkat pada pengurus rumah, “Jangan ada yang mengganggunya malam ini.”
Tidak ada sentuhan berlebihan. Tidak ada janji manis. Tidak ada pertanyaan yang memaksa.
Justru itu yang membuat Alya bingung.
Ia terbiasa dengan perhatian yang datang bersama tuntutan. Dengan kebaikan yang harus dibayar. Tapi Zavian—pria yang semua orang takuti—memberinya ruang tanpa syarat.
Suatu malam, Alya memberanikan diri bertanya.
“Pak Zavian,” katanya pelan saat mereka duduk berhadapan, teh hangat mengepul di antara mereka. “Aku… boleh tanya sesuatu?”
Zavian mengangguk.
“Kenapa Bapak sering makan bareng aku?” Alya menunduk, jarinya memainkan ujung cangkir. “Aku takut… merepotkan.”
Zavian menatapnya lama.
“Kamu tidak merepotkan,” katanya akhirnya. “Dan makan malam bukan hal istimewa. Itu kebutuhan.”
Nada suaranya tegas, seolah menegaskan ulang sesuatu yang seharusnya sudah jelas sejak awal hidup Alya.
“Tapi… Bapak sibuk,” lanjut Alya ragu. “Aku lihat banyak orang keluar-masuk. Banyak urusan.”
“Justru karena itu,” jawab Zavian. “Saya tahu apa rasanya hidup di tempat yang tidak pernah aman. Makan dengan tenang adalah salah satu cara paling sederhana untuk mengingat bahwa hari belum sepenuhnya buruk.”
Alya terdiam.
Kata-kata itu melekat lebih dalam dari yang ia sadari.
---
Zavian memperhatikan Alya dengan cara yang tidak kasat mata.
Ia tahu Alya selalu duduk menghadap pintu di mana pun berada. Ia tahu gadis itu tidak pernah langsung tidur—selalu memastikan pintu terkunci dua kali. Ia tahu Alya menyimpan seragamnya rapi, seolah takut jika sesuatu rusak, ia akan dimarahi.
Dan setiap detail itu mengingatkannya pada masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Suatu malam, Alya jatuh tertidur di sofa ruang keluarga dengan buku terbuka di dadanya. Lampu masih menyala. Rambutnya terurai berantakan, wajahnya pucat tapi damai.
Zavian berdiri cukup lama, hanya memperhatikan.
Ia melepas buku itu pelan, meletakkannya di meja, lalu mengambil selimut tipis. Gerakannya hati-hati, seolah suara napasnya sendiri bisa membangunkan Alya.
Saat ia hendak pergi, Alya bergumam pelan, setengah sadar.
“Jangan marah…”
Zavian membeku.
Ia menunduk sedikit, memastikan Alya masih tidur. Kalimat itu keluar begitu saja—refleks lama yang tidak pernah sembuh.
Rahang Zavian mengeras.
Ia membenarkan selimut itu sekali lagi, lalu berkata sangat pelan, nyaris seperti janji,
“Tidak ada yang akan memarahimu di sini.”
---
Perhatian Zavian tidak luput dari perhatian orang-orang di sekitarnya.
Bayu sempat mengomentari saat makan siang singkat di ruang kerja. “Boss kelihatan… berubah.”
Zavian tidak mengangkat kepala dari dokumen. “Jelaskan.”
“Lebih sering pulang. Lebih sering di rumah,” kata Bayu hati-hati. “Dan… ada gadis itu.”
Zavian berhenti menulis.
“Ada masalah?” tanyanya dingin.
Bayu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya… tidak biasa.”
“Dia bukan urusan bisnis,” ujar Zavian tegas. “Dan bukan alat.”
“Kami tahu,” jawab Bayu. “Justru itu.”
Zavian menghela napas pelan. “Pastikan dia aman. Itu saja.”
---
Bagi Alya, hari-hari itu terasa seperti berjalan di dunia lain.
Ia masih sekolah. Masih belajar. Masih takut pada banyak hal, dan terkadang teman-temannya juga masih sering membullynya
Tapi kini, ada satu tempat di mana ia tidak harus berjaga terus-menerus.
Suatu malam, setelah makan malam yang sederhana, Alya berhenti sebelum kembali ke kamarnya.
“Pak Zavian,” katanya pelan.
Zavian menoleh.
“Aku tahu Bapak orang penting,” ucap Alya jujur. “Dan mungkin… berbahaya.”
Zavian mengernyit tipis.
“Tapi,” lanjut Alya, suaranya sedikit bergetar, “selama di sini, aku nggak pernah takut tidur.”
Kalimat itu jatuh pelan—tapi menghantam keras.
Zavian menatapnya lama, lalu berkata singkat, “Tidur yang nyenyak itu hak. Bukan hadiah.”
Alya mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Malam itu, saat Alya menutup pintu kamarnya, ia tidak tahu bahwa di balik dinding-dinding rumah besar itu, seorang mafia yang ditakuti banyak orang sedang melakukan hal yang paling berbahaya baginya sendiri—
Membiarkan dirinya peduli.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Zavian sadar: perhatian kecil itu bukan kelemahan.
Itu alasan.
Alasan yang cukup kuat untuk mengubah arah hidup seseorang.
Termasuk hidupnya sendiri.