NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22: Suara yang Terngiang

Fatimah merasakan dingin yang lebih dahsyat daripada angin malam merambat naik ke punggungnya saat ia melihat moncong senjata yang mengkilap tertimpa cahaya lampu jalan raya. Detak jantungnya berpacu liar bagai genderang perang yang ditabuh bertalu-talu di dalam rongga dadanya yang sempit.

Arfan bergerak secepat kilat, menggeser posisinya hingga tubuh tegapnya menutupi seluruh sosok Fatimah dari arah bidikan senjata tersebut. Matanya yang tajam menyipit, mencoba mengenali siapa sosok di balik penutup wajah hitam yang berdiri hanya beberapa meter di depan mereka.

"Turunkan senjata kalian atau kalian tidak akan pernah mendapatkan apa yang kalian cari dari wanita ini," ancam Arfan dengan suara yang rendah namun penuh wibawa.

Pemimpin kelompok bersenjata itu tertawa parau, sebuah suara yang terdengar bagai gesekan logam berkarat yang menyayat indra pendengaran di kesunyian malam. Ia melangkah maju satu tindak, membiarkan cahaya remang lampu jalan menunjukkan lencana kecil di pergelangan tangannya yang membuat Arfan tercekat.

"Kami tidak butuh negosiasi dengan pengacara yang sedang bermain pahlawan, Tuan Arfan. Serahkan Fatimah sekarang, atau jembatan ini akan menjadi saksi bisu tumpahnya darah kalian berdua," ujar pria itu.

Fatimah meremas ujung jaket Arfan yang masih tersampir di bahunya, jemarinya memutih karena tekanan yang teramat sangat kuat.

"Siapa yang mengirim kalian? Apakah Pratama Al Fahri sudah kehilangan akal sehatnya sampai mengirim pasukan pembunuh ke kolong jembatan?" cecar Arfan sambil tetap waspada.

"Nama itu tidak penting lagi bagi kalian yang akan segera menemui ajal," jawab si pemimpin sambil mulai menarik pelatuk perlahan-lahan.

Suasana menjadi begitu mencekam hingga suara kepakan sayap burung malam yang melintas terdengar jelas seperti ledakan kecil di telinga Fatimah.

Tepat saat jari si pria hampir menuntaskan tarikan pelatuk, sebuah suara desingan nyaring terdengar dari arah kegelapan di belakang pilar beton yang lain. Sebuah benda kecil melesat dan menghantam laras senjata pria itu hingga peluru yang keluar melenceng jauh dan menghantam aspal jalanan dengan percikan api.

"Tiarap!" teriak Arfan sambil merangkul pundak Fatimah dan menjatuhkan tubuh mereka ke balik tumpukan beton bekas konstruksi yang cukup kokoh.

Rentetan tembakan balasan mulai terdengar dari arah yang tidak terduga, menciptakan kekacauan di tengah kesunyian kolong jembatan yang biasanya hanya dihuni debu.

Fatimah memejamkan mata erat-erat, menekan telinganya dengan telapak tangan karena suara dentuman senjata itu terus terngiang-ngiang bagai mimpi buruk yang menjadi nyata. Bayangan peristiwa malam kecelakaan Luna kembali berputar di kepalanya, di mana suara benturan keras dan jeritan menyayat hati selalu menghantuinya setiap saat.

"Jangan takut, Fatimah. Aku bersumpah tidak akan membiarkan satu peluru pun menyentuh kulitmu malam ini," bisik Arfan tepat di samping telinga Fatimah.

"Mengapa Anda melakukan ini semua? Mengapa Anda mempertaruhkan nyawa untuk orang asing seperti saya?" tanya Fatimah dengan suara yang gemetar hebat.

Arfan tidak segera menjawab, ia justru sibuk memperhatikan pergerakan musuh yang mulai kocar-kacir akibat serangan mendadak dari pihak ketiga yang belum diketahui identitasnya. Di bawah sorot lampu mobil yang tiba-tiba menyala di kejauhan, Arfan melihat sosok Baskara yang sedang memberikan isyarat kode menggunakan senter kecil.

"Karena kau bukan orang asing, Fatimah. Kau adalah sepotong kebenaran yang tertinggal dari masa laluku yang hancur," jawab Arfan akhirnya dengan nada yang sangat emosional.

Fatimah tertegun mendengar jawaban itu, rasa hangat yang asing tiba-tiba merayap di hatinya, menandingi rasa dingin yang menyergap tubuhnya sejak tadi.

Pertempuran singkat itu berakhir dengan mundurnya kelompok berpakaian hitam tersebut ke dalam lorong gelap yang menuju ke arah pemukiman padat penduduk. Baskara berlari mendekat dengan pistol yang masih tergenggam di tangannya, wajahnya tampak dipenuhi peluh meski malam terasa sangat menggigit kulit.

"Arfan! Kau baik-baik saja? Aku sudah bilang jangan pernah melakukan tindakan gila sendirian tanpa pengawalanku!" seru Baskara dengan nada marah bercampur lega.

"Aku tidak punya pilihan, dia hampir saja dibawa oleh mereka jika aku terlambat satu detik saja," balas Arfan sambil membantu Fatimah untuk kembali berdiri.

Baskara menatap Fatimah dengan pandangan yang sulit diartikan, antara kasihan dan rasa curiga yang masih belum sepenuhnya hilang dari benaknya. Ia kemudian menoleh ke arah jalan raya, memastikan bahwa suara tembakan tadi tidak mengundang kedatangan patroli keamanan yang akan mempersulit posisi mereka.

"Kita harus segera pergi dari sini, mereka pasti akan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dan persenjataan yang lebih lengkap," ujar Baskara sambil memberi isyarat ke arah mobil.

"Bawa dia ke rumah aman di pinggiran kota, jangan lewatkan satu inci pun pengawasan di sepanjang perjalanan kita," perintah Arfan kepada sahabatnya itu.

Fatimah mengikuti langkah Arfan dengan tubuh yang masih terasa lemas dan pikiran yang masih berkecamuk oleh berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Di dalam mobil, keheningan yang kaku mulai tercipta, hanya suara desis penyejuk udara dan detak jam tangan Arfan yang terdengar mengisi kekosongan ruang.

Fatimah menatap ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai memudar seiring dengan mobil yang melaju semakin menjauh dari keramaian pusat kota menuju daerah sepi. Suara Arfan yang tadi berbisik menjanjikan perlindungan terus terngiang di kepalanya, menciptakan sebuah konflik batin yang baru di dalam jiwanya yang lelah.

"Apakah rumah aman itu benar-benar akan membuat saya aman dari kejaran mereka, Tuan Arfan?" tanya Fatimah setelah lama terdiam di kursi belakang.

Arfan menoleh sedikit melalui kaca spion tengah, menangkap sorot mata Fatimah yang tampak sangat rapuh namun menyimpan kekuatan yang luar biasa besar di balik cadarnya.

"Tidak ada tempat yang benar-benar aman di dunia ini selama kejahatan masih berkuasa, Fatimah. Tapi setidaknya, di sana aku bisa menjagamu dengan lebih baik," jawab Arfan.

"Anda tidak perlu melakukan semua ini, saya bisa menjaga diri saya sendiri seperti yang sudah saya lakukan selama bertahun-tahun ini," bantah Fatimah.

"Menjaga diri dengan bersembunyi di kolong jembatan dan hampir mati dirampok preman? Itu bukan menjaga diri, Fatimah, itu adalah tindakan bunuh diri secara perlahan," sindir Arfan.

Fatimah terdiam, ia tahu bahwa perkataan Arfan benar adanya, namun ego dan rasa takutnya akan pengkhianatan membuatnya sulit untuk menerima bantuan dengan tangan terbuka. Ia kembali teringat akan wajah ayahnya, Pratama Al Fahri, yang selalu mengajarkan bahwa dunia adalah tempat di mana yang kuat memangsa yang lemah.

"Suara senjata tadi, itu mengingatkan saya pada malam di mana semuanya hilang dari hidup saya," gumam Fatimah hampir tidak terdengar oleh telinga manusia biasa.

Arfan menghentikan mobilnya secara mendadak di pinggir jalan yang dikelilingi oleh pepohonan rindang yang menjulang tinggi seperti raksasa yang sedang tertidur. Ia memutar tubuhnya menghadap Fatimah, matanya memancarkan kesungguhan yang membuat Fatimah tidak sanggup untuk memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Katakan padaku, apakah malam yang kau maksud adalah malam di mana Luna meninggal dunia?" tanya Arfan dengan suara yang sangat bergetar menahan luapan emosi.

Fatimah merasa tenggorokannya mendadak kering, rahasia yang selama ini ia kunci rapat-rapat seolah dipaksa keluar oleh kekuatan tatapan mata pria di depannya.

"Jika saya mengatakannya, apakah Anda akan tetap melindungi saya, atau justru Anda yang akan menjadi orang pertama yang menghukum saya?" tanya Fatimah kembali.

Arfan menarik napas panjang, mencoba menenangkan badai yang sedang berkecamuk di dalam dadanya saat mendengar nama almarhumah istrinya disebut dalam konteks seperti itu.

"Aku hanya mencari kebenaran, bukan mencari seseorang untuk dipersalahkan tanpa bukti yang nyata dan kuat di hadapan hukum yang berlaku," ucap Arfan dengan sangat bijaksana.

Fatimah perlahan membuka tas ranselnya yang sudah kusam dan mengeluarkan sebuah rekaman suara kecil yang selama ini selalu ia simpan di dalam lapisan tersembunyi. Tangannya gemetar saat ia menyalakan alat tersebut, membiarkan sebuah rekaman suara yang sangat jernih mengisi seluruh sudut kabin mobil yang terasa semakin sempit.

Di dalam rekaman itu, terdengar suara Pratama Al Fahri yang sedang memberikan perintah dingin untuk memastikan bahwa sebuah kecelakaan mobil harus terjadi malam itu. Suara Luna juga terdengar samar-samar di latar belakang, memohon ampun sebelum suara benturan logam yang sangat keras mengakhiri segalanya dengan keheningan yang menyakitkan.

"Itu adalah suara ayah saya, pria yang Anda anggap sebagai pengusaha terhormat di negeri ini," bisik Fatimah sambil menangis tersedu-sedu di balik cadarnya.

Arfan mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih, kemarahan yang selama ini ia pendam seolah menemukan muaranya yang paling nyata dan mengerikan malam ini. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah membenci orang yang salah, dan wanita di hadapannya ini adalah korban yang sama hancurnya dengan dirinya sendiri.

"Maafkan saya, Tuan Arfan. Saya terlalu takut untuk bersuara karena saya tahu tidak akan ada yang percaya pada putri seorang monster," ucap Fatimah di sela tangisnya.

Baskara yang duduk di kursi penumpang depan hanya bisa terdiam membisu, ia merasa bersalah karena selama ini selalu menaruh curiga yang berlebihan kepada Fatimah.

"Kita akan membuat mereka membayar setiap tetes air mata dan darah yang telah mereka tumpahkan selama ini," ujar Arfan dengan nada yang sangat dingin dan mematikan.

Ia menyalakan kembali mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah aman, sebuah tekad baru kini telah tertanam kuat di dalam sanubari sang pengacara. Fatimah hanya bisa memeluk tasnya erat-erat, merasa bahwa babak baru dalam hidupnya yang penuh dengan pertarungan hukum dan iman baru saja dimulai.

Namun, di tengah perjalanan, Arfan menyadari bahwa rem mobilnya terasa sangat ringan dan tidak berfungsi sama sekali saat ia mencoba memperlambat laju kendaraan di sebuah turunan tajam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!