Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : TERBARING LEMAH
Pagi itu, saat kabut demam mulai terangkat dari kepalaku, aku menatap Erlangga yang masih setia di sisi ranjang. Wajahnya yang kaku tampak sedikit melunak karena kelelahan. Aku tahu ini adalah celah kecil dalam obsesinya.
"Erlangga," panggilku parah, tenggorokanku masih terasa kering.
Dia menoleh, tangannya yang hangat segera menyentuh keningku. "Ya? Apa yang kau butuhkan? Aku akan panggilkan dokter lagi."
"Aku ingin satu hal," potongku pelan. Aku menatap matanya dalam-dalam, mencari sisa kemanusiaan di sana. "Sebelum pernikahan itu terjadi... aku ingin menemui ibuku. Hanya sebentar."
Erlangga terdiam. Rahangnya mengeras, sebuah reaksi spontan setiap kali aku meminta akses ke dunia luar. Aku tahu dia takut aku akan lari, atau mungkin dia takut dunianya yang sempurna akan terusik oleh kenyataan bahwa aku memiliki kehidupan sebelum dia membeliku.
"Hanya ibu," tambahku dengan nada memohon yang paling rendah. "Kau bisa mengawal setiap langkahku. Kau bisa mengawasi setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya rindu."
Suasana hening menyelimuti kamar mewah itu. Aku bisa melihat peperangan batin di balik matanya yang gelap. Setelah helaan napas panjang yang terdengar seperti kekalahan, dia mengangguk pelan.
"Baik," ucapnya rendah. "Besok, setelah kondisimu benar-benar pulih. Aku sendiri yang akan mengantarmu."
Dia meraih tanganku, mencium punggung jemariku dengan posesif. "Tapi ingat satu hal, Ashilla. Jangan pernah mencoba melakukan hal bodoh. Karena setelah ini, tempatmu hanya di sini, di sampingku."
Meskipun itu adalah sebuah izin, aku tahu itu hanyalah rantai yang dipanjangkan sedikit. Namun, bagi tawanan sepertiku, menghirup udara di luar penjara emas ini—meski hanya sesaat—adalah kemenangan kecil yang sangat berarti.
Erlangga menepati janjinya. Dengan kawalan ketat, dia membawaku menuju rumah masa kecilku yang kini terasa asing. Sepanjang perjalanan, dia menggenggam tanganku begitu erat, seolah-olah jika dia lengah sedikit saja, aku akan menguap tertiup angin.
Saat mobil mewah itu berhenti di depan gerbang, jantungku mencelos. Pemandangan di depanku jauh lebih menyakitkan daripada penjara emas Erlangga.
Di teras, aku melihat Ayah. Pria yang dulu begitu kokoh kini duduk tak berdaya di atas kursi roda. Kakinya yang lumpuh akibat kecelakaan tertutup selimut tipis, wajahnya nampak jauh lebih tua dari usia aslinya. Tatapannya kosong, menatap jalanan dengan sisa-sisa keputusasaan.
"Ayah..." bisikku tertahan. Erlangga hanya diam, namun cengkeramannya di bahuku memberiku kekuatan sekaligus tekanan.
Aku segera berlari masuk ke dalam rumah, menuju kamar Ibu. Pemandangan di sana lebih menghancurkan lagi. Ibu terbaring lemah, tubuhnya nampak kurus dan wajahnya pucat pasi. Alat bantu pernapasan sederhana terpasang di sana.
"Ibu sakit setelah mendengar pertengkaran Andra dan kak Reyhan tentangmu, Ashilla," suara Bi Ijah, tetangga yang membantu merawat, memecah keheningan. "Mereka meributkan bagaimana kau bisa 'menghilang' dan uang yang kau titipkan pada Andra. Ibu tidak kuat menanggung kenyataan itu."
Aku jatuh berlutut di samping ranjang Ibu, tangis yang selama ini kupendam pecah seketika. Aku meraih tangan Ibu yang dingin, menciuminya berulang kali. Ibuku jatuh sakit karena memikirkanku—karena dosa yang kutanggung demi menyambung hidup keluarga ini.
Di ambang pintu, Erlangga berdiri mematung. Dia menyaksikan kehancuran yang secara tidak langsung adalah buah dari obsesinya. Untuk sesaat, aku melihat kilatan rasa bersalah di matanya saat dia menatap orang tuaku yang sekarat. Namun, pria itu tetaplah Erlangga. Dia melangkah maju, meletakkan tangannya di bahuku, mencoba mengklaim kepemilikannya bahkan di tengah duka keluargaku.
"Jangan menangis," bisiknya dingin namun ada getaran di sana. "Semua biaya pengobatan mereka sudah aku tanggung. Mereka akan mendapatkan perawatan terbaik, asalkan kau tetap menjadi milikku."
Aku mendongak, menatapnya dengan mata yang basah oleh air mata dan amarah. "Kau tidak hanya membeliku, Erlangga... kau menghancurkan seluruh duniaku agar aku tidak punya pilihan selain lari padamu."
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,