Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Suara yang Tidak Pernah Benar-Benar Pergi"
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Alya berjalan menyusuri jalan tanah menuju sekolah dengan tas lusuh di punggungnya. Setiap langkah terasa berat, bukan karena tubuhnya lelah, tetapi karena ia tahu—sekolah bukan tempat aman baginya.
Begitu ia memasuki gerbang sekolah, bisikan-bisikan itu langsung menyambutnya.
“Eh, itu dia… Alya.”
“Yang bapaknya pemabuk itu, kan?”
“Katanya semalam rumahnya ribut lagi.”
Alya pura-pura tidak mendengar. Ia menunduk, mempercepat langkah, dan langsung menuju kelas. Bangku belakang dekat jendela—tempat yang selalu ia pilih—masih kosong. Ia duduk, mengeluarkan buku, dan mulai menulis tanggal dengan tangan sedikit gemetar.
Bel tanda pelajaran berbunyi. Guru belum datang, dan itulah saat-saat paling rawan.
Sebuah kursi di depannya tiba-tiba ditarik kasar. Seorang siswi bernama **Rani** menoleh sambil menyeringai.
“Al,” katanya dengan nada dibuat-buat manis, “seragammu itu dicuci nggak sih? Kok warnanya kayak kain pel?”
Tawa kecil langsung pecah di sekeliling.
Alya menelan ludah. “Aku… cuci,” jawabnya pelan, hampir tak terdengar.
“Hah? Apa?” Rani mendekatkan telinganya. “Keras dikit dong. Atau jangan-jangan kamu nggak sarapan ya, jadi lemes?”
Temannya, **Dina**, ikut menimpali sambil tertawa,
“Jelas lah. Orang miskin mana sempat sarapan.”
Alya menggenggam pulpen lebih erat. Ia menatap buku, berusaha fokus pada garis-garis kertas.
“Aku nggak ganggu kalian,” katanya lirih. “Tolong…”
Rani mendengus.
“Ih, sok suci banget sih. Kita cuma bercanda.”
“Bercanda?” Dina tertawa sinis. “Kalau nggak kuat, pindah sekolah aja. Eh tapi… emang bisa ya bayar?”
Suara tawa makin keras. Ada yang ikut menoleh. Ada yang pura-pura sibuk tapi jelas mendengar. Tidak ada yang membela.
Guru akhirnya masuk, dan suara-suara itu mendadak lenyap, seolah tak pernah ada apa-apa.
Namun bullying tidak berhenti di kelas.
Saat jam istirahat, Alya duduk sendirian di pojok kantin dengan bekal kosong. Ia hanya minum air dari botolnya. Dari kejauhan, Rani dan gengnya memperhatikannya.
“Eh, lihat deh,” bisik Dina, cukup keras untuk didengar,
“Dia makan angin lagi.”
Rani berdiri dan berjalan mendekat.
“Alya,” katanya sambil menunjuk kotak bekalnya, “kok kosong? Diet ya?”
Alya menggeleng. “Aku… nggak bawa.”
“Kasihan banget,” Rani pura-pura iba. “Atau uang jajannya dipakai buat beliin bapaknya minum?”
Kalimat itu menusuk lebih dalam dari yang lain.
Alya berdiri tiba-tiba. Tangannya bergetar.
“Jangan bawa-bawa ayahku,” ucapnya pelan tapi tegas.
Suasana hening sejenak.
Lalu Dina tertawa keras.
“Wah, galak sekarang. Pantesan bapaknya—”
“DINAAA!”
Guru piket melintas. Rani langsung mengubah ekspresi.
“Kok teriak-teriak sih, Bu? Kita cuma ngobrol.”
Alya menunduk. Dadanya naik turun. Ia ingin bicara. Ingin menjelaskan. Tapi kata-kata terasa macet di tenggorokan.
Guru menatap mereka sebentar.
“Sudah, istirahat yang baik,” katanya singkat, lalu pergi.
Rani mencondongkan badan ke arah Alya dan berbisik tajam,
“Lain kali mikir dulu sebelum sok berani.”
Saat jam olahraga, kejadian lain menunggu.
Alya berganti pakaian di sudut ruang ganti. Saat ia keluar, sepatunya sudah tidak ada.
“Nyari apa?” tanya Dina sambil menahan tawa.
“Sepatuku…” suara Alya bergetar.
Rani menunjuk ke arah lapangan.
“Oh itu? Tadi jatuh ke selokan. Harusnya diambil cepat-cepat.”
Alya berlari ke arah yang ditunjuk. Benar saja—sepatunya basah, penuh lumpur. Ia mengangkatnya dengan tangan gemetar.
“Kenapa kalian gitu sih…?” bisiknya, nyaris menangis.
Dari kejauhan, Rani berteriak,
“Makanya jangan miskin! Kalau punya sepatu cadangan kan enak!”
Beberapa siswa tertawa. Beberapa menunduk. Tidak ada yang menghampiri Alya.
Ia berdiri di pinggir lapangan dengan sepatu basah di tangan. Guru olahraga memandangnya.
“Kamu kenapa tidak ikut?” tanya guru.
Alya menunduk.
“Sepatu saya… basah, Pak.”
Guru menghela napas.
“Lain kali dijaga barangnya. Duduk di pinggir.”
Kalimat sederhana itu membuat mata Alya panas. Bukan marah—lebih ke lelah.
Sepulang sekolah, Alya berjalan sendirian. Setiap tawa yang ia dengar terasa seperti ditujukan padanya. Setiap bisikan terasa seperti pisau kecil yang menempel di kulit.
Di rumah, ia duduk di kamar, memeluk lutut.
“Aku capek…” bisiknya pada diri sendiri.
Air mata akhirnya jatuh, satu, dua, lalu tak terbendung. Ia menangis tanpa suara, karena menangis keras hanya akan mengundang masalah lain.
Hari itu, Alya belajar satu hal lagi:
luka tidak selalu terlihat.
Dan terkadang, yang paling menyakitkan bukan pukulan—
melainkan kata-kata yang membuatmu merasa tidak layak hidup seperti orang lain.
Namun di balik tangisnya, Alya masih bernapas.
Dan selama itu, ia tahu…
ia belum kalah.
Alya mengira hari itu sudah cukup buruk. Ternyata ia salah.
Keesokan harinya, suasana kelas terasa berbeda. Begitu Alya masuk, beberapa pasang mata langsung menatapnya, lalu berbisik. Ada sesuatu di udara—tegang, licik.
Ia duduk seperti biasa. Baru saja membuka buku, sebuah kertas kecil mendarat di mejanya.
**PLUK.**
Tangannya ragu saat membukanya.
> *“Anak pemabuk nggak pantas sekolah.”*
Alya menegang. Ia menoleh cepat ke sekeliling. Rani duduk dua baris di depan, pura-pura sibuk dengan ponselnya di bawah meja. Dina menutup mulut, menahan tawa.
Alya meremas kertas itu, jantungnya berdegup kencang.
Tak lama kemudian, kertas lain datang.
> *“Ibunya mati, bapaknya rusak.”*
Napas Alya tercekat.
“Berhenti…” bisiknya pelan, entah pada siapa.
Rani menoleh dan berbisik cukup keras,
“Kenapa? Kena mental?”
Alya berdiri tiba-tiba. Kursinya berdecit keras, membuat seisi kelas menoleh.
“Aku nggak pernah ganggu kalian,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kenapa kalian jahat banget sama aku?”
Ruangan hening sesaat.
Lalu Dina tertawa kecil.
“Lah, dia nangis?”
“Alya,” Rani berdiri juga, ekspresinya dibuat polos,
“kamu jangan drama. Kita cuma bercanda.”
“Itu bukan bercanda,” suara Alya pecah. “Kalian nyakitin aku.”
Guru masuk tepat saat itu.
“Ada apa ini?” tanya guru dengan nada lelah.
Rani langsung duduk.
“Nggak apa-apa, Bu. Alya tiba-tiba marah sendiri.”
Semua mata tertuju pada Alya.
Guru menatapnya.
“Alya, kalau ada masalah pribadi, jangan dibawa ke kelas.”
Masalah pribadi.
Kata itu menghantam Alya lebih keras dari tamparan ayahnya.
“Iya, Bu,” jawabnya pelan, lalu duduk kembali.
Tangannya dingin. Kepalanya menunduk sepanjang pelajaran. Tulisan di papan tampak kabur karena air mata yang ia tahan mati-matian.
Saat jam pulang, Alya berjalan ke loker. Begitu dibuka—
Tasnya basah.
Bau menyengat langsung tercium.
“Eh, bau apa itu?” Dina menutup hidung pura-pura.
“Jijik banget.”
Alya gemetar membuka tasnya. Buku-bukunya basah oleh cairan berwarna kekuningan.
“Kenapa kalian begini…” suaranya hampir tak keluar.
Rani menyeringai.
“Biar cocok sama hidupmu.”
Itu kalimat terakhir hari itu.
Alya membawa tasnya pulang dengan tangan gemetar. Di rumah, ia mencuci buku-bukunya satu per satu, meski tahu banyak tulisan akan rusak. Air mata menetes bercampur air sabun.
“Kalau aku hilang,” bisiknya lirih,
“apa ada yang sadar?”
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Namun di tengah hancurnya perasaan itu, Alya mengangkat kepala. Ia menatap pantulan dirinya di ember air.
Matanya sembab. Wajahnya pucat. Tapi ia masih di sana.
“Aku masih hidup,” katanya pelan.
“Dan aku nggak salah.”
Untuk pertama kalinya, meski sangat kecil, ada bara di dadanya. Bukan marah. Bukan dendam.
Keinginan untuk **tidak hancur**.
Dan tanpa ia sadari, hari-hari ini—semua luka ini—sedang membentuk sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang suatu hari nanti tidak akan mudah dipatahkan.