Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Tak Mau Disalahkan
“Pernikahan kita sementara, pernikahan kita hanya sebuah formalitas semata agar kamu tidak dipaksa menikah dan dijodohkan dengan pilihan orang tuamu. Sekarang aku sadar dengan perkataan yang sering kamu ulang selama pernikahan kita itu. Aku saja yang bodoh sudah mau berusaha menjadi istri terbaik untukmu, nyatanya? Aku tidak pernah cukup bahkan aku tidak pernah dianggap ada.” Arumi mengeluarkan keluhannya.
Raka akan bersuara namun Arumi lebih dulu mengangkat tangan— mengisyaratkan agar Raka tidak menyela ucapannya.
“Kali ini, biarkan aku bersuara. Selama satu tahun, aku selalu dipaksa untuk diam dan tidak boleh mengeluarkan keluh kesahku, tapi kali ini, kau yang harus mendengarkan aku, Raka.” Ketegasan Arumi kali ini cukup membuat Raka terdiam, tak pernah dia lihat sisi tegas ini dari diri istrinya sebelumnya.
“Selama satu tahun, aku berusaha membuat kau mencintaiku. Aku melayanimu layaknya seorang istri pada umumnya, tapi layananku itu selalu kurang di matamu. Aku juga berusaha merawat diri dengan baik tapi di matamu? Aku tetap bagai seorang upik abu yang tak pantas disandingkan denganmu. Setiap apa yang aku lakukan selama ini, tak pernah kau hargai. Kau menghinaku, meledekku, merendahkanku, dan mengungkit statusku sebagai anak yatim piatu yang hidup di panti asuhan setiap saat. Aku terima semuanya tanpa bantahan, aku hanya bisa menangis dan menangis hingga aku terbiasa dengan semua itu. Aku kesepian menjadi seorang istri, aku kesepian menjadi seorang manusia karena kau tidak mengizinkan aku untuk berteman dengan siapapun,” tutur Arumi tanpa memberikan jeda pada Raka.
“Kau bilang kalau masakanku tak enak, kurang inilah, itulah padahal kau sendiri yang tidak menginginkannya. Kau bilang penampilanku jeleklah, buruklah, kurang ini, kurang itu, padahal kau sendiri yang tidak menyukai aku. Kau bilang aku tidak memperhatikanmu, tidak melihatmu, tidak mengutamakanmu, padahal kau sendiri yang mengabaikan semua usahaku. Lalu sekarang? Kau menuduhku berselingkuh? Haha itu konyol, Raka.” Arumi memberikan tawanya pada Raka, di mana tawa itu adalah bentuk rasa sakit yang dia pendam selama ini.
“Sekarang, kalau kau ingin menikah dengan Nadira, ya silakan saja. Aku tidak akan melarang dan mengenai perceraian, silakan ceraikan aku kapan saja kau mau. Aku sudah siap untuk itu,” tambah Arumi lagi lalu menjauh dari Raka.
Dia memilih duduk di sofa dan menyandarkan punggungnya dengan santai. Sedangkan Raka tengah menahan ego untuk tidak terlihat kalah dari Arumi. Dia tidak bisa terima kalau dirinya disalahkan.
Raka tertawa kecil— tawa yang menunjukkan kalau dirinya masih ada di posisi yang aman dan tidak bersalah. Gerakannya tenang seolah ucapan Arumi hanyalah ocehan tanpa makna sama sekali. Sungguh, dia tidak menerima kalau semua itu adalah salahnya, dia berusaha untuk tidak menjadi pelaku kali ini.
“Kamu sudah selesai?” tanyanya datar, lalu melangkah mendekat. Tatapannya menukik, dingin. “Sekarang giliranku bicara.”
Arumi tak menjawab. Diamnya justru membuat Raka semakin yakin ia masih memegang kendali.
“Kamu pintar sekali memutar cerita, Arumi,” lanjutnya, nada suaranya lembut tapi menusuk. “Seolah-olah aku monster, dan kamu korban suci. Padahal kenyataannya, kalau aku benar-benar seburuk yang kamu katakan, kamu tidak akan bertahan satu tahun bersamaku.”
Ia berhenti tepat di depan Arumi, tubuhnya menjulang, menciptakan bayangan yang menutup sebagian cahaya. Dominasi itu disengaja agar Arumi bisa dia kendalikan lagi.
“Kamu bertahan karena kamu butuh aku,” ucapnya pelan. “Statusmu, hidupmu, semua yang kamu punya sekarang itu karena namaku. Tanpa aku, kamu kembali jadi siapa? Gadis panti asuhan yang tidak punya siapa-siapa.”
Rahang Arumi mengeras, tapi Raka tersenyum tipis.
“Dan soal Nadira,” lanjutnya, pura-pura menghela napas. “Kamu tahu kenapa aku bisa dekat dengannya? Karena dia tidak mengeluh. Dia tidak membuatku merasa bersalah hanya karena aku tidak bisa mencintai dengan cara yang kamu inginkan.”
Raka mencondongkan tubuhnya dan merendahkan suara.
“Kamu selalu minta lebih. Lebih perhatian, lebih cinta, lebih pengakuan. Pernikahan ini dari awal sudah jelas aturannya, Arumi. Kamu yang melanggarnya dengan berharap bisa mendapatkan cinta dariku.” Raka berjalan memutar, membuat Arumi merasa seperti terdakwa yang diadili.
“Kamu bilang aku mengurungmu? Tidak. Aku hanya melindungimu. Dunia di luar sana tidak seindah yang kamu kira, dan kamu terlalu polos untuk itu,” katanya tenang. “Kalau kamu kesepian, itu karena kamu memilih merasa begitu padahal banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk mengusir kesepian itu.” Ia berhenti, lalu menatap Arumi tajam.
“Dan sekarang kamu duduk di sini, berbicara seolah-olah kamu sudah bebas. Jangan salah paham,” ucapnya dingin. “Selama kamu masih istriku, di atas kertas maupun di mata orang lain, kamu tetap milikku.” Raka mendekat satu langkah lagi. “Perceraian?” Ia terkekeh. “Itu bukan keputusanmu. Itu hakku. Dan sampai aku memutuskan, kamu akan tetap memainkan peranmu sebagai istri yang baik. Mengerti?”
Raka berbalik, mengambil kunci mobilnya dengan santai, seolah barusan tidak menghancurkan seseorang dengan kata-kata.
“Oh ya, Arumi,” katanya tanpa menoleh. “Kalau kamu ingin bertahan hidup di dunia ini, sebaiknya kamu berhenti merasa diri kamu korban. Itu tidak cocok dengan wajahmu. Awalnya aku memang ingin menceraikanmu tapi aku berubah pikiran, kita tidak akan bercerai dan kau akan melihat kebahagiaanku bersama Nadira seumur hidupmu.”
Pintu kamar akhirnya tertutup dengan Raka yang tidak ada lagi di sana. Arumi tersenyum dan menyusul Raka ke bawah, ia ingin menanyakan sesuatu sebelum suaminya itu pergi.
Raka dan Nadira tak ada lagi di sana, mereka sudah keluar dari rumah. Arumi menyusul dan berseru pada Raka yang hendak memasuki mobil. “Apa yang kau inginkan sebenarnya, Raka?”
“Aku hanya ingin kebahagiaanku, hidup bebas dengan pilihanku sendiri.” Jawaban Raka membuat Arumi tersenyum.
“Silakan berbahagia dan aku juga akan meraih kebahagiaanku. Terima kasih.” Arumi berucap dengan senyum bahagianya lalu memasuki rumah kembali.
Ia menutup pintu dan menyandarkan punggung ke daun pintu tersebut.
“Kebahagiaan? Dia ingin kebahagiaan dengan mengorbankan diriku? Sudah cukup jadi wanita bodoh, Arumi. Kau bisa bahagia tanpa mempedulikan suami dan madumu itu. Kau bisa menerima takdir menjadi istri yang tidak diinginkan asal kau bisa menikmati semua fasilitas ini.” Arumi bergumam senang lalu menghirup udara dengan rakus.
“Selamat datang di kehidupan barumu, Arumi. Tanpa sadar, Raka sudah mengatakan bahwa nama baik dia dan keluarganya bergantung sepenuhnya padamu. Kamu yang memegang kendali, sejatinya, Raka takut akan perceraian. Bukan karena takut kehilangan kamu Arumi, tapi karena takut nama baiknya hilang. Kamu pemegang kendali sekarang,” ujar Arumi sembari tertawa lepas, dia tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini jika posisinya sedang tidak diuntungkan.
Arumi berjalan ke arah kamarnya dan membuang seluruh pakaian yang pernah Raka belikan. Ia melirik brangkas uang yang mana uang itu adalah hasil dari tabungannya selama ini, uang bulanan yang Raka berikan selalu dia sisihkan. Memang pria itu cukup royal padanya selama ini.
“Aku akan membeli semua barang-barang yang baru. Yang lama ini dibuang saja karena tidak berguna lagi,” ucapnya senang sembari mengosongkan isi lemarinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir