Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Di Balik Jas dan Senyap"
Disis lain kehidupan,
Lampu kota memantul di dinding kaca gedung tertinggi di pusat bisnis Jakarta. Dari lantai tiga puluh dua, dunia terlihat kecil—seperti papan permainan yang bisa digerakkan sesuka hati.
**Zavian Adhikara** berdiri menghadap jendela, satu tangan di saku jas hitamnya. Posturnya tegap, rahangnya tegas, wajahnya tenang namun sulit ditebak. Di usia dua puluh sembilan tahun, ia menjabat sebagai CEO **Adhikara Group**. perusahaan investasi dan logistik yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Bersih di permukaan. Sangat bersih. Perusahaan ini bukan sembarang perusahaan, terlihat baik diluar namung menyimpan rahasia besar didalamnya. Hukum? Tak berani menyentuh
Di belakangnya, pintu ruang rapat terbuka.
“Semua sudah siap,” kata seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka tipis di pelipis. **Bima**, tangan kanan Zavian sejak bertahun-tahun lalu. “Pengiriman malam ini lewat jalur timur. Aman.”
Zavian tidak langsung menjawab. Ia menatap lalu lintas di bawah, lampu mobil seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.
“Berapa orang yang tahu?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah dan tenang.
“Lima. Orang lama semua.”
“Pastikan tetap lima,” ujar Zavian. “Kebocoran sekecil apa pun, potong jalurnya.”
Bima mengangguk. “Seperti biasa.”
Zavian berbalik, matanya tajam. “Bukan ‘seperti biasa’. Sekarang pengawasan makin ketat. Kita bukan preman jalanan. Kita perusahaan, kelalaian kecil bisa berdampak besar. Ingat itu.”
Bima tersenyum tipis. “Kadang saya lupa, Bos. Terlalu rapi.”
Zavian mengambil tablet di meja, menelusuri laporan keuangan. Angka-angka bergerak naik, grafik stabil. Tidak ada yang mencurigakan. Setidaknya di atas kertas.
“Kabar dari Mexico?” tanya Zavian.
“Kelompok lama mulai resah. Mereka merasa wilayahnya dipersempit.”
“Perasaan bukan urusan kita,” jawab Zavian datar. “Hasil yang bicara.”
Pintu kembali terbuka. Seorang perempuan masuk dengan langkah percaya diri. **Nadine**, kepala legal Adhikara Group. Rambutnya pendek rapi, tatapannya tajam.
“Zavian,” katanya tanpa basa-basi, “kita dapat undangan audit mendadak. Resmi, tapi waktunya aneh.”
Zavian mengangkat alis sedikit. “Pihak mana?”
“Keuangan. Tapi saya curiga ada dorongan dari luar.”
Zavian tersenyum kecil—senyum yang tidak pernah mencapai matanya. “Biarkan mereka datang.”
Nadine menatapnya serius. “Kali ini bukan audit biasa. Mereka akan gali sampai ke anak perusahaan.”
“Dan mereka akan menemukan laporan yang sempurna,” kata Zavian tenang. “Karena memang itu yang kita siapkan.”
Bima menyilangkan tangan. “Kalau mereka nekat melewati batas?”
Zavian melangkah mendekat, suaranya menurun, penuh kontrol.
“Kalau seseorang menggali terlalu dalam,” katanya, “tugas kita bukan menutup tanahnya. Tapi mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.”
Hening sejenak.
Nadine menghela napas pelan. “Kau selalu bicara seolah ini papan catur.”
“Karena memang begitu,” jawab Zavian. “Dan aku tidak berniat kalah.”
Ia duduk di kursi kepala meja, menatap dua orang kepercayaannya. “Kita akan ekspansi ke sektor pendidikan. Yayasan. Beasiswa. Publik akan sibuk memuji.”
Bima terkekeh. “Citra malaikat.”
“Citra adalah senjata,” kata Zavian. “Yang tidak berdarah.”
Ponsel Zavian bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Ia membacanya sekilas, lalu mengunci layar.
“Masalah baru?” tanya Nadine.
Zavian berdiri lagi, merapikan manset jasnya. “Belum. Tapi akan jadi.”
“Dari mana?”
Zavian menatap kembali ke jendela, kota masih menyala di bawah sana.
“Dari tempat yang tidak kita duga.”
Lampu ruang rapat meredup otomatis. Malam semakin dalam. Di balik jas mahal dan perusahaan besar, roda lain terus berputar—sunyi, rapi, dan berbahaya.
---
Namun malam Zavian belum selesai.
Lift pribadi meluncur turun tanpa suara. Di cermin baja, pantulan wajahnya tampak dingin—tanpa ragu, tanpa emosi berlebih. Banyak orang mengira ketenangan adalah tanda empati. Mereka keliru. Pada Zavian, ketenangan adalah hasil dari keputusan-keputusan yang sudah diambil jauh sebelum orang lain sadar mereka sedang bermain.
Basement tiga berbau beton dingin dan oli. Sebuah mobil hitam menunggu, mesin menyala pelan. Sopir membuka pintu tanpa berkata apa-apa.
Tujuan berikutnya bukan gedung kaca.
Gudang tua di pinggiran pelabuhan berdiri seperti bangkai besi. Dari luar, ia tampak tak terpakai. Dari dalam, ia adalah simpul penting—tempat keputusan diambil tanpa dokumen dan tanda tangan.
Seorang pria berambut perak berdiri di tengah ruangan. **Surya**, salah satu penghubung lama. Wajahnya penuh keriput, matanya tajam oleh pengalaman.
“Kau datang sendiri,” katanya.
“Kalau aku bawa rombongan,” jawab Zavian tenang, “artinya kau sudah terlambat.”
Surya tersenyum kecut. “Audit itu nyata?”
“Nyata,” jawab Zavian. “Dan tidak berbahaya.”
“Belum,” tambah Surya pelan.
Zavian menatapnya dingin. “Kau ingin menawar rasa takut?”
“Aku ingin mengingatkan,” ujar Surya. “Ada pihak yang tidak puas dengan cara kau membersihkan jejak. Terlalu rapi bisa menimbulkan kecurigaan.”
“Yang mencurigakan adalah mereka yang ceroboh,” kata Zavian. “Aku tidak menjalankan bisnis dengan emosi.”
Surya mendekat satu langkah. “Kau muda, Zavian. Cepat naik. Banyak yang ingin melihatmu jatuh.”
Zavian mencondongkan tubuh sedikit, jarak mereka kini tipis.
“Yang ingin melihatku jatuh,” katanya pelan, “biasanya lupa satu hal.”
“Apa?”
“Aku tidak berdiri sendirian.”
Keheningan kembali menguasai gudang. Surya akhirnya mundur. “Pesanmu akan kusampaikan.”
“Pastikan disampaikan utuh,” ujar Zavian. “Tanpa interpretasi.”
Dalam perjalanan pulang, kota kembali menyala. Dari balik kaca mobil, Zavian menatap lampu-lampu yang bergerak acak. Ia tidak merasa puas. Ia tidak merasa gelisah. Ia hanya menghitung.
Di ponselnya, sebuah nama muncul lagi—tanpa pesan, hanya notifikasi keberadaan. Zavian menutup layar ponselnya.
Beberapa hal belum waktunya disentuh.
Di penthouse-nya, Zavian menuang segelas minuman, berdiri sendirian. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada hiasan personal. Ruangan itu bersih, hampir kosong—seperti pikirannya saat membuat keputusan.
Ia tahu satu hal pasti: keseimbangan sedang bergeser. Dan ketika keseimbangan berubah, akan selalu ada yang terseret.
Zavian Adhikara tidak bertanya apakah itu adil.
Ia hanya memastikan dirinya berada di sisi yang mengendalikan arah.
Dan di malam yang tampak tenang itu, sebuah langkah kecil telah diambil—langkah yang kelak akan mempertemukan dua dunia yang seharusnya tidak pernah bersinggungan, yang seharusnya tak berhubungan dan ada campur tangan.