Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Usia lima belas tahun datang tanpa perayaan apa pun. Tidak ada kue. Tidak ada lilin. Tidak ada ucapan selamat yang riuh. Yang ada hanya pagi yang terlalu sunyi di apartemen tinggi dengan jendela kaca besar, tempat matahari selalu masuk dengan ragu, seolah takut mengganggu ketenangan yang sudah lama membeku.
Yun Qi duduk di meja makan sendirian. Seragam sekolahnya rapi terlalu rapi untuk anak seusianya. Rambutnya diikat sederhana, dua helai tipis di sisi wajahnya sengaja dibiarkan jatuh. Tangannya memegang sumpit, tapi nasi di mangkuknya hampir tidak tersentuh. Televisi di sudut ruang makan menyala tanpa suara. Hanya gambar berita ekonomi yang bergerak cepat grafik, gedung pencakar langit, wajah-wajah pria dewasa yang berbicara serius. Dunia yang sama sekali tidak ia pahami, tapi terlalu sering ia lihat.
Jam di dinding menunjukkan pukul enam tiga puluh. Biasanya, pada jam segini, Wang Hao Yu sudah berangkat. Kadang ia hanya lewat sekilas jas hitam, jam mahal, aroma parfum maskulin yang samar tertinggal di udara. Kadang ia berhenti, bertanya singkat, “Sudah sarapan?” tanpa menunggu jawaban, lalu pergi.
Hari ini berbeda. Langkah kaki itu belum terdengar. Yun Qi menurunkan sumpitnya perlahan. Ada perasaan aneh yang menggelitik di dada, seperti firasat yang tidak mau disebutkan. Ia berdiri, melangkah pelan ke ruang tamu. Koper besar berdiri di dekat pintu. Hitam. Keras. Baru. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Belum sempat ia membuka mulut, pintu kamar utama terbuka. Wang Hao Yu keluar, mengenakan kemeja putih tanpa jas. Lengan bajunya digulung sampai siku. Rambutnya masih sedikit basah, rapi tapi tidak seformal biasanya. Usianya kini tiga puluh. Wajah itu semakin tegas, rahang lebih keras, mata lebih dalam. Tidak ada lagi sisa pemuda dua puluh lima tahun yang dulu memungut seorang anak kurus dari pinggir jalan. Yang ada pria dewasa dengan aura dingin yang nyaris tidak pernah retak.
Tatapan mereka bertemu. Yun Qi refleks menunduk. “Selamat pagi, Ge,” ucapnya pelan, menggunakan sapaan yang sejak lima tahun lalu menjadi kebiasaan. Suara itu halus, masih membawa sisa-sisa masa kanak-kanak, meski tubuhnya sudah mulai memanjang, berubah perlahan. Hao Yu mengangguk singkat. “Pagi.”
Ia berjalan ke dapur, menuang kopi, gerakannya efisien. Tidak ada yang tergesa, tapi juga tidak ada yang santai. Yun Qi berdiri di tempat, jari-jarinya saling menggenggam tanpa sadar. “Koper itu…” Yun Qi ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan bahasa yang lebih formal, “Anda akan bepergian?” Hao Yu menyesap kopi. “Aku akan ke luar negeri.”
Kalimat itu jatuh begitu saja. Tidak berat, tidak juga ringan. Seolah hanya informasi biasa. Namun bagi Yun Qi, kata ke luar negeri terasa seperti sesuatu yang jauh, besar, dan berbahaya. “Berapa lama?” tanyanya, masih dengan nada hati-hati.
Hao Yu menoleh. Tatapannya singkat, tapi cukup untuk membuat Yun Qi menegakkan punggung tanpa sadar. “Lima tahun.” Waktu seolah berhenti. Lima tahun. Angka itu berputar-putar di kepala Yun Qi, menabrak dinding pikirannya berkali-kali sampai terasa pusing. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Bagi seseorang yang berusia lima belas tahun, lima tahun terasa seperti satu kehidupan penuh.
“Lima… tahun?” ulang Yun Qi, hampir berbisik. Hao Yu mengangguk. “Ada proyek. Aku tidak bisa bolak-balik.” Yun Qi menelan ludah. Tangannya dingin. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin keluar, tapi semuanya terjebak di tenggorokan. Ia ingin bertanya kenapa, ke mana, apakah akan pulang, apakah akan meninggalkannya sendirian.
Namun tidak satu pun terasa pantas untuk diucapkan “Apartemen ini akan tetap kamu tempati,” lanjut Hao Yu. “Pengasuh, sopir, semuanya tetap. Keuangan tidak akan berubah. Fokus saja sekolah.” Nada suaranya datar. Terlalu datar.
Yun Qi mengangguk, gerakan kecil yang hampir tidak terlihat. “Baik, Ge.” Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu rapuh. Sudut bibirnya naik sedikit, lalu berhenti, seolah takut pecah jika dipaksakan. Hao Yu memerhatikannya sejenak. Mata pria itu menyempit tipis bukan marah, bukan lembut. Lebih seperti menganalisis. “Kamu sudah lima belas,” katanya. “Sudah cukup besar untuk mengerti.”
Yun Qi mengangguk lagi. “Saya mengerti.” Padahal sebenarnya tidak. Ia tidak mengerti kenapa dada terasa sesak. Tidak mengerti kenapa apartemen ini tiba-tiba terasa terlalu besar. Tidak mengerti kenapa kepergian ini terasa berbeda dari hari-hari lain saat Hao Yu pulang larut atau pergi dinas. Ini bukan sekadar jarak harian. Ini pemisahan. “Sekolahmu bagaimana?” tanya Hao Yu. “Baik,” jawab Yun Qi cepat. “Nilai saya stabil.”
"aku tidak akan langsung pergi aku masih di hotel. dekat bandara selama 1 minggu" jelas Hao Yu yang lumayan panjang “Jaga diri.” Kalimat akhir itu singkat. Tapi entah kenapa, terdengar seperti sesuatu yang lebih dari sekadar nasihat. Hao Yu meraih kunci mobil. Suara logam itu berbunyi pelan, tapi cukup untuk membuat Yun Qi tersentak. Ia melangkah satu langkah maju tanpa sadar. “Ge…” panggilnya, suara itu keluar lebih kecil dari yang ia inginkan. Hao Yu berhenti.
Yun Qi menggigit bibirnya. Ada dorongan aneh untuk mengatakan sesuatu apa saja agar momen ini tidak berlalu begitu saja. Tapi kata-kata terasa bodoh di kepalanya. “Apa?” tanya Hao Yu. Yun Qi mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu lagi. Untuk sesaat, ia lupa semua tata bahasa formal, lupa semua aturan tak tertulis. Yang ada hanya seorang anak yang takut ditinggalkan. “…hati-hati,” ucapnya akhirnya.
Hao Yu menatapnya lama kali ini. Terlalu lama. Ada sesuatu di balik tatapan itu sesuatu yang Yun Qi belum bisa beri nama. Lalu pria itu mengangguk sekali. “Kamu juga.” Pintu tertutup dengan bunyi pelan. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada janji akan sering menelepon. Tidak ada kalimat manis. Hanya bunyi pintu yang mengunci, dan langkah kaki yang menjauh.
Yun Qi berdiri di tempatnya cukup lama. Sampai akhirnya ia duduk di sofa, memeluk bantal, menatap jendela besar yang menghadap kota. Mobil hitam itu melaju turun dari gedung, menghilang di antara lalu lintas pagi. Apartemen terasa kosong. Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Yun Qi tetap bersekolah. Tetap bangun pagi. Tetap makan teratur. Para pengasuh menjalankan tugas mereka dengan profesional, sopir menjemput dan mengantar tepat waktu. Tidak ada yang berubah secara fisik. Tapi ada sesuatu yang hilang.
Malam-malam menjadi lebih sunyi. Tidak ada suara langkah kaki larut malam. Tidak ada cahaya dari bawah pintu kamar Hao Yu. Tidak ada aroma kopi pahit di pagi hari. Yun Qi sering duduk di ruang tamu lebih lama dari biasanya, menonton televisi tanpa benar-benar menonton. Kadang ia membuka ponsel, menatap layar kosong, berharap ada pesan. Tidak pernah ada.
Di sekolah, ia menjadi lebih pendiam. “Qi, lu kenapa?” tanya salah satu temannya di kelas, nada low formal yang santai. “Dari kemarin bengong mulu.” Yun Qi tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.”
Padahal banyak hal. Ia mulai menghitung hari dengan cara aneh bukan menuju masa depan, tapi menjauh dari hari kepergian itu. Lima tahun terasa terlalu panjang untuk dihitung satu per satu, jadi ia berhenti menghitung sama sekali.
Suatu malam, sebelum tidur, Yun Qi berdiri di depan pintu kamar Hao Yu. Kamar itu terkunci. Selalu terkunci sejak kepergian pria itu. Ia menyentuh gagangnya sebentar, lalu menarik tangannya kembali, seperti takut ketahuan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.
Di kamarnya sendiri, ia duduk di ranjang, memeluk lutut. Lampu meja menyala redup. Di meja itu, ada foto lama satu-satunya foto yang ia punya bersama Hao Yu. Diambil diam-diam oleh pengasuh bertahun-tahun lalu. Wajahnya masih kecil, kurus, berdiri sedikit terlalu dekat dengan pria tinggi berjas hitam yang menatap kamera dengan ekspresi datar. Yun Qi menyentuh foto itu pelan. “Ge…” gumamnya, hampir tidak terdengar.
Tidak ada jawaban. Dan untuk pertama kalinya sejak diselamatkan dari jalanan, Yun Qi benar-benar merasakan arti kata sendiri.