Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Tatapan Pertama Arfan
Suara ledakan senapan memecah kesunyian malam di pinggir sungai, memantul di antara tebing batu yang curam. Butiran peluru itu menghantam permukaan air tepat beberapa senti di samping kepala Arfan, menciptakan cipratan dingin yang membasahi wajahnya yang pucat.
Arfan tersentak, rasa nyeri di kakinya yang terjepit seketika kalah oleh lonjakan adrenalin yang memacu jantungnya hingga terasa ingin melompat keluar. Di depannya, Fatimah berdiri mematung dengan mata melebar, menatap moncong senjata yang masih mengeluarkan asap tipis di seberang sana.
"Jangan bergerak atau peluru berikutnya akan bersarang tepat di antara kedua mata pengacara ini!" teriak suara serak dari balik kegelapan.
Fatimah merasakan lututnya lemas, seolah seluruh tenaganya baru saja dicuri oleh ketakutan yang luar biasa besar. Ia melihat sosok pria berbadan tegap itu perlahan melangkah keluar dari bayang-bayang pepohonan, membawa lampu senter yang cahayanya menyilaukan mata.
Bayangan maut yang selama ini ia hindari kini berdiri nyata hanya beberapa meter di depannya, siap mengakhiri pelariannya selamanya. Fatimah menarik napas panjang, mencoba menekan gemetar di tangannya yang kini ia gunakan untuk memegang bahu Arfan yang masih terjepit.
"Apa yang kau inginkan dari kami? Lepaskan dia, dia tidak tahu apa-apa tentang urusan keluarga Al Fahri!" suara Fatimah bergetar namun penuh penekanan.
Pria itu tertawa kecil, suara tawanya terdengar sangat parau dan dingin seperti gesekan logam karat di atas beton. Ia mengarahkan lampu senternya tepat ke arah wajah Fatimah, seolah ingin memastikan bahwa wanita di depannya adalah buruan yang selama ini dicari.
Arfan mengerang, ia mencoba menggerakkan kakinya lagi meskipun rasa sakitnya terasa seperti tulang yang sedang diremukkan secara paksa. Ia tidak sudi melihat Fatimah memohon pada pembunuh bayaran itu, harga dirinya sebagai pelindung terus memberontak meski raga tak berdaya.
"Zahra, Zahra. Kau selalu merasa paling suci di balik kain hitam itu, padahal kau hanyalah pembawa sial bagi semua orang," ejek pria itu sambil mendekat.
"Namaku Fatimah! Zahra yang kau cari sudah mati di aspal berdarah malam itu!" teriak Fatimah dengan keberanian yang muncul tiba-tiba.
Pria itu mendengus meremehkan, jari telunjuknya perlahan menekan pelatuk senjata dengan gerakan yang sangat lambat dan penuh ancaman. Arfan melihat itu, ia tahu waktu mereka hampir habis jika ia tidak segera melepaskan diri dari jepitan batu sungai yang licin ini.
Dengan satu sentakan bertenaga yang mengabaikan rasa sakit luar biasa, Arfan berhasil menarik kakinya hingga kulitnya terkelupas dan berdarah-darah. Ia segera bangkit berdiri, menghalangi pandangan pria bersenjata itu dari sosok Fatimah yang gemetar.
Untuk pertama kalinya dalam jarak yang sedemikian dekat, Arfan menoleh dan menatap langsung ke arah mata Fatimah di balik cadar tipisnya. Ada pancaran ketakutan, namun juga ada keteguhan yang sangat indah yang membuat Arfan terpana selama beberapa detik di tengah ancaman maut.
Tatapan itu seolah mengunci waktu, membuat suara gemuruh air sungai dan gonggongan anjing di kejauhan seakan menghilang menjadi sunyi. Arfan melihat harapan yang sangat besar di sana, sebuah alasan yang membuatnya merasa harus tetap hidup dan memenangkan perang ini.
"Fatimah, saat aku katakan lari, kau harus menyelam ke bawah air dan jangan pernah muncul sampai ke seberang sana," bisik Arfan dengan suara yang sangat tenang.
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini untuk dibantai oleh mereka!" Fatimah menggeleng kuat, air mata mulai membasahi cadarnya.
Arfan tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya memberikan sebuah senyuman kecil yang tidak terlihat karena tertutup gelap, namun bisa dirasakan melalui ketulusan nadanya. Ia mengambil sebuah batu seukuran kepalan tangan dari dasar sungai, bersiap melakukan perlawanan terakhir yang mungkin akan menjadi tindakan terakhirnya.
Si pria bersenjata kehilangan kesabaran, ia mulai membidik Arfan dengan mata yang menyipit penuh kebencian yang mendalam.
"Selamat tinggal, Pengacara Sombong! Sampaikan salamku pada neraka!" teriak pria itu sambil menarik pelatuknya dengan cepat.
Bersamaan dengan itu, Arfan melompat ke arah depan sambil melemparkan batu di tangannya sekuat tenaga menuju arah lampu senter yang menyilaukan. Suara letusan senjata kembali terdengar, namun kali ini diikuti oleh teriakan kesakitan dari sang penyerang karena batu Arfan mengenai wajahnya.
Arfan jatuh ke dalam air yang dalam, menyeret Fatimah bersamanya untuk menghindar dari rentetan peluru yang kini ditembakkan secara membabi buta ke permukaan air.
Mereka berdua tergulung oleh arus sungai yang ganas, terombang-ambing di antara bebatuan besar yang siap menghancurkan tulang mereka. Fatimah mencoba menggapai tangan Arfan di tengah kegelapan air, merasakan dingin yang membekukan paru-parunya hingga ia kesulitan untuk bernapas.
Tangan Arfan berhasil menangkap pergelangan tangan Fatimah, mencengkeramnya dengan sangat kuat seolah tidak akan pernah membiarkannya terlepas lagi. Mereka terus terbawa arus hingga beberapa puluh meter jauhnya dari titik penyerangan, menjauh dari cahaya lampu senter yang kini semakin mengecil di kejauhan.
Kepala Arfan sesekali muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen, namun luka di kepalanya kembali mengeluarkan darah yang membuat pandangannya memerah.
"Fatimah, bertahanlah sedikit lagi! Kita hampir mencapai bagian sungai yang lebih tenang!" seru Arfan sambil berjuang tetap mengapung.
Fatimah hanya bisa mengangguk lemah, cadarnya yang basah terasa sangat berat dan mencekik lehernya, namun ia menolak untuk membukanya di depan Arfan. Kesadaran wanita itu mulai menipis akibat hantaman air yang bertubi-tubi dan suhu dingin yang menyerang sistem sarafnya secara perlahan.
Arfan melihat sebuah dahan pohon yang menjorok ke arah sungai dan segera menangkapnya dengan tangan kirinya yang bebas.
Dengan sisa tenaga yang hampir habis, Arfan menarik tubuh Fatimah ke tepian sungai yang dipenuhi oleh lumpur hitam dan dedaunan busuk. Ia membaringkan Fatimah di atas tanah, lalu jatuh terduduk di sampingnya dengan napas yang memburu seperti orang yang baru saja berlari maraton.
Arfan menatap wajah Fatimah yang kini tertutup oleh helai kain hitam yang menempel erat karena air, ia merasa sangat khawatir jika wanita itu berhenti bernapas. Ia ragu untuk melakukan pertolongan napas buatan karena ia sangat menghormati prinsip kesucian yang dijaga oleh Fatimah selama ini.
"Fatimah! Bangunlah! Jangan menyerah sekarang, kita sudah berhasil lolos dari mereka!" Arfan menepuk bahu Fatimah dengan cemas.
Fatimah terbatuk keras, mengeluarkan air sungai dari paru-parunya sambil mencoba menghirup udara malam yang lembap dengan rakus. Ia membuka matanya dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Arfan yang dipenuhi luka goresan dan darah, namun menatapnya dengan penuh kelembutan.
Untuk sesaat, mereka kembali terjebak dalam keheningan yang canggung, saling menatap dalam kondisi yang paling rapuh dan tidak berdaya. Arfan merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya, bukan karena takut, melainkan karena rasa tanggung jawab yang kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.
"Tuan Arfan, luka di kepalamu... itu terlihat sangat parah dan sangat mengerikan," ucap Fatimah dengan suara yang sangat parau.
"Ini hanya luka kecil, yang penting kau selamat dan rahasia itu masih tetap berada di tangan kita," jawab Arfan sambil mencoba tersenyum pahit.
Arfan bangkit berdiri meski kakinya masih sangat perih, ia menyadari bahwa mereka belum sepenuhnya aman karena para pemburu pasti akan menyusuri sungai. Ia melihat ke arah hutan yang lebih gelap di depan mereka, sebuah wilayah yang tidak dikenal yang mungkin menyimpan bahaya lain yang tidak kalah mematikan.
Tangan Arfan gemetar saat ia menyeka darah di wajahnya, ia sadar bahwa malam ini hanyalah awal dari perang panjang yang sesungguhnya.
"Kita harus segera menemukan tempat berteduh sebelum fajar tiba dan mereka bisa melihat jejak kita dengan lebih jelas," kata Arfan sambil mengulurkan tangan.
Fatimah ragu sejenak, namun ia akhirnya menerima uluran tangan Arfan untuk membantunya berdiri di atas tanah yang licin dan tidak stabil itu. Mereka mulai melangkah lagi ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan aliran sungai yang menjadi saksi bisu pertaruhan nyawa yang baru saja terjadi.
Tiba-tiba, dari arah semak-semak di depan mereka, terdengar suara tarikan pelatuk senjata yang sangat akrab di telinga mereka.
"Berhenti di sana atau aku akan membuat lubang baru di punggung kalian berdua!" sebuah suara dingin muncul dari balik pohon besar di depan mereka.
Arfan dan Fatimah membeku, mereka menyadari bahwa mereka bukan hanya dikejar dari belakang, melainkan sudah masuk ke dalam jebakan yang telah disiapkan di depan. Cahaya bulan yang muncul dari balik awan menyinari sosok yang berdiri di sana, sosok yang seharusnya tidak berada di tempat itu.
Luka tersembunyi yang selama ini disimpan rapat oleh Arfan seolah terbuka kembali saat ia melihat siapa yang memegang senjata itu.