"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Lelaki yang Kehilangan Harga Diri
Rudi menatap aspal basah di bawah kakinya dengan tatapan kosong. Helm di tangannya terasa berat, seberat langkah kakinya menuju rumah kontrakan petak di gang sempit daerah Jakarta Timur itu.
Biasanya, ia pulang naik motor matic cicilan yang sudah menemaninya tiga tahun terakhir. Tapi sore ini, di perempatan lampu merah, dua orang berbadan tegap dengan surat tugas dari leasing memaksanya turun. Motor itu ditarik. Cicilan nunggak tiga bulan adalah dosa yang tak terampuni di mata perusahaan pembiayaan.
Rudi terpaksa pulang jalan kaki sejauh lima kilometer.
"Ayah pulang..." ucapnya lirih saat membuka pintu triplek yang catnya sudah kusam.
Tidak ada sambutan hangat.
Di ruang tengah yang sempit—yang juga berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tidur anak—istrinya, Sari, sedang menggendong anak bungsu mereka yang baru berumur dua tahun. Si kecil menangis rewel, suaranya serak seperti kehabisan tenaga.
Sari menoleh, matanya bengkak. "Mas... mana motornya? Kok nggak kedengeran suaranya?"
Rudi membeku di ambang pintu. Jantungnya serasa diremas. Ia menaruh helm di atas meja plastik. Helm itu sekarang benda tak berguna.
"Ditarik, Bu," jawab Rudi pelan, nyaris tak terdengar.
Hening. Tangisan si kecil terdengar makin nyaring memecah kesunyian itu. Sari tidak marah. Tidak berteriak. Wanita itu hanya merosot duduk di lantai, menutupi wajahnya dengan satu tangan sambil tetap mendekap anaknya. Reaksi itu justru lebih menyakitkan bagi Rudi daripada amukan. Itu adalah reaksi keputusasaan.
"Susu Dika habis, Mas," isak Sari pelan. "Aku tadi mau ngutang di warung Bu Haji, tapi udah nggak dikasih. Utang bulan lalu belum lunas."
Rudi merogoh saku celana jeans-nya yang sudah belel. Hanya ada uang kertas dua ribu rupiah yang lecek dan beberapa koin receh. Sisa uang parkir dan rokok ketengan.
Ia adalah kepala keluarga. Mantan kepala gudang pabrik tekstil yang disegani karena ketelitiannya. Tapi sejak pabrik itu bangkrut karena kalah saing dengan barang impor enam bulan lalu, Rudi hanyalah pengangguran berusia 38 tahun. Umur "tanggung" yang ditolak di mana-mana.
"Besok... besok Mas cari lagi ya, Bu. Mas janji," Rudi mendekat, mencoba mengelus bahu istrinya, tapi tangannya gemetar.
Sari menepis pelan. "Cari ke mana lagi, Mas? Lamaranmu ditolak semua. Kontrakan udah ditagih kemarin. Sekarang motor hilang. Kita mau makan apa besok? Batu?"
Kata-kata itu menampar Rudi lebih keras dari pukulan fisik. Harga dirinya sebagai laki-laki, sebagai suami, dan sebagai ayah, hancur lebur malam itu.
Rudi mundur. Ia keluar dari rumah, duduk di teras kecil yang gelap. Ia tidak berani melihat wajah anak istrinya. Dirogohnya saku, mengambil sebatang rokok terakhir yang patah di tengah. Ia menyulutnya, mengisap dalam-dalam asap kepahitan itu.
"Tuhan," bisiknya pada asap yang mengepul. "Kalau memang nggak ada rezeki buat saya, ambil nyawa saya nggak apa-apa. Tapi tolong... jangan biarkan anak saya kelaparan."
Keesokan paginya, Rudi keluar rumah sebelum matahari terbit. Ia tidak pamit pada Sari karena malu. Ia berjalan kaki tanpa tujuan, menyusuri kawasan industri, berharap ada keajaiban.
Ia mencoba melamar jadi kuli panggul di pasar, tapi ditolak karena "sudah penuh".
Ia mencoba melamar jadi tukang cuci piring di restoran, ditolak karena "terlalu tua".
Menjelang siang, perut Rudi melilit hebat. Ia belum makan sejak kemarin sore. Ia berhenti di depan sebuah tiang listrik di dekat halte bus yang sepi, berniat istirahat sebentar sambil menahan pusing.
Matanya menangkap selembar kertas HVS yang ditempel asal-asalan di tiang listrik itu. Kertas itu basah sisa hujan semalam, tapi tulisannya yang dicetak dengan tinta hitam tebal masih terbaca.
DICARI: KARYAWAN
(Posisi Apa Saja)
Syarat:
Manusia hidup.
Jujur.
Sedang butuh uang (banget).
Ijazah & Umur GAK PENTING.
Datang langsung ke:
Ruko Jl. Merpati No. 88 (Bekas Gudang Tua)
Bertemu: Bapak Rian.
Rudi mengerutkan kening. Lowongan macam apa ini? Tidak ada nama PT, tidak ada logo perusahaan. Syaratnya pun konyol.
"Palingan penipuan MLM atau sindikat perdagangan orang," pikir Rudi sinis. "Atau rentenir berkedok kerjaan."
Ia hendak memalingkan wajah, tapi perutnya kembali berbunyi. Bayangan wajah anaknya yang menangis minta susu kembali menghantui. Bayangan istrinya yang putus asa.
Rudi menatap kertas itu lagi. "Syarat nomor 3: Sedang butuh uang banget."
"Gue nggak punya apa-apa lagi buat ditipu," gumam Rudi getir. "Ginjal pun kalau laku gue jual."
Dengan langkah gontai dan tenaga tersisa, Rudi merobek kertas alamat itu. Ia berjalan menyeret kakinya menuju Jalan Merpati. Jaraknya dua kilometer dari sini.
Ia tidak tahu bahwa keputusan nekatnya siang itu bukan hanya akan mengembalikan motornya, tapi akan mengubah nasib keluarganya sampai tujuh turunan.
Rudi melangkah menuju takdirnya.