NovelToon NovelToon
You Can Run, But You'Re Still Mine

You Can Run, But You'Re Still Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Dark Romance
Popularitas:31.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.

Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.

Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.

Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Slow-Cooked Love

Sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah lama itu.

Bangunan yang beberapa waktu lalu didatangi Raska. Tempat yang kini hanya ditinggali Mang Udin, istrinya Bik Uci, dan anak mereka.

Rumah yang dulu penuh tawa, suara langkah kecil Raska, suara ibunya memanggil dari dapur, dan senyum yang pernah Nata pikir akan abadi.

“Pak Nata,” sapa Mang Udin pelan, menunduk hormat saat kaca mobil terbuka.

Nata hanya mengangguk kecil.

Tanpa sepatah kata, Mang Udin bergegas membuka gerbang. Mobil itu melaju perlahan memasuki pekarangan.

Tangan Nata mencengkeram setir lebih erat dari yang ia sadari. Bayangan-bayangan lama menyerbu tanpa izin.

Tawa Raska kecil yang berlarian di halaman.

Istrinya yang berdiri di teras, tersenyum sambil mengibaskan tangan.

Lalu—

Raska yang histeris di tengah kamar, memanggil ibunya yang tak lagi bernapas. Tangisan yang tak pernah benar-benar pergi dari ingatan.

Dan neneknya… membawa Raska pergi.

Semua terasa seperti belati. Menusuk satu per satu. Pelan. Dalam.

"Andai aku tak meragukannya," batinnya lirih.

"Dia pasti masih ada. Kami… pasti masih bahagia."

Mobil berhenti.

Pintu kayu jati itu terbuka. Bik Uci muncul, menunduk hormat saat Nata turun dari mobil.

Nata menatap rumah itu lama.

Tujuh tahun.

Tujuh tahun ia memilih tinggal di rumah lain yang lebih kecil, lebih sunyi, hanya agar Lisa dan Roy tidak mengisi rumah ini.

Rumah yang menjadi saksi awal dan akhir kebahagiaannya bersama anak dan istrinya.

Saat Nata hendak melangkah masuk, suara Bik Uci menahannya.

“Pak…” ucapnya ragu. “Beberapa waktu lalu… Nak Raska pulang.”

Langkah Nata terhenti. “Apa?”

Suaranya datar, tapi ada getaran kecil yang tak bisa disembunyikan.

“Iya, Pak,” jawab Bik Uci pelan. “Saya hampir tidak mengenalinya.”

Nata menoleh. “Apa yang dia lakukan?”

“Nak Raska langsung masuk ke kamar ibunya.”

Nata membeku. Matanya melebar sesaat, lalu kembali datar. Ia tahu betul. Trauma Raska bermula dari sana.

Bik Uci menghela napas pelan. “Dia sempat terduduk di lantai, Pak… di tempat ibunya meninggal.”

Hening jatuh berat.

“Setelah itu,” lanjut Bik Uci, suaranya bergetar, “dia meletakkan bros berbentuk hati milik ibunya… lalu pergi. Tanpa berkata apa-apa.”

Nata menutup matanya. Bukan lama. Hanya satu tarikan napas.

Bros itu.

Ia ingat. Hadiah dari neneknya Raska.

Saat membuka mata kembali, wajahnya sudah terkunci rapi. “Terima kasih,” ucapnya singkat.

Ia melangkah masuk. Namun di dadanya, ada satu hal yang akhirnya tak bisa ia sangkal:

Anak itu tidak pulang untuk menuntut.

Ia pulang… untuk berpamitan.

Dan untuk pertama kalinya sejak tujuh tahun lalu, Nata merasa, ia terlambat.

Nata melangkah ke arah kamar itu. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, seolah takut membangunkan sesuatu yang sudah lama tertidur.

Pintu kamar terbuka. Udara di dalamnya berbeda. Lebih pengap. Lebih berat.

Kamar itu nyaris tak berubah.

Lemari kayu masih di tempatnya. Tirai krem masih menggantung, meski warnanya mulai pudar. Aroma samar, wangi dupa gaharu masih tertinggal, entah nyata atau hanya ingatannya yang menolak pergi.

Pandangan Nata jatuh ke lantai.

Tempat itu. Tempat di mana istrinya terbaring tujuh tahun lalu.

Dadanya mengeras.

Ia melangkah mendekat, lalu berhenti. Lututnya tak sampai menyentuh lantai. Nata bukan tipe pria yang runtuh begitu saja. Ia hanya berdiri menatap kosong, tangan mengepal di sisi tubuh.

Di atas meja rias, disamping foto anak dan istrinya, ada sesuatu yang membuat napasnya tersendat.

Sebuah bros berbentuk hati. Diletakkan rapi.

Jarinya gemetar tipis saat meraihnya.

"Raska meletakkannya di sini.

Anak itu kembali ke tempat paling menyakitkan dalam hidupnya… hanya untuk mengembalikan kenangan terakhir ibunya."

Nata menelan ludah.

"Dia masuk ke neraka kecilnya sendiri," pikirnya. "Dan aku… tidak ada di sana."

Kursi tua di sudut kamar berderit pelan saat akhirnya ia duduk. Bahu Nata sedikit merunduk, hanya sedikit, hampir tak terlihat.

“Aku gagal,” ucapnya lirih.

Bukan pada siapa pun. Bukan pada Tuhan. Pada dirinya sendiri.

Tangannya mengusap wajah, lalu berhenti di dahi. Lama.

Tak ada tangis. Tak ada isak. Hanya rasa sesak yang tak menemukan jalan keluar.

Ia teringat Raska kecil yang selalu memeluk ibunya dari belakang, mengecup pipinya.

Teringat istrinya yang tersenyum setiap kali berkata, “Anak kita kuat, Pa.”

Kuat.

Nata tertawa kecil tanpa suara. “Kuat… karena dipaksa,” gumamnya.

Ia berdiri kembali, meletakkan bros itu persis seperti semula. Ia menatap foto istrinya yang memeluk Raska dengan senyum lebar.

“Ma, maaf…” kata itu hampir tak terdengar.

“Aku meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama wanita itu, bukan karena hatiku telah berpindah.”

Napasnya tersengal. “Aku hanya mengontrolnya… agar dia tak bisa menyakiti putra kita.”

Tangannya mengepal. “…agar luka itu tidak terulang.”

Nata berbalik pergi.

Saat hendak keluar, pandangannya sempat tertahan pada ranjang itu. Dan untuk sesaat, hanya sesaat, ia hampir berharap waktu bisa mundur.

Namun pintu tetap tertutup. Kenangan tetap tinggal. Dan Raska… tetap pergi.

Nata keluar dari kamar itu dengan langkah tegak. Namun satu hal kini jelas baginya:

Jika suatu hari Raska benar-benar tak kembali, itu bukan karena dendam.

Melainkan karena ayahnya terlalu lama memilih diam.

***

Elvara berdiri di depan wastafel. Wajahnya pucat, kedua tangannya bertumpu pada tepi keramik dingin. Mual di pagi dan malam hari sudah menjadi rutinitas, namun ia tetap memaksakan diri membantu ibunya.

Setelah rasa pahit di tenggorokannya mereda, ia melangkah ke dapur.

Elda yang sedang mengupas bawang menoleh. “Wajahmu pucat, Ra,” ujarnya cemas. “Gak usah nolongin ibu. Istirahat saja.”

Elvara menggeleng pelan, lalu duduk di dekatnya. “Gak apa-apa, Bu. Tiap hari juga begini.”

Elda menarik napas panjang. “Ra… membesarkan anak sendirian itu nggak mudah.”

Ia terdiam sejenak, jemarinya berhenti mengupas.

“Apalagi nanti… saat dia mulai besar. Saat rasa ingin tahunya muncul. Dia akan bertanya—”

Kalimat itu menggantung. Elda segera tersenyum tipis, seolah menepis ucapannya sendiri. “Ah, sudahlah.”

Ia menepuk bahu Elvara pelan.

“Kamu fokus saja kuliah dan kandunganmu. Ibu yang urus jualan.”

Nada suaranya dibuat ceria.

“Di sini banyak orang Indonesia. Dagangan ibu laris. Alhamdulillah.”

Elvara hanya tersenyum tipis.

Elda terkekeh kecil, seperti mengingat sesuatu.

“Kemarin ada bule yang makan bakwan,” katanya, semangat.

“Dia nanya ini isinya apa. Ibu bilang sayur. Dia bilang rasanya kayak… hug from grandma.”

Elvara nyengir tipis.

“Ibu gak ngerti maksudnya,” lanjut Elda sambil tertawa kecil, “tapi dia beli dua lagi.”

Lalu Elda menambahkan, sudut bibirnya terangkat,

“Terus ada bule tinggi banget beli rendang.”

“Baru satu suap, dia langsung berhenti ngunyah. Matanya melotot.”

Elvara mengangkat wajah sedikit.

“Ibu panik,” kata Elda terkekeh.

“Ibu kira kepedesan. Ibu sampai siapin air.”

Ia menggeleng kecil, geli mengingatnya.

“Ternyata bukan. Dia bilang… this is dangerous food.”

“Kenapa?” tanya Elvara pelan.

“Katanya enak banget,” jawab Elda.

“Dagingnya empuk, bumbunya nempel, pedesnya nyusul belakangan. Dia bilang ini bukan sekadar makanan. Ini… slow-cooked love.”

Elda tertawa pelan.

“Terus dia nanya ibu masaknya berapa lama. Pas ibu bilang berjam-jam, dia langsung bilang, no wonder it tastes like home.”

Nada itu hangat. Hidup. Seolah segalanya baik-baik saja. Namun senyum Elda meredup perlahan. Matanya melayang ke luar jendela. Ke langit yang asing.

Tanah ini memberinya makan. Tapi bukan rumah.

Elvara kembali menunduk, mengupas bawang.

Air mata menetes. Tak jelas karena perih, atau karena kata 'home' yang terlalu dekat dengan luka.

...🔸🔸🔸...

...“Tidak semua yang pergi ingin dilawan....

...Sebagian hanya ingin dikenang… tanpa ditahan.”...

...“Ada cinta yang dimasak perlahan....

...Ada pula yang hangus… karena terlalu lama diam.”...

..."Nana 17 Oktober"...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Dek Sri
semoga elvara dan raska suatu hari bersatu
Wardi's
wajib lanjut sih thor... makin seru nih...
Wardi's
ach gk rela klo vara sm adrian...
Wardi's
ko dr adrian ikut... ngapain??
Eka Burjo
iiihhh gemesnyaaa👌👌👌👌🫩🫩☹️☹️☹️
Puji Hastuti
Masalah harus di selesaikan vara, semoga kalian bahagia
Wardi's
ach tidaaaak... asli deg2an bacanya..
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Lagi Kak Nana... 😁😁😁🙏

Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Iya, Belum Waktunya kalian Bertemu... Sabar saja... Dan, ketika Waktu itu datang... Kamu pasti akan pangling melihat Raska Yang Sekarang Elvara... 😁😁😁 dia "Raska" kini, sudah menjadi Tentara... Sesuai Yang di inginkan oleh ibumu Elvara 😂😂😂 Jadi, Tunggu lah Waktu itu datang, ya... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Itu Elvara Rasaka... Itu Elvara... Dia kembali! 😁😁😁
Endang Sulistiyowati
Hah nyaris tipis...padahal reaksi tubuh saling mengenali. Bangganya nanti Rava punya ayah seorang Kapten. pasti langsung keterima sama Bu Elda. Ga tau lah Elvara mau kemana arahnya.

Kak, up lagi donk 🤭
Fadillah Ahmad
itu Pasti Raska, kan kak Nana? Mungkin Baru Pulang Dinaa, Dari Papua, Mungkin ya? 😁😁😁
tse
kata2 mutiaramu ka. ...
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Fadillah Ahmad
Iya, Waktu itu, telah tiba Elvara. Ksmu sudah tidak bisa menghindar lagi, sudah bertahun-tahun kamu menghindar Elvara. Sekarang lah Saatnya kamu kembali... Dan menyelesaikan masalahmu yang telah lama tertunda sejak Remaja itu. Pulanglah... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Harus itu, bukan kah... Kata orang tua, dulu-dulu, laki-laki itu harus kuat, nggk boleh Nangis, kan.

Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏

Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
Hanima
lanjut Rasss
Fadillah Ahmad
Iya Sayang, Papa kamu harus di Cari dulu di Penjuru kota Jskarta... Atau bahkan Ke Seluruh indonesia, Sayang... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Iya Rava... Benar, Papa kamu lagi dinas, jadi belum bisa bertemu denganmu... Tunggu lah sanpai Papamu mendapat Cuti dulu ya nak, yaaa setidaknya 6 bulan sekali lah kalian bisa bertemu 😁😁😁 Soalnya Ayah kamu kan Tentara. Ayahmu juga Dinas 😁😁😁🙏
Felycia R. Fernandez
hampir saja mereka berjumpa... dengan Elvara yang sudah berubah dari Gasekil menjadi si singset...
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??
Felycia R. Fernandez
aku juga nahan nafas 😳😳😳😳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!