NovelToon NovelToon
DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Suami Tak Berguna / Selingkuh
Popularitas:10.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"

"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."

"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"

Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RUMAH DUA LANTAI

Cahaya pagi menerobos jendela kamar, aku mengerjap kemudian terbangun setelah malam panjang aku lewati dengan segala pemikiran. Pemikiran tentang ucapan Mas Pandu yang terkesan tak ada beban dan perkataan Viona yang terdengar tak ada kebohongan, kedua hal itu membuatku susah untuk memejamkan mata semalam. Bahkan, setelah adzan subuh mataku baru bisa terpejam.

Kusingkirkan tangan Mas Pandu yang masih melingkar di pinggang, kemudian aku segera bangkit menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Tok tok tok, saat tanganku hendak menyalakan kompor, terdengar suara pintu dapur diketuk dengan lembut beberapa kali.

Tanpa membukanya pun aku sudah bisa menebak siapa yang datang.

Gadis kecil bernama Zahra yang selalu membuat senyumku mengembang ketika bersamanya itu lah yang sudah barang tentu ada di balik pintu berbahan kayu itu.

Pelan, aku melangkah, sedikit mengendap untuk menggodanya agar terkejut. Aku mengintip dari balik jendela kaca kecil yang ada di sebelah pintu dan benar apa dugaanku. Cucu perempuan Bude Ayu itu sedang berdiri di balik pintu sambil memeluk boneka lebah kesayangan. Rambutnya yang hitam dan ikal dikuncir dua.

Membuatnya terlihat semakin terlihat cantik dan menggemaskan.

Dengan hati-hati aku membuka pintu.

"Dorrr!" kejutku setelah pintu sedikit terbuka.

"A...." Ia berteriak dan sedikit terlonjak, kaget.

"Bunda, kaget," keluhnya manja seraya mengerucutkan bibirnya lucu lalu bergegas memunggungiku. Aku tahu, dia sedang kesal padaku.

Dia memang bukan anakku namun sudah biasa memanggilku bunda dan Mas Pandu ayah.

Segara aku membungkukkan badan menyamainya.

"Maaf," ujarku dengan nada yang kubuat semenyedihkan mungkin.

Mendengar itu, ia pun langsung berbalik badan dengan senyuman lebar lalu menghambur ke dalam pelukanku. Aku membalas dengan pelukan hangat.

Kudekap erat tubuh kecilnya seraya memejamkan mata kemudian mulai menghidu aroma minyak dan bedak khas bayi yang mampu menghadirkan desir hangat di dalam sini. Saat-saat seperti ini adalah saat yang paling membahagiakan bagi seorang wanita yang begitu mendambakan buah hati.

"Mau sarapan apa hari ini Anak Cantik? Tadi ke sini udah pamit sama nenek belum?" tanyaku setelah mengurai pelukannya. Ya, pertanyaan itulah yang aku selalu ucapkan setiap kali ia datang ke rumah.

Zahra adalah anak dari adik misanku, Mia, yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak dari Bude Ayu--kakak dari ayahku. Zahra diurus oleh Bude Ayu karena Mia--ibu kandungnya telah tutup usia ketika ia masih berusia 1 tahun akibat penyakit kanker, sedangkan ayahnya menikah lagi setelah satu tahun kepergian Mia dan hingga kini, hingga Zahra sudah berusia 4 tahun ia tak pernah menemuinya lagi. Mungkin karena sudah sibuk dengan keluarga barunya yang kabarnya ada di luar Jawa.

Sebenarnya aku berencana untuk mengadopsi Zahra, terlebih setiap kali aku melihat Bude Ayu yang semakin hari terlihat semakin menua, rasa iba terus menyiksaku. Namun, Mas Pandu beserta keluarga belum menyetujuinya.

Mas Pandu khawatir jika aku mengadopsi Zahra akan membuatku berada di zona nyaman lantas mengesampingkan keinginan kami untuk segera memiliki momongan.

"Udah," jawabnya seraya menganggukkan kepala.

"Zahra mau nasi goreng," lanjutnya dengan antusias.

"Oke, sekarang Zahra duduk, ya," ucapku lalu menggandengnya menuju meja makan.

Setelah Zahra duduk di meja makan, aku pun kembali ke dapur. Tak mau membuang waktu karena jam sudah menunjukkan waktu sarapan maka dengan cepat menyiapkan segala bahan beserta bumbu.

"Hai, Anak Cantik." Suara Mas Pandu terdengar menyapa Zahra kemudian sedikit menggodanya.

Tanpa sadar kedua sudut bibir ini mengembang. Senyumku selalu tersungging setiap kali mendapati kedekatan Zahra dan Mas Pandu. Dalam hati aku selalu berdoa, semoga suatu saat nanti hati Mas Pandu luluh dan kami bisa menjadi keluarga sesungguhnya.

"Aku bisa bantu apa, Mai?" tanya Mas Pandu yang tiba- tiba sudah berdiri di sebelahku. Seketika pertanyaan Mas Pandu menarik kembali pikiranku ke alam sadar.

Kutatap sekilas Mas Pandu dengan senyum sinis. Tak biasanya dia menawarkan bantuan kala aku sedang berjibaku di dapur. Rasa curiga pun kembali datang tiba-tiba karena selama ini mengupas bawang pun hanya ia lakukan ketika ada maunya saja, entah meminta haknya sebagai suami atau pinjam uang yang akhirnya lolos tak kembali.

"Jangan banyak bersandiwara, Mas. Apa maumu?"

tanyaku to the poin seraya memasukan bumbu halus ke dalam minyak yang terlihat sudah mengepul.

"Kok gitu, Sayang. Jangan gitu, lah, kesannya kamu tu menilai aku baik kalau ada maunya aja."

Aku tersenyum remeh. "Kan, emang seperti itu, Mas.

Maaf... tabunganku sekarang hanya untuk renovasi dan pengobatan. Jangan mengusik karena aku juga nggak pernah mengusikmu," tandasku.

Kebiasaan yang aku lakukan adalah bicara apa adanya tanpa basa-basi. Entah hal seperti ini merupakan sebuah kenyamanan sebagai pasangan atau kegeraman. Tak jarang pula sindiran-sindiran kecil yang kubalut dengan candaan aku lontarkan saat suasana hati sudah menurun.

"Aku cuma mau bilang. Ibu sedang sakit. Butuh biaya karena harus ke spesialis," tukasnya.

Tanpa penjelasan pun aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan Mas Pandu.

Aku meletakkan spatula setengah melempar ke atas wajan yang masih mengepul panas, kumatikan kompor

dengan kasar lalu memutar badan ke arah Mas Pandu yang berdiri di belakangku. "Mas, kamu tau, kan, gajiku berapa? Makan, kebutuhan rumah tangga, pengobatan, semua aku yang urus. Kalau harus mengurus pengobatan ibu kenapa nggak Mbak Rani aja? Uang apa lagi kalau aku, Mas! Gantian lah!" ucapku meluapkan emosi dan kenyataan yang selama ini hanya bisa tersimpan di dalam hati.

"Maira! Pelankan suaramu. Zahra bisa denger. Kalau nggak mau ngasih nggak usah marah-marah! Mas cuma ngomong, nggak minta. Masih bagus Mas ngomong," kilahnya dengan nada sedikit ketus.

"Kalau kamu nggak mau Zahra denger, mikir dulu sebelum ngomong, jangan mentang-mentang aku kerja kamu seenaknya!"

"Maira, selama ini aku pinjam bukan minta. Jangan sampai orang salah paham dengan ucapan kamu."

Kali ini aku sedikit terbahak. Rupanya suamiku ini benar-benar sudah lupa. Selama ini aku sudah cukup royal pada keluarganya. Sepertinya kali ini aku harus memberinya sedikit pelajaran agar tidak terus menerus bergantung padaku.

"Pinjam 2 juta kembali 1 juta maksudnya?" sindirku pada akhirnya, meluapkan segala isi hati yang sudah lama mengganjal di dalam sini.

"Halah kamu, tuh. Dulu jangan dibahas lagi, setelah ini Mas janji nggak akan pinjam-pinjam lagi."

"Kemarin Mas bilang punya tabungan di ATM, kan?! Kok sekarang bingung lagi? Atau tabungan itu sebenernya cuma akal-akalan Mas aja?" cecarku lagi.

"Ya, makanya denger dulu lah kalau suami lagi ngomong, Mas nggak mau pinjem uang, cuma mau bilang kita ke toko lain kali aja. Mas ke rumah Ibu dulu hari ini!" tutupnya lalu melangkah pergi.

Degh! Astaghfirullah, rupanya aku sudah masuk ke dalam perangkap, rupanya ia begitu lihai memasukkan orang ke dalam perangkap. Tampaknya dia sengaja mencari alasan agar hari ini kami batal pergi ke toko bangunan. Kenapa aku baru sadar?

"Mas sengaja? Supaya kita nggak bisa ke toko bangunan sekarang, kan? Karena uang ayah sebetulnya sudah nggak ada?" Akhirnya aku bertanya saat Mas Pandu sampai di ambang pintu hendak keluar dari dapur.

Langkahnya terhenti seketika lalu ia pun berbalik ke arahku.

"Apa maksudmu, Maira?!" tanya Mas Pandu dengan mata menyipit kemudian melangkah cepat ke arahku, kilat kemarahan tampak jelas di mata bermanik hitam legam itu.

Aku menghela napas. "Kita ke toko dulu, baru ke rumah ibu, aku ikut." Akhirnya aku memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan saat aku teringat bahwa di luar sana ada anak kecil yang tak tahu apa-apa sedang menunggu dan bisa saja mendengar perdebatan kami jika diteruskan.

"Kamu, tuh, uang terus yang kamu pikirkan. Orang tua nggak pernah kamu pikirkan! Aku nggak mau ke toko bukan karena ingkar janji tapi mau jenguk ibuku, Maira!"

Mas Pandu mengeraskan suara. Kini, dia mulai tak terima meski aku sudah berusaha menutup perdebatan dengan jalan tengah yaitu tetap ke rumah ibu tapi juga tetap pergi ke toko bangunan.

"Terus apa salahnya jenguk mertua? Dan apa maksud, Mas? Nggak mikir?! Mas lupa berapa banyak yang sudah aku berikan? Bisa-bisanya ngomong kayak gitu?!" Rasa kecewa kian mendera. Selama ini aku berusaha menjadi menantu dan istri yang baik bagi mereka namun kata-kata Mas Pandu seolah menampik semua pengorbananku.

"Ayah, Bunda ... jangan bertengkar." Suara memilukan Zahra membuat mulut kami seketika terkatup rapat.

Aku berlari menghampiri gadis kecil yang berdiri di batas pintu dengan mata berkaca itu, kemudian membawanya dalam gendongan. Penyesalan pun menyusup ke dalam dada. Seharusnya aku bisa mengendalikan diri seperti biasa, setidaknya di hadapan Zahra.

Seraya mendekap Zahra aku melirik sekilas ke arah Mas pandu masih dengan perasaan kesal. Di dekat wastafel, Mas Pandu tampak mengusap wajahnya kasar. Lalu berdecak, detik selanjutnya ia bergegas melangkah mendekat ke arah kami.

"Zahra, Sayang. Ayah dan Bunda bukanya sedang bertengkar. Ayah dan Bunda hanya sedang mencari solusi karena ingin mengajak Zahra liburan bulan depan. Bunda mau ke pantai dan Ayah pengennya ke mall. Zahra maunya ke mana?" Seraya mengusap kepala Zahra dengan pelan Mas Pandu berujar dengan nada yang begitu lembut. Aku tahu, Mas Pandu sedang mencoba untuk menenangkan

Zahra, agar ia tak lagi ketakutan dan kejadian barusan tidak membekas dalam ingatan Zahra.

Seketika, wajah Zahra yang sebelumnya terlihat sendu berubah berbinar begitu mendengar ucapan Mas Pandu.

Zahra segera mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan. Tak bisa aku pungkiri, cinta Mas Pandu terhadap Zahra tak ubahnya seperti cinta seorang ayah pada anaknya. Tutur kata dan perlakuannya yang begitu lembut terhadap Zahra mampu membuat anak 4 tahun ini selalu terlihat nyaman jika sedang bersama Mas Pandu. Rasa sayang Mas Pandu pun begitu besar. Ia bahkan tak pernah mengijinkan ada perdebatan terjadi di hadapan Zahra. "Beneran, Yah? Zahra mau ke Mall, ke Time zone, Yah," jawabnya dengan senyum sumringah.

"Oke, nanti kita ke mall, ya." Mas Pandu meraih Zahra dari rengkuhanku. Dengan senyuman lebar Zahra bergelayut manja di pundak Mas Pandu. Melihat pemandangan seperti ini membuat hatiku hanyut dalam penyesalan.

Setelah Zahra lebih tenang. Mas Pandu melirik tajam ke arahku.

"Jangan pernah kamu ulangi apa yang baru saja kamu lakukan, Maira! Semua uang yang pernah aku pakai akan aku kembalikan besok!" bisiknya mengancamku seraya menunjuk ke arahku, nadanya pun begitu penuh penekanan sebelum akhirnya membawa Zahra pergi ke ruang tamu.

Aku masih mematung di tempatku dengan tangan yang mengepal erat. Berbagai rasa membaur dan bergejolak di dalam sini. Apa begini nasib wanita? Selalu dipersalahkan setiap kali melawan meski secara logika benar? Tidak, Mas Pandu, aku sudah mengalah selama ini, aku tak pernah berkata tidak padamu. Sekarang, kamu harus sadar batasan-batasanmu. Karena kesabaranku nyatanya tak mampu membuatmu mengerti dan paham.

***

Usai sarapan pagi, akhirnya dengan wajah yang terlihat masih masam, Mas Pandu benar-benar mengantarku ke toko bangunan seperti janjinya semalam. Rasanya aku sudah tak sabar melihat wajahnya ketika semua terbongkar nanti. Ya, sebelum berangkat aku memastikan lagi pada Viona melalui telepon dan dia bersumpah bahwa apa yang dia katakan adalah benar adanya.

"Apa yang akan kamu beli? Sudah kamu pikirkan belum?" tanya lelaki dengan wajah kesal tanpa gairah yang duduk di depan kemudi.

"Besi," jawabku cepat. Sejujurnya, aku sendiri kurang begitu tahu masalah bangunan, tapi setidaknya aku punya tujuan hari ini sehingga tidak terkesan mencurigakan.

Hening menjeda cukup lama. Hingga akhirnya setelah kami sampai di lampu merah pertama, Mas Pandu kembali membuka suara.

"Maira, Mas bukannya melarang untuk nyicil-nyicil. Mas harap kita bisa langsung finishing, maaf kalau akhirnya kamu harus menunggu lama." Aku terperangah oleh ucapan Mas Pandu. Ini adalah kali pertama kudengar Mas Pandu meminta maaf dan ini benar-benar membuatku merasa... entah.

"Aku nggak apa-apa, kok, Mas, lagian Mas kan juga masih punya cicilan mobil. InsaAllah aku ada tambahan dari komisi jualan online, kalau gaji sih selama pengobatan masih lanjut aku udah nggak ada sisa. Uang bulanan dari Mas...." Ucapanku terjeda ragu. Namun dia segera mengangguk, seolah tahu apa yang hendak aku tanyakan yaitu perihal jatah satu juta yang aku suruh simpan untuk keperluan mendadak.

Kini, satu tangan itu mengusap wajah, tampak raut kegelisahan sekaligus entah, yang jelas dia terlihat tidak seperti biasa. Entah perasaanku saja atau memang ada yang sedang dia sembunyikan. Aku tak tahu.

"Mas bisa punya tabungan dari mana? Bukannya semua udah mepet? Dan tadi Mas transfer beneran ke rekeningku, jumlahnya lumayan banyak juga?" Pertanyaan yang mengganggu pikiran, aku keluarkan satu per satu. Aku tak mau berprasangka semakin jauh yang bisa saja menimbulkan dosa. Namun, setelah notifikasi dana masuk aku terima beberapa menit yang lalu. Aku semakin tak tenang. Ia benar-benar mengirim uang seperti janjinya.

"Maira, kalau Mas bilang Mas ada kenaikan gaji apa kamu percaya? Apa yang akan kamu lakukan dan kamu mau dikasih jatah berapa?"

Aku mengerutkan dahi, aneh. Tak biasanya Mas Pandu begitu memberi kelapangan nafkah terhadapku, mungkinkah ini jebakan lagi? "Selama gajiku cukup, biarlah uang itu ditabung saja, Mas. Untuk hari tua kita yang bukan seorang pegawai negeri, aku nggak mau di hari tua kita nanti menyusahkan anak, Mas," jawabku apa adanya.

Aku sadar kami bukan pegawai negeri yang ketika tua menyapa tetap digaji, namun aku juga tak ingin berpangku tangan mengandalkan atau merepotkan anak sendiri. Bukankah anak saja kami belum diberi? Bagaimana bisa berpikir untuk menggantungkan diri?

Saat kalimatku terhenti tiba-tiba tangannya terulur meraih kepalaku lalu membawanya mendekat ke arah dada dan di detik selanjutnya kecupan singkat mendarat di pucuk kepala.

Meskipun hanya sekilas namun aku bisa merasakan, kecupan kali ini sedikit berbeda. Kecupan ini tak biasa, seolah mengisyaratkan hal yang aku sendiri tak bisa merabanya. Sekilas, namun terasa begitu dalam dan lembut. Seolah menyimpan makna entah apa. Perlahan aku menarik diri.

"Mas, hati-hati, nyetir," tegurku pada Mas Pandu ketika ia terlihat melamun.

"Ada apa, Mas? Apa yang sedang Mas sembunyikan?"

Naluriku sebagai wanita yang cukup lama

membersamainya mulai berkata dan semakin yakin bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Nggak apa-apa, cuma kenapa semakin hari Mas semakin nggak bisa jauh-jauh dari kamu, ya, Mai?"

ujarnya setelah menghela napas.

Aku mencebikkan bibir, gombalan itu kuanggap sebagai rayuan, sebab, dia telah melakukan kesalahan yang hanya dalam hitungan menit saja akan terbongkar. Sepertinya ia mencoba merayu agar aku memaafkannya lagi. Namun, kali ini tampaknya dia sudah salah strategi.

"Kenapa?" tanyanya dengan dahi berkerut ketika melihat bibir ini refleks tersenyum kecut.

"Gombal! Eh, di depan ada toko bangunan, berhenti, Mas!" seruku saat sebuah banner toko terbaca olehku. Mas Pandu pun segera meminggirkan mobil lalu memarkirnya di bahu jalan.

Namun, lagi-lagi aku dibuat terkejut olehnya. Ketika aku hendak keluar dan sudah memegang handle pintu, tangannya kembali meraih dan menggenggam erat tanganku, sontak aku menoleh ke arah lelaki itu.

Sekarang ia mulai menatapku, tatapan dengan sorot begitu dalam membuat hatiku tak karuan. Dengan cepat aku manarik paksa pikiran dari tatapan yang sanggup membuat jantungku berdebar tanpa jeda itu. Aku harus sadar agar tak jatuh pada kubangan rasa yang akhirnya membuatku lemah kemudian dengan mudah memaafkan. Lagi dan lagi.

"Kenapa, Mas? Ayo masuk." Aku berucap seraya menarik tanganku dari genggamannya. Selain tak mau jatuh dalam ketidak berdayaan sebuah cinta yang tak berlogika, ini juga tempat umum bahkan di luar sana terlihat seorang karyawan toko sedang melihat ke arah kami.

Sejak dulu Mas Pandu selalu berkata, bahwa terlalu memperlihatkan kebahagiaan rumah tangga di depan umum itu tidaklah baik karena sejatinya di luar sana lebih banyak orang yang justru tidak menyukai kebahagiaan orang lain dibanding yang menyukainya.

Aku setuju dengan pemikiran tersebut. Terkadang perselingkuhan terjadi juga karena rasa ingin seseorang

Seperti orang lain yang terlihat dibahagiakan oleh pasangan maka pandai-pandai menyimpan kebahagiaan jauh lebih baik agar orang lain tak iri lalu berusaha merebut karena ingin memiliki. Tapi sikap Mas Pandu kali ini bertolak belakang dengan Mas Pandu yang aku kenal.

"Maira, jangan pernah tinggalkan Mas." Ucapan Mas Pandu yang lagi-lagi terkesan berlebihan itu nyatanya mampu membuatku kembali menutup pintu yang sudah hampir terbuka. Aku kembali menatap Mas Pandu, kali ini lebih lekat.

"Kamu itu kenapa, Mas? Bukankah kita sudah sepakat, selama nggak ada orang ke tiga semua masih bisa dibicarakan? Kamu nggak sedang

"Hem, thanks. Kalau gitu kita masuk, Mai," selanya memotong ucapanku kemudian membuka pintu dan bergegas keluar seolah sedang mengalihkan pembicaraan. Aku mendengkus kesal namun mau tak mau aku tetap mengikutinya keluar dari mobil karena dia sudah berdiri di sebelahku membukakan pintu.

Berdua, kami melangkah masuk ke dalam toko bangunan yang cukup besar. Tangannya kembali meraih tanganku. Ya, lagi-lagi dia bersikap tak biasa, genggamannya begitu erat. Ada apa gerangan? Apakah dia sudah merasa bahwa semua kebusukannya akan berakhir hari ini? Sehingga dia bersikap sedemikian rupa?

Seorang karyawan menghampiri kami dan dengan ramah bertanya apa yang kami butuhkan.

"Kami butuh bahan untuk rumah dua lantai berukuran 7x14 meter." Mas Pandu berujar begitu santai dan tercengang lah aku dibuatnya. Dua lantai? Apa ini?

Seketika tubuhku menegang dan memanas. Uang dari mana dua lantai?

"Mas, dua lantai gimana maksudnya?" tanyaku lirih seraya menggoncang lengan Mas pandu pelan.

"Kita akan membuat dua lantai, Maira. Untukmu. Toh rumah itu nggak terlalu besar jadi lebih baik dibangun ke atas."

"Tapi...."

"Mari, Pak, silahkan ikut kami." Karyawan toko mempersilahkan kami untuk mengikutinya bahkan sebelum percakapan kami selesai.

Kami pun bergegas mengikuti karyawan laki-laki tersebut. Mas Pandu dengan langkah panjang penuh percaya diri, sedangkan aku dengan langkah ragu dan sejuta pikiran tak menentu.

"Rumah dengan satu lantai saja masih kurang dana, kenapa harus dua? Mungkinkah ini bentuk dari kemarahan Mas Pandu karena aku memaksa untuk membeli bahan bangunan hari ini?" Aku bermonolog dalam hati, sedangkan pandanganku tak lepas dari pria yang sedari tadi meminta banyak hal pada karyawan yang melayani kami.

"Mas Pandu!" gerutuku dalam hati seraya meremas tangan yang masih setia menggenggam erat tanganku.

"Arg ... kenapa?" sentaknya ketika tanpa sadar tanganku semakin kuat meremas tangannya dan menimbulkan sedikit goresan di bagian punggung tangan Mas Pandu.

"Dana berapa pakai ngomong rumah dua lantai!"

Bisikku lagi dengan penuh penekanan.

Dia tersenyum. "Tenanglah Maira, Mas yang akan pikirkan. Kamu cukup diam."

Kuhela napas dalam lalu tersenyum sabar.

Kami duduk di tempat yang sudah disediakan kemudian karyawan mulai memberi penjelasan berbagai produk terbaiknya. Di sampingku, Mas Pandu kembali membuat aku tercengang. Dengan enteng dan mudahnya dia memilih segala sesuatu bak kacang goreng. Aku hanya bisa menelan ludah dan terus mendengar segala permintaan Mas Pandu yang terkesan berlebihan.

Di akhir kesepakatan, Mas Pandu mengeluarkan kartu ATM kemudian bagian kasir segera menerimanya.

"Semua bahan akan dikirim secepatnya," ujar karyawan yang melayani kami setelah kasir mengembalikan kartu ATM Mas Pandu. Aku hanya terdiam sembari berpikir, dari mana Mas Pandu memenuhi ATM dengan begitu banyak uang?

"Maira, ayo pulang. Nggak usah ke rumah Ibu. Besok Mas akan mampir saja sepulang kerja," ucapnya lalu membawaku menuju ke mobil.

Mas Pandu duduk di depan kemudi, sedangkan aku segera duduk di sebelahnya seperti biasa namun rasanya tak biasa.

"Maira, kenapa?" panggilnya, membuatku tersadar dari lamunan sekaligus berbagai tanya yang mengganggu pikiran. Niatku ke sini untuk mencari pembuktian namun nyatanya semua tak sesuai harapan.

"Ya, Mas. Boleh aku tanya, Mas?"

"Ya."

"Dari mana Mas mendapat uang sebanyak itu?

Bukankah kita belum ambil uang Ayah? Mas... nggak pinjem bank, kan?" tanyaku pada akhirnya, ya, aku sudah tak bisa lagi menahannya. Biar bagaimanapun juga keterbukaan sangatlah penting dalam sebuah rumah tangga.

Aku tak ingin hidup senang, tinggal di rumah mewah namun terlilit hutang. Selama ini, sebisa mungkin aku menghindar dari yang namanya hutang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Yang namanya rejeki memang bisa saja naik namun juga tak menutup kemungkinan akan turun, sedangkan hutang sudah barang tentu harus tetap dibayar bagaimana pun keadaan ekonomi kita.

Rumah adalah barang mati yang tak berkembang dan menghasilkan keuntungan. Maka harus berpikir panjang jika harus berhutang hanya untuk bermewah-mewah. Bagiku, renovasi sederhana saja sudah cukup.

Ayah pernah berpesan padaku, hancur dan tidaknya ekonomi dalam sebuah rumah tangga itu letak dan kunci utamanya ada pada wanita. Jika wanita pandai mengaturnya maka insaallah akan tertata dan tercukupi. Namun sebaliknya, jika yang menata saja lalai maka tinggal menunggu saja kehancuran itu tiba. Sekarang peranku sebagai wanita harus diperankan sedemikian rupa agar tidak terjerumus dan hancur pada akhirnya.

Mas Pandu kembali mematikan mesin mobil setelah mendengar pertanyaanku lalu menoleh ke arahku. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku

Artikan. Tak berselang lama, tangan Mas Pandu terlihat membuka dasboard mobil dan mengambil sesuatu dari sana. Lantas kemudian ia meraih tanganku dan berkata. "Sayang, simpan uang Ayah untukmu, rumah adalah tanggung jawabku. Mas dapat bonus dari perusahaan karena menang tender yang insaallah cukup untuk renovasi." Seraya meletakkan buku tabungan di tanganku ia berujar, aku tercekat.

"Nanti Mas akan alihkan atas nama kamu, sebetulnya beberapa waktu lalu Mas sempat ke bank untuk ngurus itu. Tapi tiba-tiba saja kantor telepon dan akhirnya Mas harus balik ke kantor."

"Mas....

"Mai, Itu uang ayah, hak kamu. Bukankah tanah di mana kita tinggal saat ini adalah milik ayah yang berarti juga milikmu. Sebagai laki-laki Mas juga ikut andil, jadi biar Mas yang bangun." Ia memotong ucapanku dengan kalimat yang membuatku merasa tak karuan.

Netraku perlahan mengalihkan pandang pada benda di tangan. Buku tabungan ini jelas adalah buku tabungan bank di mana Mas Pandu menyimpan uang Ayah yang aku titipkan. Apa ini artinya aku sudah salah sangka pada suami sendiri? Lalu Viona? Apa dia juga salah sangka? Tapi jika memang itu hanya salah sangka bagaimana Viona seyakin itu. Viona bahkan tahu detail alasan Mas Pandu mencairkan dana.

JANGAN LUPA DI FOLLOW YAA

1
Ma Em
Oh mungkin yg cari Sean itu suruhan istrinya Hartawan yg bos nya Pandu mantan suaminya Maira , wah seru nih nanti kalau Maira nikah dgn Sean Maira nanti akan jadi bos nya Pandu .
Ninik
berarti perusahaan yg dipegang pandu perusahaane bapak nya dokter Sean tp istri kedua nya serakah menguasai semuanya
Ninik
heh pandu beda istri beda rejeki mungkin dulu maira selalu mendoakanmu tp sekarang viona cuma butuh uangmu dasar jadi laki laki kok bego tapi bener jg yang kamu bilang kalau itu karma mu
Ma Em
Akhirnya Bu Azizah jadi salah paham dikiranya dr Sean menghamili Maira , Bu Azizah tdk tau bahwa Maira hamil anak dari mantan suaminya si Pandu bkn anak Sean 😄😄
Ninik
makasih Mak othor cantik untuk crazy up nya hari ini semoga hari2 selanjutnya terus seperti ini 💪💪💪💪 tenang aku dah subscribe juga
Hasri Ani: 😁😁mksi kembali say...
total 1 replies
Ninik
ternyata oh ternyata mas dokter anak Bu Azizah to dan apa td benihnya gak subur wah jgn2 dikawinin nih orang dua kan maira lagi hamil g ada laki pas kan jadinya Sean jadi ayah nya si baby
Ninik
pandu g melek apa ya Zahra bukan anaknya Zahra keluarga maira pasti pandu mau maksa maira rujuk menggunakan zahra karna tau sekarang maira hamil
Ninik
Rani pasti ngomong sama nanti dan pandu bakal tahu kalau maira hamil anaknya dihitung dr waktu perceraian,,,, Thor kenapa up nya dikurangi padahal di awal bab selalu crazy up nya
Hasri Ani: hehe tangan lagi kurang sehat say.. Sox UP BAB di cerita lainnya juga..
total 1 replies
Ninik
Thor kok cuma satu biasanya sekali up 3 ayo Thor semangat 💪💪💪
Hasri Ani: ditunggu ya say tangan ku kayak nya ada sedikit masalah Sox ngilu2 hehe mngkin efek ketikan Sox ada Bab dari cerita lainnya juga yang saya up hehehe
total 1 replies
Ma Em
Maira kalau pandu ngajak rujuk jgn mau lbh baik maira dgn dokter Sean saja , biarkan si pandu menyesal seumur hidupnya .
Ninik
rasanya g sabar nunggu lanjutan esok hari 💪💪💪
Ma Em
Maira mau saja nurut sama Pandu akhirnya kamu sendiri yg menyesal juga tersingkir karena maira terlalu cinta sama pandu sehingga apa yg dikatakan pandu dituruti saja tanpa melawan emang maira yg bodoh , sekarang baru menyesal setelah dibuang pandu mungkin baru terbuka matanya .setelah tau semua kebenaran nya .
Ninik
lanjut Thor 3 bab lagi bolehkah mumpung masih emosi nih mau ikut Jambak si pelakor aku rasanya
Hasri Ani: 🤣🤣🤣sabar saaay...
total 1 replies
Ninik
Thor saat maira nangis marah2 sama Alloh sebetulnya salah ya mestinya marahnya sama Mak othornya karna yg bikin sengsara kan Mak othor jgn kelamaan nyakitin maira ayo mulai kehancuran pandu dan viona aku aja yg baca nyesek rasanya
Hasri Ani: waduhhh.. 🤭🤭🤭
total 1 replies
Ninik
kpn penderitaan maira berakhir lantas kpn balas dendamnya
Ninik: jujur ini novel hampir ku hapus karna g kuat bacanya liat penderitaan maira jantung rasanya kaya mau meledak
total 2 replies
Ninik
Mai jgn lupa kamu minta bayaran untuk kamu menyumbangkan darah mu waktu itu jgn tangung2 bayarannya adalah nyawa viona karna dulu kamu kasih darah untuk viona hidup
Ma Em
Maira masa kamu ga bisa kabur dari Pandu seberapa pinter sih si Pandu sampai kamu tdk bisa berkutik , cari akal dong jgn cuma pinter ngomong doang tapi otak ga dipake .
Ninik
Thor kenapa pandu kejam sekali katanya dia taat ibadah tp kok zinah katanya adil tp kok hanya istri ke w yg dibelikan rumah dan ditransfer nafkah sedang maira malah diporotinbahka uang warisan dr keluarga nya maira taat agama dr mana DLAM Islam penghasilan istri suami g berhak lho bahkan uang mahar pernikahan jg suami g berhak sama sekali lha ini pandu apa
Makhfuz Zaelanì
maira nya terlalu lamban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!