Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan
Siang itu, Nika melangkah ke dalam supermarket, hawa dingin AC langsung menyergapnya, membawa serta aroma samar buah dan sayur segar.
Pram telah menepati janjinya, sebuah kartu ATM kini ada di genggamannya, siap memenuhi segala kebutuhan Nika yang, kali ini, sepertinya akan sangat banyak. Kulkas di apartemennya kosong melompong, butuh diisi penuh. Seharusnya Nika meminta Roy, teman Pram, untuk menjadi perantara, tetapi entah kenapa ia memilih untuk berbelanja sendirian.
Dengan hoodie yang menutupi kepalanya dan masker yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya, Nika menelusuri lorong-lorong supermarket. Rak-rak yang menjulang tinggi dipenuhi berbagai macam produk, namun fokusnya tertuju pada bagian susu ibu hamil, kebutuhan nutrisi utama untuk calon bayinya.
Setelah mengambil beberapa kotak susu, langkahnya beralih ke lorong sayuran. Di sana, di antara tumpukan brokoli dan wortel, matanya menangkap sosok yang tak asing: Arsen. Jantung Nika berdesir, seketika ia berbalik, bergegas pergi sebelum Arsen menyadari keberadaannya.
Nika mempercepat langkahnya menuju meja kasir.
Untungnya, antrean tidak terlalu panjang. Setelah semua belanjaannya terbayar, ia keluar dari supermarket dengan tergesa. Namun, baru beberapa langkah di luar, Nika dibuat terkejut. Arsen sudah berdiri di depan, seolah menunggunya.
"Nika! Kenapa kamu menghindari aku?" Suara Arsen tegas, namun terdengar putus asa.
Nika tak mengacuhkan, terus berjalan, matanya mencari-taksinya. Tapi Arsen lebih cepat, tangannya menangkap pergelangan tangan Nika, menghentikan langkah wanita itu.
"Lepas, Arsen!" pinta Nika, mencoba melepaskan diri.
"Setelah aku tahu kamu dikeluarkan dari kampus, aku mencarimu di kos... tapi Yuli bilang ibu kos sudah mengusirmu. Aku tanya Yuli kamu pindah kemana, dia bilang nggak tahu," jelas Arsen, suaranya dipenuhi penyesalan.
"Di antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Arsen," jawab Nika dingin.
"Enggak... Nika, aku belum bilang putus!" Arsen mencoba membantah.
"Sejak kamu meninggalkanku di rumah sakit waktu itu, hubungan di antara kita sudah kuanggap selesai," ucap Nika, sorot matanya tajam.
"Maaf Nika, waktu itu aku kaget sekaligus bingung waktu tahu kamu hamil oleh pria lain," Arsen mencoba menjelaskan.
"Aku sudah jelaskan bahwa itu bukan kemauanku, aku dijebak, Arsen," Nika mengingatkan.
"Ya, Nika, aku percaya kamu. Sekarang, mari kita besarkan anak ini sama-sama," kata Arsen, mencoba meraih tangan Nika yang lain.
"Sudah terlambat, Arsen. Ayah bayi ini akan bertanggung jawab," Nika menarik tangannya.
"Tapi Nika, aku nggak bisa tanpa kamu. Setelah kamu nggak ada, aku selalu kepikiran kamu," Arsen memohon, matanya penuh harap.
"Sudahlah, Arsen. Sebaiknya kita jalani hidup masing-masing mulai sekarang." Nika melangkah pergi, meninggalkan Arsen. Namun, Arsen tak menyerah, ia mengejar Nika. Tiba-tiba, sebuah mobil Pajero hitam mendekat, dan seseorang keluar dari dalamnya.
Pramudya awalnya berniat keluar untuk makan siang. Namun, di tengah perjalanan, matanya menangkap Arunika berjalan di depan supermarket, diikuti seorang pria di belakangnya. Rasa penasaran dan cemas membuncah dalam dirinya.
Pram segera keluar dari mobil. "Ada apa, Nika?" tanyanya, menghampiri Nika.
"Pram!" Nika terkejut melihat kehadiran Pram di sana.
"Anda siapa?" tanya Pram pada Arsen, nadanya datar namun penuh otoritas.
"Seharusnya gue yang nanya gitu. Siapa lo?" balas Arsen tak kalah sengit.
"Sudah Pram, tolong antar saya pulang," pinta Nika, mencoba meredakan suasana yang mulai memanas.
"Enggak bisa, Nika... kamu pulang sama aku. Aku harus tahu di mana kamu tinggal sekarang," Arsen bersikeras.
"Heh... Nika udah nggak mau, kok lo masih maksa dia? Emang lo siapa Nika sampai harus tahu di mana dia tinggal?" Pram menyela, wajahnya mulai mengeras.
"Gue pacar Nika, puas lo!" tukas Arsen, merasa di atas angin.
"Ini pacar kamu, Nika?" tanya Pram, menatap Nika mencari penjelasan.
"Mantan!" jawab Nika singkat.
"Cih, sadar, Bro, udah jadi mantan," cibir Pram.
"Bacot lo! Lo bukan siapa-siapa Nika kenapa nyolot?" Arsen naik pitam.
Pram mendekat satu langkah. "Gue lebih dari cukup buat jadi pelindungnya. Dan lo tahu kan Nika lagi hamil? Bayi itu anak gue."
Hening sesaat. Arsen melongo, matanya melebar penuh amarah.
"Anjing! Jadi lo pria brengsek itu!" Arsen melepaskan pukulan ke arah Pram, mengenai rahangnya. Namun Pram tidak tinggal diam. Ia membalas dengan tinju ke perut Arsen, dan keduanya pun terlibat dalam perkelahian yang memalukan di pinggir jalan.
Orang-orang mulai memperhatikan. Beberapa bahkan mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam.
"BERHENTI!" Teriak Nika
Pram yang hendak memukul lagi langsung membeku. Nafasnya memburu, dada naik turun. Begitu juga Arsen, bajunya kusut dan sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Ayo, Pram. Kita pulang," kata Nika, menggandeng lengan Pram dan menariknya menjauh dari kerumunan.
Sebelum masuk ke mobil, Pram sempat menoleh ke arah Arsen.
"Jauh-jauh dari Nika. Gue nggak akan segan kalau lo ganggu dia lagi," ancamnya dingin.
Arsen hanya bisa terdiam, menatap kepergian mereka dengan dada sesak dan kepala dipenuhi penyesalan.
Nika hanya diam di sepanjang perjalanan pulang. Wajahnya ditekuk, menunjukkan kekesalan dan sedikit rasa bersalah. Pram sesekali meliriknya, mencoba membaca ekspresi wanita itu, namun Nika tetap bungkam. Keheningan di dalam mobil terasa membebani.
"Kenapa kamu diam saja, Nika?" tanya Pram akhirnya, memecah keheningan yang canggung. Ada nada kesal terselip di suaranya. "Seharusnya kamu minta Roy menemanimu belanja. Jadi kejadian seperti tadi tidak akan terjadi."
Nika menoleh, tatapannya tajam. "Kenapa kamu harus berkelahi, Pram? Kamu bisa saja pergi meninggalkan aku, tidak usah berhenti. Itu hanya akan membuat keadaan semakin rumit!"
Pram mencengkeram kemudi lebih erat. Perkataan Nika memang ada benarnya. Ia bisa saja langsung pergi. Tapi entah kenapa, keberadaan Arsen, pria itu, mengusik Pram. Kata-kata Arsen yang bilang ingin membesarkan anak bersama nika, membuat darahnya mendidih. "Dia menginginkan anakku nika."
"Tapi kamu tidak perlu memukulnya sampai seperti itu," Nika mendesah, ada nada lelah dalam suaranya. "Dia mantan pacarku, Pram. Bukan musuhmu."
"Mantan yang masih mengejarmu, Nika," sahut Pram, suaranya sedikit meninggi. "Dan dia berani-beraninya dia ingin membesarkan anakku bersamamu . Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghinamu, apalagi menghina anak kita."
Nika terdiam, menatap Pram dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tahu Pram melakukan ini demi dirinya dan calon bayinya, tapi ia juga tidak ingin Pram terjerat dalam masalah yang tidak perlu.
"Pram, dengarkan aku," Nika memulai, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku hargai apa yang kamu lakukan. Tapi aku tidak ingin kamu terlibat masalah lagi karena aku. Arsen itu... dia keras kepala. Semakin kamu melawannya, semakin dia akan mengejar."
Pram tersenyum tipis. "Aku tidak takut padanya, Nika. Dan aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku sudah memutuskan untuk bertanggung jawab atas dirimu dan anak kita. Tidak ada seorang pun yang bisa mengubah itu."
Nika menatap lurus ke depan, ke jalanan yang ramai. Sepertinya hidupnya akan semakin kompleks dengan kehadiran Pram dan Arsen yang saling bersitegang. Di satu sisi, ia merasa lega karena ada Pram yang melindunginya. Di sisi lain, ia khawatir akan terus menjadi penyebab konflik.