NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Informasi Berbahaya

Lalu dia berbicara dalam bahasa krama inggil yang penuh dengan istilah-istilah pemerintahan dan adat yang rumit.

Pariyem tidak mengerti sebagian besar kata-kata itu. Dia hanya mengerti bahasa krama inggil yang sederhana, untuk sehari-hari.

Tapi dari nada suara dan beberapa kata yang dia tangkap, cukup jelas, sebagian upah yang tidak sampai ke tangan rakyat masuk ke kantong Raden Ayu Kusumawati, dihitung sebagai upeti yang wajib dibayarkan rakyat.

Pariyem menahan napas. Informasi ini ... ini sangat berharga untuk Marius.

Raden Ayu berbicara lagi, kali ini suaranya lebih rendah, berbahaya. "Dan soal perempuan itu, anak China tidak jelas itu harus kau singkirkan dari rumah ini. Sekarang. Aku tidak mau mendengar alasan lagi. Ceraikan dia. Usir dari rumah ini. Karena bersamanya, kau hanya bermalas-malasan saja. Tidur sampai sesore ini."

Jantung Pariyem berhenti berdetak.

Hening. Hanya diisi bunyi detak jarum jam bandul besar.

"Tidak, Ibu."

Suara Soedarsono akhirnya berkata tegas. Bahkan lebih keras nadanya dari kata-kata sebelumnya.

Raden Ayu Kusumawati tersentak. Matanya melebar. Belum pernah seumur hidupnya, sang putra berbicara dengan nada sekeras itu.

Tidak sesuai dengan etika berbicara anak pada ibu. Tidak sesuai dengan unggah-ungguh yang sudah diajarkan sejak kecil. Tidak seperti saat dia diminta menceraikan istri pertamanya dulu.

"Kau …," suara Raden Ayu bergetar, antara marah dan terkejut. "Kau berbicara dengan suara tinggi pada Ibu? Kau membela ayam kampung itu?! Kalau dulu kau bela Sumi dengan memberi alasan-alasan tidak jelas, Ibu masih maklum. Paling tidak dia setara dengan kita. Tapi ini?! Perempuan rendahan yang—"

"Yang kalau tidak ada dia," potong Soedarsono dengan suara yang semakin keras, "mungkin saya sudah sakit-sakitan seperti Dimas Soenarto. Jadi kalau tidak ada dia, lebih baik saya mundur dari jabatan bupati."

BRAK!

Raden Ayu memukul meja dengan keras. Bunyi yang membuat para abdi dalem di luar terlonjak ketakutan.

"Darsono!" suaranya bergetar, terkejut bukan main. Tidak menyangka putranya akan mengucapkan kata-kata seperti itu. "Kau sudah diapakan oleh perempuan itu?!"

Dia melangkah mendekat, menatap wajah Soedarsono dengan mata tajam, seperti sedang mencari sesuatu di wajah putranya.

"Ibu yakin dia melakukan guna-guna. Dia itu masih keturunan dari juru kunci yang mengurus Kedung Wulan. Pamannya dukun terkenal! Pasti dia belajar ilmu hitam dari keluarganya! Makanya kau sampai pulas sekali tidur di sini, sampai lupa pulang! Sampai lupa tata krama!"

"Tidak ada guna-guna, Ibu …!" Soedarsono berdiri dengan tiba-tiba. Kursi bergeser ke belakang dengan bunyi keras.

Suaranya menggelegar. Sangat keras. Bahkan Pariyem di balik gebyok terlonjak kaget. Raden Ayu Kusumawati mundur satu langkah, terkejut. Mata melebar tak percaya.

"Saya sudah dibersihkan Kiai Hasan!" lanjut Soedarsono dengan suara yang masih keras. "Tidak mungkin ada guna-guna!"

Napasnya terengah. Dadanya naik turun dengan cepat. Emosi yang sudah ditahan terlalu lama akhirnya meledak.

"Saya nyaman di sini karena hanya Pariyem yang tidak menuntut saya apa-apa! Dia yang memberi kenyamanan! Dia yang mengurus saya dengan sangat baik. Dia yang paling tahu apa yang saya butuhkan. Dia yang melahirkan putra untuk saya! Dia yang ada saat saya patah hati ditinggal Sumi! Saat saya terpuruk. Saat saya ada di titik terendah."

Ia diam sejenak, mengatur napas, mencoba menahan diri. "Selama itu, Ibu di mana?! Ibu hanya sibuk memikirkan bagaimana caranya bupati selanjutnya tetap orang yang bisa tunduk pada Ibu! Yang bisa jadi wayang Ibu!"

Suaranya bergetar, campuran antara marah dan putus asa. "Saya lelah, Ibu. Saya lelah. Lelah menutupi dosa-dosa Ibu agar jangan sampai ketahuan Belanda. Saya lelah menjadi anak Ibu! Saya lelah ibu atur-atur!”

Jeda lagi, dada Soedarsono naik turun tengan berat. “Ini semua salah ibu!” Suara seperti geraman. “Kalau Ibu tidak menekan Sumi untuk mendapatkan keturunan, dan bisa lapang dada tidak memiliki cucu, mungkin hidup saya tidak sehancur ini. Mungkin Sumi tidak akan nekat ke Kedung Wulan!"

HENING.

Hening yang sangat panjang. Sangat menyakitkan.

Pariyem membeku di tempatnya. Tidak perlu lagi menempelkan telinga ke celah ukiran. Suara itu terdengar sangat jelas, suara yang penuh dengan kepedihan, dengan kelelahan bertahun-tahun, dengan beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Dia mundur perlahan menjauhi gebyok. Merangkak kembali ke tempat yang lebih aman tapi masih bisa mendengar. Wajahnya syok, benar-benar tidak menyangka.

Tanpa guna-guna. Tanpa apapun. Hanya perhatiannya yang selama ini telaten—meski sekarang sudah tidak tulus lagi—justru itu yang membuat Soedarsono sampai melawan ibunya sendiri. Sampai berani mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan anak pada ibu.

Perasaan Pariyem campur aduk. Bersalah? Lega? Sedih? Dia tidak tahu lagi.

Di ruang tamu, Raden Ayu Kusumawati berdiri membeku. Wajahnya pucat. Bibir bergetar. Matanya melebar; terkejut, terluka, dan sangat, sangat marah.

"Kau …," suaranya keluar gemetar. "Kau berani berkata begitu pada ibumu sendiri?! Demi perempuan rendahan itu?"

Soedarsono tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana dengan napas yang masih terengah, tangan terkepal di sisi tubuh, mata menatap lantai. Tidak berani menatap mata ibunya yang bercucuran air mata.

Raden Ayu Kusumawati menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi. Tapi gagal. Kemarahannya terlalu besar.

"Kau sudah diguna-guna," ucapnya dengan suara yang dibuat tenang tapi penuh ancaman. "Perempuan itu sudah meracuni pikiranmu. Sudah membuat kau melawan ibumu sendiri. Sudah membuatmu bermalas-malasan. Sudah membuatmu berkata kasar dengan ibumu sendiri!"

Dia berbalik, berjalan menuju pintu dengan langkah yang masih angkuh meski tubuhnya bergetar menahan darah yang mendidih.

"Aku akan mencari cara untuk menyingkirkan dia. Cepat atau lambat. Aku akan pastikan perempuan itu diusir dari rumah ini. Dari hidupmu. Kalau perlu dari dunia ini."

Dia berhenti di ambang pintu, menatap Soedarsono sekali lagi dengan tatapan dingin. "Dan kau akan berterima kasih pada Ibu suatu hari nanti. Ketika kau sudah lepas dari cengkeraman perempuan itu."

Lalu dia keluar dengan membanting pintu.

BRAK!

Bunyi pintu yang tertutup keras menggelegar di seluruh rumah.

Di balik gebyok, Pariyem duduk terduduk di lantai dengan napas terengah. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang.

Informasi yang dia dapat malam ini ... terlalu banyak. Terlalu berharga. Terlalu berbahaya.

Dan yang paling membuat dadanya sesak, Soedarsono membela dirinya. Benar-benar membela. Pembelaan yang bahkan tidak bisa diberikan Soedarsono pada istri pertamanya dulu.

Sampai melawan ibu yang sangat ditakutinya. Sampai mengancam mundur dari jabatan yang sudah diperjuangkan.

Untuk apa? Untuk perempuan yang sekarang mengkhianatinya. Untuk perempuan yang sekarang menjual rahasia keluarganya pada Belanda.

Pariyem menutup wajah dengan kedua tangan. Rasa bersalah menggerogoti dada. Tapi dia tidak bisa berhenti. Kesepakatan telah dibuat dengan Marius.

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!