NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 19

Pagi itu, cahaya matahari menembus kaca patri kamar Putri Mahkota dengan lembut, menebarkan kilauan keemasan di dinding batu yang kokoh. Suasana tidak lagi setegang dua hari lalu ketika racun menyiksa tubuh Camilla, meski ketakutan masih menggantung di udara.

Mary menarik napas lega ketika mendapati wajah Camilla tidak lagi sepucat kemarin. Meski bibirnya masih sedikit kering, napasnya sudah lebih teratur. Ia sudah bisa membuka mata walau belum sepenuhnya kuat untuk bangun.

“Yang Mulia...” suara Mary bergetar, setengah ingin menangis. “Anda terlihat lebih baik.”

Camilla mengedipkan mata pelan, menoleh ke arah Mary. Senyum samar muncul di wajahnya meski jelas ia menahan lemah. “Jangan menangis, Mary. Kau akan membuatku merasa seperti hampir mati.”

Mary terisak kecil, buru-buru menunduk. “Saya... saya hanya lega.”

Tabib Elric, yang sedang meracik ramuan di meja, mendekat sambil membawa sebuah cawan kecil. “Minum ini, Yang Mulia. Ramuan penawar sudah mulai bekerja, tubuh Anda perlahan membuang sisa racun.”

Camilla menerima bantuan Mary untuk duduk. Ia meneguk ramuan pahit itu dengan wajah meringis, lalu menghela napas panjang. “Pahit sekali... tapi sepertinya lebih ringan dibanding rasa terbakar kemarin.”

Arthur berdiri di sisi jendela, seperti biasa, memperhatikan dari jauh. Ia menatap setiap gerakan Camilla dengan sorot mata tajam, seolah memastikan sendiri bahwa tubuh wanita itu betul-betul membaik. Saat Camilla selesai minum, ia akhirnya angkat bicara.

“Seberapa cepat ia bisa pulih sepenuhnya?” tanyanya pada Elric, suaranya datar tapi penuh tekanan.

Elric mengusap janggut tipisnya, berpikir. “Jika racun sudah benar-benar keluar, dua atau tiga hari lagi Putri Mahkota bisa berdiri tanpa bantuan. Namun, tubuhnya tetap akan rapuh untuk beberapa waktu.”

Arthur mengangguk pelan, lalu beralih menatap Camilla. “Kau dengar itu. Jangan coba-coba memaksa diri sebelum waktunya.”

Camilla menatap balik, bibirnya melengkung sedikit. “Aku bukan orang yang suka menantang maut, Yang Mulia.”

Mary menunduk, menyembunyikan senyumnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, kamar terasa sedikit lebih hangat.

Namun, di luar kamar, suasana istana masih jauh dari tenang. Para pengawal memperketat penjagaan, dan Aiden sibuk memimpin penyelidikan. Sudah puluhan pelayan diperiksa, namun nama yang mereka cari tetap menjadi misteri.

“Tidak ada catatan pelayan dengan nama itu,” laporan salah satu pengawal pagi itu. “Kami sudah memeriksa daftar pergantian staf, bahkan arsip dapur. Tidak ada Garrick.”

Aiden menatap daftar itu dengan wajah muram. “Tidak mungkin orang itu hanya bayangan. Pelayan dapur sendiri melihatnya mengaduk sup. Seseorang pasti membawa dia masuk.”

“Apakah mungkin ia menggunakan nama palsu?” tanya pengawal lain.

Aiden mengetuk meja, pikirannya berputar cepat. “Kalau benar, berarti ada yang lebih dalam di balik ini. Tidak mungkin seorang penyusup bisa masuk dapur tanpa bantuan dari dalam.”

Meski begitu, jawaban tetap tidak muncul. Garrick seakan menghilang ditelan bumi.

Hari berikutnya, Camilla sudah bisa duduk lebih lama di ranjang. Mary membantunya menyisir rambut panjangnya yang sempat kusut karena terbaring lama, sementara Elric tetap mengawasi kondisinya.

Arthur masuk, mantel panjangnya berkibar pelan. Mary segera memberi hormat dan mundur ke sisi ruangan. Arthur berjalan mendekat, matanya menyapu wajah Camilla. Kali ini, ia membiarkan sedikit kelegaan terlihat.

“Kau terlihat lebih hidup hari ini,” ucapnya pendek.

Camilla terkekeh pelan. “Itu pujian yang aneh, tapi aku akan menerimanya.”

Arthur tidak menanggapi gurauan itu, hanya menoleh pada Elric. “Berapa lama lagi ia harus tetap di ranjang?”

“Dua hari lagi setidaknya. Setelah itu ia bisa mulai berjalan pelan di dalam kamar,” jawab Elric.

Arthur mengangguk, lalu berdiri di sisi ranjang. Camilla mengangkat wajah, menatapnya. Ada jeda singkat sebelum ia berkata pelan, “Aku dengar kau menghentikan keluar-masuk istana. Para pelayan mulai ketakutan.”

Arthur menatap balik tanpa berkedip. “Ketakutan mereka tidak ada artinya dibanding nyawamu.”

“Nyawaku?” Camilla tersenyum tipis, tatapannya sendu. “Yang Mulia, aku hanyalah calon. Belum tentu aku akan tetap di sini dalam beberapa bulan. Apa benar layak kau mengacaukan seluruh istana demi aku?”

Arthur tidak menjawab. Tangannya hanya mengetuk pelan kusen kayu di samping ranjang, pikirannya jelas sedang berputar.

Mary yang mendengarkan di belakang menahan napas. Ia tahu Putra Mahkota tidak suka ditanyai seperti itu, namun Camilla tampak berbeda. Alih-alih takut, ia justru tampak tenang.

Akhirnya, Arthur berkata datar, “Tidak ada yang berhak menyentuh apa yang menjadi milikku kecuali aku"

Kata milikku yang dilontarkan Putra Mahkota hanya berarti barang, bukan berarti dia memiliki perasaan.

Mendengar itu membuat Camilla terdiam sejenak, lalu menunduk. Ia tahu itu adalah akhir dari percakapan mereka setidaknya untuk saat ini.

***

Fajar berikutnya datang dengan tenang, membawa sinar lembut yang menyapu permukaan istana. Udara masih dingin, tetapi tidak sekelam beberapa hari terakhir. Burung-burung kembali berkicau di taman, seolah hendak mengusir aura mencekam yang sempat meliputi seluruh tempat itu.

Di kamar Putri Mahkota, Mary membuka tirai perlahan. Cahaya masuk, mengenai wajah Camilla yang kali ini tampak lebih segar. Pucatnya sudah mulai memudar, bibirnya tidak lagi kering. Ia bahkan bisa menyandarkan diri tanpa bantuan.

“Pagi yang indah,” gumam Camilla sambil menghela napas. “Sudah lama aku tidak bisa menikmati sinar matahari seperti ini.”

Mary tersenyum, meski matanya masih menyimpan bekas lelah. “Anda membuat semua orang khawatir, Yang Mulia. Tapi hari ini… saya rasa mereka bisa bernapas lega.”

Camilla menoleh, menatap Mary dengan senyum hangat. “Termasuk kau. Kau hampir tidak tidur.”

Mary menunduk, pura-pura sibuk merapikan selimut. “Itu kewajiban saya.”

Pintu kamar berderit pelan. Arthur masuk, langkahnya tenang namun berwibawa. Ia mengenakan seragam kebiruan dengan mantel hitam, matanya langsung tertuju pada Camilla.

“Bagaimana keadaannya?” suaranya datar, tapi Mary bisa merasakan nada khawatir yang tersembunyi di balik pertanyaan itu.

Camilla mengangkat wajah, membalas tatapannya. “Lebih baik, Yang Mulia. Aku bahkan bisa duduk sendiri.”

Arthur berjalan mendekat, berhenti di sisi ranjang. Ia menatapnya lama, seolah ingin memastikan bahwa yang ia dengar bukan hanya basa-basi.

“Jangan gegabah,” katanya akhirnya. “Tubuhmu belum sepenuhnya pulih.”

Camilla terkekeh pelan. “Aku tahu. Tabib Elric sudah memperingatkan hal yang sama.”

Elric yang sedang memeriksa ramuan di meja tersenyum samar. “Setidaknya kali ini Yang Mulia mau mendengarkan.”

Arthur menoleh singkat pada tabib tua itu, lalu kembali menatap Camilla. “Kau tahu, penyelidikan masih berlangsung. Aiden dan pasukannya belum menemukan apa pun. Orang itu masih berkeliaran, entah di mana.”

Seketika suasana di kamar menegang. Mary berhenti bergerak, sementara Camilla menahan napas. Topik itu memang tidak terhindarkan, tapi ia tahu Arthur akan menyinggungnya cepat atau lambat.

“Apakah itu perlu dilanjutkan?” tanya Camilla dengan nada hati-hati.

Arthur menajamkan tatapan. “Apa maksudmu?”

Camilla menautkan jemari di pangkuannya. “Aku sudah lebih baik. Racun itu tidak berhasil membunuhku. Bukankah artinya ancaman sudah lewat?”

“Ancaman tidak pernah lewat,” potong Arthur tegas. “Selama pelakunya bebas, ia bisa mencoba lagi. Hari ini mungkin sup, besok bisa anggur atau buah. Kau pikir aku akan membiarkan hal itu terjadi?”

Mary menunduk makin dalam. Ia bisa merasakan badai emosi di balik kata-kata Putra Mahkota. Sementara itu, Elric pura-pura sibuk mencampur ramuan, meski telinganya jelas menangkap percakapan itu.

Camilla menghela napas, lalu menatap Arthur dengan lembut. “Yang Mulia, aku tidak ingin istana terus hidup dalam ketakutan. Semua pelayan sekarang berjalan dengan kepala tertunduk, takut dituduh. Mereka bukan musuhmu.”

Arthur mendekat, hingga bayangannya menutupi cahaya yang jatuh di wajah Camilla. “Kau terlalu berbaik hati. Musuh selalu bersembunyi di balik wajah ramah. Kau tahu itu.”

Camilla tidak bergeming. “Dan jika pelakunya memang tidak pernah ditemukan? Apakah kau akan terus menghukum semua orang hanya karena aku sempat sakit?”

Untuk pertama kalinya, Arthur terdiam. Mary hampir tidak percaya ada yang bisa membuatnya kehabisan kata. Biasanya, Putra Mahkota selalu punya jawaban tajam untuk siapa pun.

Tatapan Arthur melunak sedikit, meski masih ada bara tersembunyi di sana. “Kau tidak mengerti. Aku tidak mencari demi keadilan semata. Ini tentang pesan. Jika aku membiarkan hal ini begitu saja, orang lain akan berani mencoba lagi. Aku tidak akan membiarkan kelemahan terlihat, bukan di hadapan bangsawan, bukan di hadapan rakyat, dan terutama bukan di hadapan musuh.”

Camilla menatapnya lama, kemudian tersenyum tipis. “Mungkin aku yang tidak mengerti politik. Tapi yang aku tahu, tubuhku mulai pulih. Aku tidak ingin pulih hanya untuk melihat semua orang lain hidup dalam teror.”

Mary mengangkat kepalanya, matanya berkilat kecil mendengar keberanian itu. Elric pun akhirnya menoleh, menatap Camilla dengan rasa hormat yang diam-diam tumbuh.

Arthur memalingkan wajah ke jendela, terdiam beberapa saat. Tangannya menggenggam kusen hingga buku jarinya memutih. Jelas sekali ia sedang menahan amarah bercampur sesuatu yang lebih rumit.

Akhirnya ia berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Kau membuat segalanya sulit.”

Camilla tersenyum samar, tidak menampik. “Mungkin memang itu tugasku, Yang Mulia.”

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sama. Camilla terus membaik, mampu berjalan beberapa langkah dengan bantuan Mary. Elric semakin yakin racun sudah sepenuhnya keluar dari tubuhnya.

Namun, pencarian Garrick tetap menemui jalan buntu. Aiden melapor hampir setiap malam, wajahnya semakin muram.

“Tidak ada jejak, Yang Mulia. Seperti yang saya katakan sebelumnya.. pria itu seolah tidak pernah ada.”

Arthur hanya memberi perintah singkat, “Cari lagi.”

Tapi bahkan Aiden, setia dan tegas sekalipun, mulai meragukan apakah mereka benar-benar bisa menemukan sosok misterius itu.

***

Beberapa hari kemudian, istana mulai terlihat pulih dari ketegangannya. Para pelayan kembali bekerja, meski langkah mereka masih hati-hati. Senyum jarang terlihat, tetapi setidaknya bisikan ketakutan sudah mulai mereda.

Di kamar Putri Mahkota, Camilla berdiri untuk pertama kalinya tanpa bantuan. Mary berdebar-debar di sampingnya, siap menopang bila diperlukan, tetapi Camilla hanya tersenyum kecil.

“Aku bisa,” katanya lembut, lalu melangkah perlahan ke jendela. Tangannya menyentuh tirai, menariknya sedikit agar cahaya masuk. Udara segar menerpa wajahnya, dan ia menutup mata sebentar, merasakan kebebasan kecil yang sempat dirampas racun.

Mary nyaris meneteskan air mata. “Yang Mulia.. Anda benar-benar sudah kuat kembali.”

Camilla menoleh, tersenyum pada gadis itu. “Aku masih harus banyak beristirahat, tapi tubuhku tidak lagi rapuh seperti kemarin. Syukurlah.”

Suara ketukan pelan di pintu terdengar. Mary buru-buru melangkah untuk membukanya, dan Arthur masuk. Seperti biasa, langkahnya tenang namun membawa aura yang membuat seluruh ruangan terasa berbeda.

Ia berhenti sejenak, matanya membesar tipis saat melihat Camilla berdiri. “Kau… sudah bisa berjalan?”

Camilla menoleh padanya, senyum samar terbit di wajahnya. “Sedikit demi sedikit.”

Arthur mendekat, memperhatikan langkah Camilla saat ia kembali ke kursi. Mary menarik napas lega setelah tuannya duduk dengan aman.

“Seharusnya kau tidak memaksakan diri,” kata Arthur, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Tapi aku tidak bisa menyangkal… melihatmu bangkit seperti ini melegakan.”

Camilla menghela napas, lalu menatapnya dalam-dalam. “Kalau begitu, izinkan aku mengatakannya langsung hari ini.”

Arthur menajamkan tatapan. “Mengatakan apa?”

“Berhentilah mencari Garrick.”

Kata-kata itu jatuh begitu saja, membuat ruangan seolah membeku. Mary menutup mulutnya, kaget mendengar keberanian itu. Elric, yang baru saja masuk membawa ramuan, hampir menjatuhkan wadahnya.

Arthur berdiri diam beberapa detik, sorot matanya dingin. “Apa yang baru saja kau katakan?”

Camilla tidak mengulang, hanya menatapnya tenang. “Kau sudah mengirim Aiden ke segala penjuru, menginterogasi puluhan orang, bahkan menutup pintu istana. Dan apa hasilnya? Tidak ada. Pria itu lenyap. Entah ia memang hantu atau sekadar pion yang sengaja dibuat hilang.”

Arthur melangkah maju, berdiri tepat di hadapannya. Aura tekanannya begitu kuat, membuat Mary bergetar dan menunduk dalam.

“Kau ingin aku berhenti hanya karena kau merasa lebih baik?” suaranya rendah namun menggelegar.

“Bukan hanya karena itu,” jawab Camilla mantap. “Aku ingin kehidupan di istana kembali tenang. Para pelayan sudah ketakutan berhari-hari. Mereka tidak tidur, selalu khawatir akan dituduh. Mereka bukan musuhmu, Arthur.”

Nama itu meluncur tanpa embel-embel kehormatan, membuat Mary membelalak. Tapi Camilla tidak menarik ucapannya, ia tetap menatap Putra Mahkota dengan keberanian langka.

Arthur mengepalkan tangan. “Kau tidak mengerti, Camilla. Jika aku tidak menemukan pelaku, orang akan melihat kelemahanku. Mereka akan berpikir Putra Mahkota tidak mampu melindungi bahkan calon permaisurinya.”

“Lalu apakah aku benar-benar akan menjadi Permaisuri?,” jawab Camilla cepat.

Ada jeda panjang sebelum Camilla lanjut berbicara, "Lihat.. kau bahkan belum yakin untuk memilihku sebagai Permaisuri"

Arthur terdiam. Elric menatap keduanya dengan cemas, Mary menunduk semakin rendah.

“Aku adalah orang yang diracuni, Arthur. Aku yang paling berhak menentukan apakah ini pantas diteruskan atau tidak. Dan aku memilih untuk mengakhirinya di sini.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!