Cerita ini tidak melibatkan sejarah manapun karena ini hanya cerita fiktif belaka.
Di sebuah kerajaan Tiongkok kuno yang megah namun diliputi tirani, hidup seorang gadis berusia enam belas tahun bernama Hua Mulan, putri dari Jenderal Besar Hua Ren, pangeran ketiga yang memilih pedang daripada mahkota. Mulan tumbuh dengan darah campuran bangsawan dan suku nomaden, membuatnya cerdas, kuat, sekaligus liar.
Saat sang kaisar pamannya sendiri menindas rakyat dan berusaha menghancurkan pengaruh ayahnya, Mulan tak lagi bisa diam. Ia memutuskan melawan kekuasaan kejam itu dengan membentuk pasukan rahasia peninggalan ayahnya. Bersama para sahabat barunya — Zhuge sang ahli strategi, Zhao sang pendekar pedang, Luan sang tabib, dan Ling sang pencuri licik — Mulan menyalakan api pemberontakan.
Namun takdir membawanya bertemu Kaisar Han Xin dari negeri tetangga, yang awalnya adalah musuhnya. Bersama, mereka melawan tirani dan menemukan cinta di tengah peperangan.
Dari seorang gadis terbuang menja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 — Putri Sang Jenderal Besar
Langit pagi di kediaman keluarga Hua berwarna lembut seperti tinta yang menetes di atas kertas sutra. Kabut menutupi halaman latihan, sementara suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Para prajurit berbaris rapi, tombak mereka berkilau terkena sinar matahari yang baru terbit.
Di tengah halaman itu, Hua Jian sang jenderal besar, berdiri tegak dalam baju zirah hitam. Di hadapannya, berdiri Mulan, mengenakan pakaian latihan berwarna biru tua, rambutnya diikat tinggi, wajahnya penuh tekad.
“Mulai hari ini,” kata Jenderal Hua dengan nada berat, “kau bukan lagi sekadar putriku. Kau adalah muridku.”
Mulan menatap ayahnya dengan tatapan menyala. “Aku siap, Ayah.”
“Jangan panggil aku Ayah di tempat latihan,” sahut pria itu tajam. “Di sini, aku adalah komandanmu.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Baik, Komandan.”
----
Latihan dimulai.
Jenderal Hua melemparkan pedang kayu ke arah Mulan, dan tanpa banyak bicara, menyerangnya.
Bam!
Pukulan pertama hampir menghantam bahunya. Mulan berputar, menangkis dengan gerakan cepat namun goyah.
“Langkahmu terlalu lebar!” bentak sang jenderal. “Kau mengandalkan tenaga, bukan keseimbangan!”
“Aku mengikuti naluri, bukan teori!” balas Mulan keras kepala, lalu menyerang balik.
Serangan mereka cepat, beradu seperti dua petir yang saling menyalak. Para prajurit yang menyaksikan dari jauh menahan napas. Tak ada yang berani bersuara ketika jenderal mereka dan sang putri berduel.
Setelah dua puluh pukulan, Jenderal Hua menangkis dengan kekuatan penuh, membuat pedang kayu Mulan terpental. Gadis itu jatuh ke tanah, keringat menetes di pelipisnya, namun matanya masih tajam.
“Bangkit,” kata sang jenderal tanpa belas kasihan.
Mulan berdiri. “Aku belum kalah.”
“Ketika musuh menjatuhkan pedangmu, itu kekalahan.”
“Tidak bagi orang yang masih punya dua tangan untuk bertarung.”
Ucapan itu membuat Jenderal Hua berhenti sejenak. Bibirnya terangkat sedikit, meski ia berusaha menahannya. “Mulutmu masih lebih tajam dari pedangmu, rupanya.”
Mulan menyeringai. “Itu juga senjata.”
Latihan berlangsung hingga matahari tinggi. Ketika akhirnya Mulan hampir tak bisa berdiri, Jenderal Hua memanggil pelayannya membawa air dan handuk. Ia menatap putrinya yang masih terengah tapi tidak menyerah.
“Darah ibumu memang mengalir kuat dalam dirimu,” katanya lirih. “Namun, darah saja tak cukup untuk menjadi pemimpin.”
Mulan meneguk air dan mengangkat wajahnya. “Lalu apa yang dibutuhkan, Komandan?”
“Kesabaran. Dan kemampuan membaca hati manusia.”
“Aku bisa membaca pergerakan lawan di medan perang.”
“Tapi belum tentu bisa membaca pengkhianatan di balik senyuman.”
Ucapan itu membuat Mulan terdiam lama. Angin berhembus, membawa aroma besi dan keringat.
Jenderal Hua berjalan mendekat dan menepuk bahu putrinya. “Mulailah belajar dari orang-orang di sekitarmu. Jangan hanya belajar berperang, tapi juga memahami mengapa seseorang memilih berperang.”
Mulan mengangguk pelan. “Baik, Ay—eh, Komandan.”
---
Malam itu, setelah latihan yang melelahkan, Mulan duduk di taman kecil di belakang kediamannya. Ia menatap cincin naga perak di jarinya, mengingat kata-kata ayahnya.
“Pasukan bayangan... menunggu pemimpin yang pantas.”
Ia bertanya-tanya berapa banyak orang yang masih setia pada keluarganya. Berapa banyak yang bersembunyi di antara rakyat, menunggu sinyal kebangkitan.
“Apakah aku pantas?” gumamnya pelan.
“Pertanyaan bagus,” suara tenang terdengar dari belakangnya.
Mulan menoleh. Zhuge Wei berdiri di sana, membawa gulungan bambu dan secangkir teh. “Kalau aku boleh menebak, kau sedang memikirkan tentang pasukan rahasia itu.”
Mulan menaikkan alis. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu karena aku melihat wajahmu setiap kali berpikir terlalu dalam. Dahi berkerut, bibir sedikit maju, dan tangan menggenggam sesuatu.”
Gadis itu melirik ke arah cincin di jarinya, lalu menutupnya cepat. “Kau ini mata-mata atau teman?”
“Dua-duanya,” jawab Zhuge santai sambil duduk di sampingnya. “Ayahmu memintaku membantumu mempelajari taktik perang. Jadi aku akan jadi pengawas sekaligus guru.”
“Guru?” Mulan tertawa kecil. “Kau dua tahun lebih tua dariku!”
“Dan dua langkah lebih cepat dalam berpikir,” jawab Zhuge dengan tenang.
“Kalau begitu, ayo kita lihat siapa yang lebih cepat berpikir dan bertindak.” Mulan berdiri dan menatapnya penuh tantangan. “Aku tantang kau duel strategi besok pagi.”
Zhuge menatapnya seperti menatap anak kecil yang berteriak menantang badai. “Baiklah. Tapi jangan menangis kalau kalah.”
“Yang menangis nanti kau!”
---
Keesokan paginya, duel strategi antara Hua Mulan dan Zhuge Wei menjadi tontonan seluruh halaman kediaman Hua. Mereka tidak bertarung dengan pedang, melainkan dengan papan catur perang.
Di papan itu, pasukan kayu kecil mewakili kavaleri, infanteri, dan pemanah. Mulan duduk di satu sisi, Zhuge di sisi lain.
Jenderal Hua datang dan duduk di kursi tinggi, menjadi penilai.
“Aturan sederhana,” katanya. “Siapa yang bisa menaklukkan markas lawan terlebih dahulu, menang.”
Zhuge memulai. Ia menggerakkan pion kayunya dengan tenang, membentuk formasi pertahanan yang rapi. Mulan menatapnya, lalu tersenyum aneh.
“Strategi klasik. Membosankan.”
Ia langsung menggerakkan kavaleri ke depan, menyerang cepat dari sisi kiri.
Zhuge hanya menaikkan alis. “Kau terlalu cepat. Serangan tanpa rencana hanya memberi lawan keuntungan.”
“Tapi kalau rencana terlalu lama, lawan sudah merebut waktumu.”
Gerakan demi gerakan berlalu. Para penonton terpana — Mulan menyerang seperti badai, tanpa jeda. Zhuge bertahan seperti gunung, tak tergoyahkan.
Hingga akhirnya, setelah hampir satu jam, papan mereka penuh.
Zhuge menatap langkah terakhir Mulan, lalu tersenyum samar. “Kau pikir kau telah menang?”
Mulan menyeringai. “Markasmu sudah kuambil.”
“Tapi pasukanmu juga hancur semua.”
Ia menunjuk papan. Benar meskipun markas Zhuge ditaklukkan, pasukan Mulan tersisa hanya tiga pion dari dua puluh.
“Dalam perang,” kata Zhuge tenang, “menang saja tidak cukup. Pemimpin sejati memikirkan bagaimana mempertahankan yang ia lindungi.”
Mulan menatap papan itu lama, lalu tersenyum kecil. “Aku kalah.”
Jenderal Hua yang sejak tadi diam, akhirnya berkata, “Tapi kau juga menang.”
Keduanya menoleh.
“Zhuge menang dalam strategi, tapi Mulan menang dalam keberanian untuk mengambil risiko. Dua hal itu ketika digabungkan akan melahirkan kemenangan sejati.”
Zhuge dan Mulan saling pandang. Untuk pertama kalinya, mereka sama-sama terdiam.
---
Malamnya, Jenderal Hua memanggil Mulan ke ruang rahasia di bawah kediaman mereka. Tempat itu gelap, namun dindingnya dipenuhi lambang naga dan peta rahasia kerajaan.
“Ini adalah markas bayangan,” kata sang jenderal. “Hanya keluarga ayah dan ibumu serta orang kepercayaan kita yang tahu tempat ini.”
Di tengah ruangan, ada peti besi berisi gulungan-gulungan tua dan pedang panjang bersarung hitam.
“Pedang itu...” bisik Mulan.
“Pedang ‘Xuan Feng’,” ujar ayahnya. “Pedang yang diwariskan turun-temurun pada pemimpin pasukan bayangan. Ia hanya akan bersinar jika digunakan oleh tangan yang berani dan jujur.”
Jenderal Hua menatap putrinya lama. “Kau akan memimpin mereka suatu hari nanti. Tapi belum sekarang.”
Mulan melangkah mendekat. “Kenapa belum sekarang?”
“Karena kekuatan tanpa arah adalah kehancuran. Aku ingin kau memahami dunia ini dulu — tidak hanya dari sisi perang, tapi juga dari sisi rakyat.”
Mulan menggigit bibirnya. “Bagaimana caranya aku memahami mereka jika aku dikurung di istana?”
Jenderal Hua tersenyum tipis. “Kau pikir aku tak tahu kau sering menyelinap ke pasar malam menyamar jadi pedagang?”
Mulan terkejut. “A-Ayah tahu?”
“Komandan selalu tahu segalanya tentang pasukannya.”
Ia menatap putrinya lembut. “Teruslah lakukan itu, Mulan. Tapi hati-hati. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan. Dan jangan pernah memperlihatkan cincin itu pada siapapun selain orang yang kau percaya nyawanya padamu.”
Mulan menggenggam cincin naga itu. “Aku janji, Komandan.”
---
Beberapa hari kemudian, Mulan kembali ke pasar malam, menyamar sebagai pemuda biasa dengan jubah abu-abu. Ia berjalan di antara keramaian, mendengarkan keluhan rakyat, melihat anak-anak kelaparan, dan wajah-wajah lelah para petani.
“Pajak naik lagi,” kata seorang pria tua di warung arak. “Kaisar menyuruh kita kirim hasil panen ke istana, katanya untuk pembangunan benteng. Tapi tak ada satu bata pun yang kembali untuk desa.”
“Kalau saja ada yang berani melawan...”
“Berani? Siapa? Semua orang takut pada pasukan istana.”
Mulan mendengarkan dalam diam. Di balik jubahnya, tangannya mengepal kuat.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menabraknya dan hampir jatuh. Mulan menangkapnya cepat. “Hei, hati-hati.”
Anak itu gemetar. “Mereka... mereka mengambil ibu saya!”
“Apa?” Mulan berjongkok. “Siapa yang mengambil ibumu?”
“Prajurit istana... katanya ibu belum bayar pajak.”
Mulan berdiri, matanya berkilat. “Tunjukkan jalannya.”
Di ujung pasar, sekelompok prajurit istana sedang menyeret seorang wanita paruh baya. Orang-orang hanya menunduk, tak berani menolong.
“Lepaskan dia!” teriak Mulan lantang.
Semua orang menoleh. Prajurit berpakaian zirah emas mendengus. “Siapa kau, berani menantang prajurit istana?”
Mulan menurunkan tudung kepalanya perlahan, menatap tajam. “Seseorang yang muak melihat ketidakadilan.”
Prajurit itu tertawa. “Kau pikir kau bisa melawan kami sendirian?”
Mulan tidak menjawab. Ia hanya bergerak. Dalam sekejap, ia merebut tombak dari tangan prajurit pertama, memutar tubuh, dan memukul lehernya dengan gagang senjata. Prajurit itu roboh. Dua lainnya menyerang bersamaan, tapi Mulan melompat, menendang dada salah satunya hingga terhempas ke dinding.
Orang-orang di pasar menahan napas. Dalam tiga gerakan cepat, ketiga prajurit istana tumbang.
“Bawa ibumu pulang,” kata Mulan pada anak kecil itu.
Wanita itu menatapnya dengan air mata. “Terima kasih... siapa pun Anda...”
Mulan menatap mereka lembut. “Hanya seseorang yang percaya bahwa rakyat seharusnya tidak hidup dalam ketakutan.”
Ia lalu menghilang di antara kerumunan, meninggalkan keheningan panjang di belakangnya.
Di kejauhan, dari atas atap, seorang pria berjubah hitam memperhatikan adegan itu.
“Jadi... benar dia darah Hua,” gumamnya pelan. “Semakin mirip ibunya.”
Ia berbalik, menghilang dalam bayangan malam.
Sementara itu, Mulan berjalan pulang ke kediaman Hua, menatap langit gelap yang mulai menaburkan bintang.
Dalam hatinya, sesuatu mulai tumbuh bukan lagi sekadar keberanian. Tapi panggilan.
Panggilan untuk menjadi lebih dari sekadar putri jenderal.
“Jika ayah menunggu waktu yang tepat,” pikirnya, “maka aku akan menjadi waktunya.”
Bersambung