"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 18
Arthur melangkah ke jendela, membuka tirai lebar-lebar. Cahaya pagi langsung masuk, membuat ruangan terlihat lebih terang, sekaligus memperlihatkan dengan jelas wajah pucat Camilla.
Mary menahan napas. Dalam cahaya itu, jelas sekali Putri Mahkota tampak rapuh. Kontras dengan malam sebelumnya saat ia masih duduk anggun di samping Arthur dalam jamuan.
Arthur menatap keluar jendela, ke arah taman istana yang sunyi. “Aiden harus diberi tahu. Aku ingin penyelidikan dimulai sekarang. Tidak ada pelayan, tidak ada koki, tidak ada bangsawan yang luput dari pemeriksaan. Aku ingin tahu siapa yang berani mencemari sup itu.”
Mary terkejut. “Sup..? Jadi benar racun itu dari sup yang ia makan?”
Elric mengangguk. “Itu dugaan terkuat, Nona Mary. Gejala pertama muncul beberapa jam setelah jamuan. Sup adalah hidangan utama yang pertama kali beliau santap.”
Mary terdiam, perasaan bersalah menghantamnya. Ia yang tadi siang ikut membantu dayang mempersiapkan tempat, tapi sama sekali tidak menduga makanan bisa jadi senjata.
Arthur menoleh singkat padanya. “Jangan biarkan rasa bersalah membuatmu lengah. Jika ada yang ingin melemahkannya, mereka juga bisa menyasar orang-orang terdekatnya. Jaga dirimu.”
Kata-kata itu membuat Mary merinding. Bukan hanya ancaman terselubung, tapi juga semacam peringatan tulus.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki tegas terdengar dari koridor. Aiden masuk, wajahnya muram. Ia menunduk hormat pada Arthur, lalu melirik cepat ke arah ranjang. “Bagaimana keadaannya?”
Arthur menjawab singkat. “Stabil. Untuk saat ini.”
Aiden menatap Elric. “Jenis racun?”
Elric menggeleng. “Belum pasti. Saya masih meneliti.”
Arthur berbalik menghadap Aiden, sorot matanya tajam. “Mulai sekarang, tidak ada makanan atau minuman yang masuk ke kamar ini tanpa kau periksa sendiri. Aku tidak peduli jika itu hanya air putih.”
Aiden mengangguk tanpa ragu. “Baik, Yang Mulia.”
Arthur mendekat, suaranya merendah tapi penuh tekanan. “Aku ingin nama pelakunya. Siapa pun yang menyentuh periuk sup semalam, siapa pun yang punya akses ke dapur. Semua harus diperiksa.”
Aiden menunduk. “Saya akan mulai segera.”
Saat Aiden hendak keluar, Arthur menambahkan, “Dan Aiden, jangan beri ampun.”
Aiden berhenti sejenak, lalu mengangguk. “Mengerti.”
Begitu pintu tertutup, kamar kembali sunyi. Hanya napas Camilla yang berat terdengar. Mary kembali duduk di samping ranjang, menatap tuannya dengan cemas.
Arthur masih berdiri, tangannya menggenggam kusen jendela begitu erat hingga buku jarinya memutih. Dalam hatinya, badai amarah berkecamuk. Ia jarang membiarkan emosinya muncul, tapi kali ini berbeda.
Camilla hanyalah seseorang yang baru saja memasuki lingkaran hidupnya, seseorang yang seharusnya mudah ia abaikan jika jatuh. Namun entah mengapa, melihat tubuhnya terbakar racun membuat sesuatu di dalam dirinya terusik.
Ia membalikkan badan, kembali duduk di sisi ranjang. Tatapannya melembut sesaat saat melihat Camilla menggeliat kecil, seolah mencari kenyamanan dalam tidur gelisahnya.
Arthur mendekatkan wajahnya sedikit. “Jika kau berpikir aku akan membiarkanmu jatuh… kau salah besar.”
Mary sempat mendongak, matanya membesar mendengar bisikan itu. Tapi ia segera menunduk kembali, berpura-pura tidak mendengar.
Tabib Elric diam saja, pura-pura sibuk meracik ramuan di meja kecil. Namun dalam hatinya, ia tahu satu hal bahwa siapa pun dalang racun ini, mereka baru saja memantik murka Putra Mahkota yang paling berbahaya.
Arthur sendiri memang tidak memiliki perasaan pada Camilla (setidaknya sekarang) namun dia tahu bahwa meracuninya bukan cara yang tepat untuk menyingkirkan wanita itu.
Lagipula masih banyak waktu sebelum dia menjadi Kaisar dan menurutnya dalam waktu itu bisa jadi dia memilih Camilla atau mungkin wanita lain.
***
Koridor istana pagi itu terasa lebih dingin daripada biasanya. Cahaya matahari yang masuk lewat kaca patri tidak mampu mengusir hawa mencekam yang merayap di setiap sudut.
Para pelayan berjalan tergesa-gesa, menundukkan kepala, berusaha tidak menarik perhatian para pengawal yang kini berjaga dua kali lebih banyak dari hari-hari biasa.
Aiden melangkah cepat, sepatu botnya menghentak lantai marmer. Di tangannya ada daftar nama yang sudah ia tulis sejak fajar, nama-nama pelayan dapur, juru masak, dan pembantu yang bertugas semalam. Setiap satu nama berarti satu kemungkinan tersangka, dan ia tak punya waktu untuk berlembut hati.
Saat ia sampai di aula kecil yang disulap menjadi ruang interogasi, dua pengawal segera membuka pintu. Di dalam, seorang gadis pelayan berlutut, tubuhnya gemetar hebat.
“Namamu?” suara Aiden tajam, menusuk hening.
“S-Selina, Tuan,” jawab gadis itu terbata.
Aiden mengamati setiap gerakannya. “Kau ada di dapur semalam?”
“Ya, Tuan. Saya hanya.. hanya mengupas sayuran. Tidak lebih.”
Tatapan Aiden seperti belati, namun ia bisa melihat ketakutan di mata gadis itu bukan kepura-puraan. Ia mencatat cepat, lalu memberi isyarat pada pengawal. “Bawa keluar. Ganti dengan berikutnya.”
Pelayan itu tersedu saat ditarik keluar, meninggalkan keheningan singkat sebelum pintu dibuka lagi.
Orang berikutnya adalah seorang pria paruh baya, juru masak pembantu. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis.
Aiden belum sempat bertanya ketika Elric masuk tergesa. “Yang Mulia memanggilmu,” katanya pendek.
Aiden mendengus kecil, tapi segera beranjak. Ia tahu perintah Arthur bukan sesuatu yang bisa ditunda.
Di kamar Putri Mahkota, suasana lebih tenang namun tetap tegang. Camilla masih terbaring, wajahnya pucat namun sedikit lebih damai berkat ramuan Elric. Mary duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan tuannya erat-erat.
Arthur berdiri di dekat jendela, sama seperti tadi pagi, sorot matanya tajam menatap keluar. Begitu Aiden masuk, ia langsung berbalik.
“Bagaimana hasilnya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aiden menunduk. “Belum ada yang mengaku. Semua ketakutan, tapi sejauh ini tidak ada yang tampak mencurigakan.”
Arthur mengepalkan tangan. “Kalau begitu, tutup semua pintu keluar istana. Tidak seorang pun boleh pergi sampai ada yang mengaku"
Aiden mengangguk dalam. “Saya mengerti, Yang Mulia.”
***
Sementara itu, jauh di lorong pelayan, bisikan-bisikan ketakutan mulai menyebar. Para dayang saling menatap dengan mata panik, mereka sama sekali tidak tahu siapa yang terlibat atas insiden tersebut.
Namun beberapa dari mereka mulai berbisik menanyakan siapa saja yang hadir saat pengolahan makanan.
"Aku memang hanya memotong sayuran.."
"Lalu siapa yang menaruh racun di supnya?"
"Bukankah kemarin ada pelayan baru dari daftar pergantian yang ikut membantu? Kalau tidak salah ada 3 orang"
Semua saling menoleh seolah mencari siapa saja yang wajahnya terlihat baru disana.
"Saya memang baru bergabung kemarin, tapi kemarin saya hanya di tugaskan untuk menata membersihkan peralatan yang akan di pakai saat makan" jawab salah satu wanita.
"Benar, saya juga baru disini dan saya bersama dengannya, kalau tidak salah ada seorang pria yang baru"
"Ah.. benar! Dia yang mengaduk sup itu.. namanya.. astaga.. aku lupa menanyakan namanya waktu itu!" Ucap Lira dengan nada kesal lalu yang lain hanya bisa menghembuskan nafas kecewa.
"Yasudah, setidaknya kau bisa mengatakan yang sejujurnya pada mereka agar kita tidak di tuduhan sebagai pelaku"
Semuanya menganggukkan kepala.
***
Lorong pelayan kembali sunyi setelah bisikan itu. Semua menunduk, takut suaranya terdengar.
Di ruang interogasi yang kini berfungsi sebagai pusat laporan, Aiden duduk di kursi kayu besar. Tangan kirinya menggenggam daftar nama, sementara tangan kanannya mengetuk pelan gagang pedang di pinggangnya. Tatapannya tajam meneliti siapa saja yang berani masuk.
Ketika tiga pelayan itu dipanggil, suasana makin tegang.
“Lapor, Tuan,” Lira berbisik, lututnya gemetar. “Ada seorang pria baru di dapur semalam. Namanya tidak saya ketahui namun anda bisa melihat dalam daftar pelayan baru.”
Aiden mengangkat alis dan membaca selembar kertas itu. “Garrick?”
“Ya. Dia… dialah yang mengaduk sup sebelum dihidangkan.”
Suara riuh kecil terdengar dari pengawal yang berjaga di belakang.
“Tidak ada Garrick dalam catatan perekrutan resmi, tapi namanya ada di lembaran persetujuan masuk istana,” ujarnya dingin. “Kalian yakin tidak salah lihat?”
Ketiga pelayan itu buru-buru menggeleng. “Tidak, Tuan! Kami melihatnya sendiri. Dia tinggi, rambut hitam agak panjang, ada bekas luka di pipi kanan.”
Aiden menatap mereka lama, menimbang. Ia tahu pelayan sering kali salah mengingat wajah, namun jika tiga orang bersaksi serupa, itu tak mungkin kebetulan.
Ia menoleh pada prajurit. “Sebarkan perintah. Cari orang bernama Garrick. Tangkap, hidup atau mati.”
Malam itu, istana bergemuruh oleh suara derap langkah pasukan. Setiap lorong disisir, setiap kamar diperiksa, bahkan gudang dan ruang bawah tanah yang jarang dibuka pun tak luput dari penggeledahan.
“Tidak ada,” lapor seorang prajurit pada Aiden. “Kami sudah menyisir barak pelayan, dapur, gudang penyimpanan gandum. Nama Garrick tidak dikenal.”
Aiden mengerutkan kening. “Cari lagi. Tanya setiap pelayan, setiap penjaga pintu. Seseorang pasti melihatnya.”
Di sisi lain, Mary yang mendengar kabar itu dari pengawal merasa dadanya makin sesak. Jika benar ada Garrick, lalu bagaimana ia bisa masuk ke dapur tanpa tercatat? Itu berarti ada tangan yang lebih tinggi yang sengaja menyelundupkannya.
***
Pagi berikutnya, laporan lain datang.
“Tuan, ada seorang penjaga yang mengaku melihat pria dengan ciri-ciri mirip Garrick keluar dari dapur belakang semalam, tepat sebelum hidangan dibawa ke aula.”
“Kenapa baru melapor sekarang?” bentak Aiden.
Penjaga itu gemetar. “Ampun, Tuan… saya pikir dia bagian dari kelompok perekrutan baru. Saya tidak tahu..”
Aiden tak mendengarkan lagi. Ia sudah memutar pikirannya cepat. Jika benar pria itu kabur lewat dapur belakang, artinya ia tak berjalan sendirian. Pintu dapur selalu dijaga. Ada orang dalam yang menutup mata.
Ia menggebrak meja. “Semua penjaga yang bertugas semalam, bawa kemari!”
Namun meski satu per satu diperiksa, tidak ada yang mengaku. Seolah-olah semua telah diatur dengan sempurna.
Saat Aiden melapor pada Arthur, Putra Mahkota itu berdiri kaku di depan ranjang Camilla. Tangannya menggenggam kuat sandaran kursi.
“Jadi orang itu benar-benar ada, tapi tidak ada dalam catatan?”
Aiden menunduk. “Benar, Yang Mulia. Namanya Garrick. Tapi jejaknya menghilang. Seolah ia hanya bayangan.”
Arthur terdiam lama, lalu matanya menyipit. “Kalau begitu, ada yang sengaja membuka pintu untuknya. Ini bukan pekerjaan seorang pelayan biasa. Ada dalang di belakangnya.”
Perintah baru dikeluarkan agar prajurit mulai menyisir kota. Potret wajah Garrick digambarkan berdasarkan deskripsi pelayan tersebut, tinggi, rambut hitam panjang, bekas luka di pipi kanan.
Mereka mendatangi pasar, penginapan, rumah minum, bahkan gang-gang sempit di luar tembok.
Namun jawabannya selalu sama, tidak ada yang bernama Garrick.
“Seakan dia tidak pernah ada,” bisik seorang prajurit dengan gusar.
Aiden yang mendengar laporan itu semakin geram. Ia tahu hanya ada dua kemungkinan, Garrick disembunyikan dengan baik, atau ia sudah dibunuh untuk menghapus jejak.
***
Di sisi lain istana, Annette duduk di ruang pribadinya, memainkan cangkir teh dengan senyum tipis. Kabar tentang pencarian Garrick sudah sampai ke telinganya, tapi ia sama sekali tidak cemas.
“Cari saja sampai puas,” bisiknya pelan. “Bahkan jika mereka menemukan jejaknya, Garrick sudah tidak lagi berguna.”