Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan yang Mematikan
Cawan racun pertamanya, dan ia menatapnya seolah itu adalah seekor ular berbisa yang siap mematuk. Uap tipis yang mengepul membawa aroma samar yang familier, aroma yang pernah menyelimuti hari-harinya dalam kabut kelesuan dan keputusasaan.
"Yang Mulia, silakan," suara Puan Choi memecah lamunannya. Manis, tetapi setajam belati yang tersembunyi di balik sutra. "Ramuan ini paling berkhasiat selagi hangat. Restu Ibu Suri ada di dalamnya."
Hwa-young mengangkat pandangannya dari cawan seladon itu, menatap lurus ke mata Puan Choi. Ia tidak lagi melihat seorang dayang senior. Ia melihat salah satu anjing penjaga Matriarch Kang, yang ekornya bergoyang paling kencang saat tuannya melemparkan tulang. Di kehidupan sebelumnya, tatapan seperti ini akan membuatnya gemetar. Sekarang, yang ia rasakan hanyalah amarah dingin yang membeku di pembuluh darahnya.
"Aku tidak akan meminumnya," ucap Hwa-young. Tenang tanpa getaran, tetapi memotong keheningan ruangan seperti bilah es.
Senyum di wajah Puan Choi membeku sesaat, retak di tepiannya. "Maaf, Yang Mulia? Mungkin hamba salah dengar."
"Telingamu berfungsi dengan baik, Puan Choi," jawab Hwa-young, nadanya masih sama datarnya. "Letakkan cawan itu di meja."
"Yang Mulia pasti lelah setelah upacara yang panjang. Namun, ini adalah perintah langsung dari Ibu Suri. Beliau sangat peduli pada kesehatan dan kelangsungan garis keturunan kekaisaran."
Gaun pengantin Hwa-young berdesir pelan. "Namun, kepeduliannya kali ini tampaknya telah melangkahi tradisi paling sakral di istana ini."
Alis Puan Choi terangkat. "Melangkahi tradisi? Apa maksud Yang Mulia?"
"Ramuan penyubur kandungan," Hwa-young memulai penjelasannya, suaranya terdengar seperti seorang guru yang sedang menguji muridnya yang lamban. "Di malam pertama, menurut kitab tata cara istana yang ditulis pada masa Kaisar Taejo Agung, harus dipersembahkan oleh suami kepada istrinya. Cawan itu diserahkan dari tangan Pangeran Mahkota ke tangan Putri Mahkota. Itu adalah simbol penyatuan, doa bersama untuk masa depan kekaisaran. Bukan sesuatu yang diantarkan oleh seorang dayang, betapapun seniornya dirimu."
Puan Choi terdiam. Wajahnya pias. Ia tahu tentang tradisi itu, tentu saja. Semua orang di istana tahu. Namun, tradisi itu sering kali diabaikan demi kepraktisan, terutama jika Matriarch Kang yang memberi perintah. Siapa yang berani menentangnya?
"Yang Mulia, itu ... itu hanya formalitas lama," Puan Choi mencoba berkilah, suaranya sedikit goyah. "Niat baik Ibu Suri adalah yang terpenting."
"Di istana ini, Puan Choi, formalitas adalah segalanya," sela Hwa-young tajam. "Formalitas adalah yang membedakan kita dari rakyat jelata. Formalitas adalah tulang punggung tatanan. Apakah kau mengatakan bahwa perintah Ibu Suri lebih tinggi daripada tatanan yang telah dibangun oleh para leluhur?"
Sebuah tuduhan berbahaya. Menempatkan Matriarch Kang sebagai penentang tradisi leluhur adalah langkah yang sangat berani. Puan Choi menelan ludah, keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Putri Mahkota di hadapannya ini berbeda. Tatapannya tajam, logikanya tanpa celah, dan auranya ... auranya begitu menekan.
"Tentu saja tidak! Bukan itu maksud hamba!" seru Puan Choi, sedikit panik. "Hamba hanya menjalankan perintah. Ibu Suri hanya ingin memastikan Yang Mulia mendapatkan yang terbaik."
"Yang terbaik untukku adalah mengikuti aturan yang berlaku," jawab Hwa-young, kini berdiri tepat di hadapan wanita itu. "Aku adalah Putri Mahkota kekaisaran ini. Aku akan menghormati tradisinya. Aku akan menunggu suamiku, Pangeran Mahkota Yi Seon, untuk memberikan cawan ini kepadaku. Jika beliau tidak melakukannya, maka cawan itu tidak akan tersentuh."
Ia melirik ke arah cawan seladon itu dengan sorot mata yang mengandung cemoohan tipis. "Bawa kembali minuman ini. Sampaikan pesanku kepada Ibu Suri. Aku berterima kasih atas perhatiannya, tetapi aku akan mematuhi protokol istana."
Puan Choi menatap Hwa-young, lalu ke cawan di nampan, lalu kembali ke Hwa-young. Ia datang dengan misi sederhana, memastikan sang putri meminum racun itu. Kegagalan berarti kemarahan Matriarch Kang, dan itu adalah sesuatu yang lebih menakutkan daripada tatapan dingin Putri Mahkota.
"Yang Mulia, mohon pertimbangkan lagi," desis Puan Choi, nadanya kini mengandung ancaman yang hampir tak terselubung. "Menolak kebaikan Ibu Suri bisa dianggap sebagai ... tindakan tidak hormat."
Hwa-young tersenyum tipis. Senyum pertama yang ia tunjukkan malam ini, dan itu membuat Puan Choi merinding. "Dan memaksa Putri Mahkota untuk melanggar tradisi sakral bisa dianggap sebagai apa, Puan Choi? Penghinaan terhadap leluhur? Atau mungkin ... pengkhianatan?"
Kata 'pengkhianatan' menggantung di udara, berat dan mematikan. Kata yang sama yang telah menghancurkan hidup Hwa-young sebelumnya. Menggunakannya sekarang terasa seperti merebut kembali senjata dari tangan musuhnya.
Puan Choi mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. Ia kalah. Ia tidak punya argumen balasan. Dengan tangan gemetar, ia memberi isyarat kepada pelayan untuk menurunkan nampan.
"Baiklah, Yang Mulia," ucapnya dengan gigi terkatup. "Akan hamba sampaikan pesan Anda kepada Ibu Suri."
"Bagus," kata Hwa-young singkat. Ia kemudian berbalik, berjalan kembali ke arah meja rias seolah percakapan itu telah selesai dan sama sekali tidak penting. "Kau boleh pergi sekarang."
Sikap acuh tak acuh itu adalah penghinaan terakhir. Puan Choi mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, amarah dan rasa malu membakar wajahnya.
Hwa-young menatap bayangannya di cermin perunggu. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena luapan adrenalin kemenangan. Itu berhasil. Pertarungan pertamanya, sekecil apa pun, telah ia menangkan. Ia menggunakan pengetahuan dan aturan mereka untuk melawan mereka. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya merasakan secercah harapan.
Namun, ia tahu ini baru permulaan. Matriarch Kang tidak akan menerima penolakan ini dengan mudah. Badai yang lebih besar pasti akan datang.
Di balik layar kertas berlukiskan pemandangan gunung yang memisahkan kamar tidur utama dari ruang depan, sesosok bayangan berdiri tak bergerak. Yi Seon telah berada di sana selama sepuluh menit terakhir. Ia seharusnya masuk lebih awal, menjalankan tugasnya sebagai suami di malam pernikahan politik ini. Namun, suara percakapan yang tak terduga menahannya.
Ia mendengar semuanya.
Awalnya, ia mengira Hwa-young akan meminumnya dengan patuh, seperti domba yang digiring ke pembantaian. Itulah citra yang ia miliki tentang putri dari keluarga bangsawan yang kekuasaannya telah dipreteli itu, cantik, penurut, dan tidak berbahaya. Sebuah pion yang sempurna untuk ibunya, Matriarch Kang.
Namun, apa yang baru saja ia saksikan menghancurkan citra itu berkeping-keping.
Suara Hwa-young yang tenang tapi tegas. Logikanya yang tajam dan tak terbantahkan tentang tradisi. Caranya membalikkan tekanan pada Puan Choi, seorang wanita yang bahkan para menteri senior pun segan melawannya. Yi Seon merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Campuran antara keterkejutan, kekaguman yang enggan, dan kecurigaan yang mendalam.
Gadis ini ... bukan gadis yang ia temui selama persiapan pernikahan. Gadis itu pemalu, selalu menunduk, dan hampir tidak pernah berbicara lebih dari dua kata. Wanita yang baru saja mengusir utusan ibunya memiliki tatapan seekor elang.
Sebagian dari dirinya, bagian yang membenci cengkeraman Keluarga Kang, merasa puas melihat Puan Choi pergi dengan wajah pucat. Namun, bagian yang lebih besar, bagian seorang Pangeran Mahkota yang paranoid dan selalu waspada, segera mengambil alih.
Siapa wanita ini sebenarnya? Apakah ini semua hanya sandiwara? Apakah ia pion dari faksi lain yang mencoba menyusup ke dalam istana? Atau apakah ia hanya seorang gadis bodoh yang baru saja menandatangani surat kematiannya sendiri dengan menentang Matriarch Kang secara terbuka?
Yi Seon tidak menyukai anomali. Dan Hwa-young, saat ini, adalah anomali terbesar di istananya. Ia harus tahu. Ia harus mengerti apa yang sedang terjadi.
Dengan langkah yang disengaja dan tanpa suara, ia keluar dari balik layar. Lantai kayu yang dipoles tidak berderit di bawah sepatunya. Ia melintasi ruangan, kehadirannya seolah menyerap semua kehangatan dari lilin dan lentera.
Hwa-young, yang baru saja berhasil menenangkan napasnya, merasakan perubahan atmosfer di ruangan itu. Sebuah hawa dingin yang familier merayap di tengkuknya. Ia berbalik perlahan.
Di sana, berdiri di tengah ruangan, adalah suaminya. Pangeran Mahkota Yi Seon. Wajahnya setampan pahatan pualam, dan sedingin itu pula. Matanya yang gelap menatap Hwa-young, tajam dan menusuk, seolah mencoba menguliti jiwa Hwa-young untuk melihat apa yang ada di baliknya. Ini adalah tatapan yang sama yang ia berikan padanya di pengadilan, tepat sebelum vonis eksekusi dibacakan.
Napas Hwa-young tercekat di tenggorokan.
Yi Seon melangkah maju, berhenti hanya beberapa langkah darinya. Keheningan di antara mereka terasa berat, sarat dengan pertanyaan yang tak terucap dan kenangan pahit yang hanya diketahui oleh salah satu dari mereka.
Akhirnya, ia membuka suara. Bibirnya yang tipis bergerak membentuk kata-kata yang dingin dan menuntut, tanpa sedikit pun kehangatan yang pantas untuk seorang pengantin baru.
"Jelaskan penolakanmu, Nyonya.”