Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
“Hey! Tidak adil,” protesnya sambil menyusul ke garasi. Dasha tak menanggapi dan langsung masuk ke mobil.
“Kalian sudah siap?” tanyanya pada anak-anak di kursi belakang, sembari mengaitkan sabuk pengaman.
“Yes, Mima!” jawab mereka bersamaan.
“Tante Indie akan menjemput kalian nanti sore, dan kalian akan tinggal dulu di mansion. Kami akan ke sana setelah selesai kerja, ya?” Issa menjelaskan sambil menyalakan mesin.
“Tante Indie?” seru Lea girang. “Boleh kami jalan-jalan sama dia, Papa?”
“Tentu. Papa akan bicarakan dengannya nanti.”
“Yey! Terima kasih! Papa memang yang terbaik!”
“Aku sih di rumah saja sama Pama Dylan. Kita bisa main PS5. Jalan-jalan sama Tante Indie dan Lea itu melelahkan,” celetuk Leo santai.
“Jahat, Kakak!”
Dasha hanya terkekeh. Ya, begitulah anak laki-laki.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan sekolah. Setelah mengantar anak-anak masuk ke gerbang, Dasha dan Issa pun melanjutkan perjalanan ke kantor.
***
Dasha masih bekerja sebagai sekretaris Issa. Ia memang memilih tetap bekerja, tidak ingin menggantungkan segalanya pada Issa meskipun kini hubungan mereka sudah membaik. Ia membiarkan Issa menanggung biaya anak-anak, tapi tetap ingin memiliki penghasilan sendiri, termasuk untuk mengirim uang kepada ibunya.
Mereka tiba di kantor tepat pukul delapan pagi. Orang-orang di kantor belum mengetahui hubungan mereka yang sebenarnya, meski gosip sudah beredar ke mana-mana. Tapi keduanya tak menghiraukannya. Untuk apa membuang waktu pada desas-desus?
Mereka tengah berjalan di lobi ketika seseorang memanggil namanya.
“Sha!” panggil Sera yang baru datang.
“Kamu duluan saja. Aku bicara sebentar sama Sera, oke? Dan kali ini aku nggak menerima penolakan,” katanya pada Issa. Pria itu hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya.
“Telat ya? Baru kali ini kamu begini. Lembur?” goda Dasha saat Sera sudah mendekat.
“Jangan ditanya deh,” jawabnya lesu.
“Ceritain nanti waktu makan siang, ya? Bisa kan? Di kafetaria aja. Jangan sampai bosmu itu ngelarang lagi kamu makan bareng aku,” candanya.
“Jangan keras-keras ngomongnya, Sera. Nanti ada yang dengar.”
“Ah, dasar. Kantor aja udah tahu gosip kalian, masih takut ketahuan,” katanya sambil menahan tawa.
“Gosip itu cuma omong kosong, Sera.”
“Baiklah, Nyonya Pembela. Yuk naik. Aku udah kena potongan gaji karena telat. Sementara kamu, jam berapa pun datang tetap aman. Hmp!” omelnya sepanjang mereka masuk lift.
Lift terasa hening. Saat Sera turun di lantai delapan, ia masih sempat mengingatkan Dasha soal makan siang mereka nanti.
Perempuan itu memang keras kepala.
Begitu tiba di lantai paling atas, Dasha keluar lift dan mendapati suasana kantor luar biasa tenang. Ia mengintip ke ruang Issa. Pria itu duduk di kursinya, menatap lurus ke pintu tempat Dasha berdiri. Hampir saja ia menjerit karena kaget.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya.
“Menunggu kamu.”
“Untuk apa? Tanganku nggak kamu pegang, tapi kamu tetap nggak bisa tanda tangan tanpa aku?”
“Kamu galak banget hari ini,” jawab Issa pura-pura tersinggung.
“Nanti aku makan siang sama Sera di kafetaria. Aku kirim makanan ke kamu. Tapi pastikan kamu habiskan ya, kalau nggak--” katanya sambil melirik tajam.
“Baiklah,” sahut Issa sambil manyun, membuat Dasha hampir tertawa.
Sejak mereka kembali, Issa memindahkan meja kerja Dasha ke dalam ruangannya. Gila, bukan? Bagaimana ia bisa tahu siapa yang datang kalau mereka berdua di ruangan tertutup? Tapi seperti biasa, ia tidak bisa menolak kemauan pria itu. Issa memang keras kepala.
Beberapa jam berikutnya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
***
Menjelang makan siang, Issa masih tenggelam dalam tumpukan dokumen. Dasha berdiri, memeriksa ponselnya, pesan dari Sera, mengabarkan bahwa ia sudah di kafetaria.
“Aku belikan makan siang, mau apa?” tanya Dasha.
“Apa saja. Kamu tahu yang aku suka dan tidak,” jawabnya tanpa menoleh dari berkas-berkasnya.
“Baiklah. Aku kirim nanti ke sini. Istirahatkan matamu sebentar, Issa,” pesannya sebelum keluar.
Namun saat pintu lift terbuka, langkahnya terhenti. Seorang perempuan berpenampilan elegan keluar dari lift, anggun, wangi, dengan tatapan percaya diri.
“Ada yang bisa saya bantu, signorina?” tanya Dasha sopan.
“Kau sekretaris Issa, kan? Aku datang untuk menemuinya. Dia di dalam, bukan?”
Dasha mengangguk refleks.
“Bagus! Terima kasih, Nona Sekretaris. Aku yakin dia akan terkejut melihatku,” kata perempuan itu sambil tersenyum misterius, lalu melangkah melewatinya begitu saja.
Dasha sempat hendak menanyakan siapa dia, tapi ponselnya kembali bergetar, Sera mengingatkan agar cepat turun sebelum jam istirahat habis.
Ia menghela napas dan menuruni lift, tapi pikiran tentang perempuan tadi tak mau pergi.
***
“Hey, kamu kenapa, Sha?” tanya Sera sambil menjentikkan jarinya di depan wajahnya.
“Ah, tidak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu.”
“Dan itu adalah?”
“Tadi ada perempuan ke ruang Issa. Aku nggak kenal. Nggak ada janji juga. Aku cuma... penasaran siapa dia.”
“Ya ampun,” mata Sera langsung membulat.
“Apa? Kenapa?” dada Dasha tiba-tiba sesak.
“Jangan-jangan... perempuan dia!” katanya dengan nada dramatis.
“P-perempuan dia?” Dasha tercekat. Perempuan tadi cantik sekali, elegan, jelas dari keluarga berada.
“Eh, bercanda! Jangan diambil hati. Aku cuma nyeletuk. Tapi ya... kalau benar?” katanya setengah menyesal.
Dasha kehilangan selera makan. Ia hanya menunggu Sera menghabiskan makanannya. Saat itulah, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Kamu terlihat familiar,” gumam Dasha. Lalu lampu di kepalanya seolah menyala. “Colin?”
“Benar sekali! Kupikir kamu sudah lupa padaku. Sakit hati lho, hati aku nanti,” jawab pria itu sambil tertawa kecil.
“Bodoh,” jawab Dasha sambil ikut tertawa. Kehadirannya entah kenapa membuat pikirannya sedikit tenang.
“Ehem,” suara Sera berdehem pura-pura.
“Sera, ini Colin. Colin, ini Sera, sahabatku,” katanya memperkenalkan.
“Senang bertemu kalian. Tapi langsung saja ya, kau tertarik pada sahabatku ini? Aku peringatkan, dia sudah punya seseorang,” kata Sera tanpa basa-basi.
“Sera!” protes Dasha. Ia menatap Colin minta maaf.
“Tidak, tenang saja. Dia mengingatkanku pada adikku. Itu sebabnya aku nyaman bicara dengannya,” jawab Colin santai.
“Baiklah, hanya memastikan,” balas Sera sambil masih menatap tajam.
Colin tertawa kecil. “Aku cuma mau menyapa sebenarnya. Jam istirahat hampir habis.” Ia tersenyum lalu pergi.
Sera menatap punggung Colin sambil menyipitkan mata. “Aku mencium sesuatu.”
“Dia sudah bilang, Sera. Kamu aja yang terlalu curiga.”
“Bukan itu maksudku. Ada sesuatu yang lain... entahlah. Aku cuma merasa aneh.”
“Sudahlah. Cepat habiskan makanmu, nanti telat lagi,” kata Dasha. Sera mengangguk dan menyuap sendok terakhirnya.
Mereka naik lift bersama lagi setelah itu. Saat Sera turun lebih dulu di lantai delapan, Dasha melambaikan tangan.
Begitu pintu lift tertutup, Dasha menepuk dahinya sendiri.
“Astaga... makan siang Issa!”