NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7. Perjodohan

Suasana riuh memenuhi lapangan basket sore itu. Suara sepatu yang beradu dengan lantai, teriakan penonton, dan peluit wasit berpadu membentuk hiruk-pikuk yang seru. Di antara kerumunan, empat pria duduk berjejer di tribun atas—masing-masing dengan ekspresi berbeda.

"Lo kenapa sih, Ren, ngajakin kita nonton? Bukannya baru pulang dari Paris harusnya bagi oleh-oleh, ini malah nonton basket sambil manyun," celetuk Haikal sambil menyeruput minuman botolnya.

Daren menatap ke arah lapangan tanpa menjawab. "Gue gak manyun, Haikal. Gue cuma pengin nonton pertandingan aja."

Haikal mendengus. "Ah, gaya lo. Kita temenan udah belasan tahun, Ren. Lo kira kita gak tau kalo lo lagi galau?"

Nathanael—atau yang biasa dipanggil Nael—ikut menimpali sambil menyandarkan punggung. "Udah deh, buruan cerita. Atau mau pindah ke kafe biar suasananya lebih tenang?"

Rion yang dari tadi diam ikut mengangguk. "Iya, lo dari tadi diem banget. Ada apa, Ren?"

Daren akhirnya menarik napas panjang. "Gue… dijodohin."

Tiga pasang mata langsung menatapnya bersamaan.

"What?"

"Seriusan?"

"Akhirnya juga ada yang mau!" sahut Haikal, pura-pura terkejut tapi jelas menggoda.

Daren hanya menatap lurus ke depan. "Masalahnya… yang dijodohin sama gue itu Selena."

Sekejap, suasana langsung hening.

"Selena?" Rion mengulang, memastikan telinganya gak salah dengar.

"Selena mantan adik ipar lo itu?" tanya Haikal cepat.

"Selena yang lo taksir dari SMA?" tambah Nael, matanya menyipit curiga.

"Selena yang bikin lo sampai sekarang gak pernah pacaran sama siapa pun?" lanjut Rion lagi-lagi, membuat ketiganya serentak menatap Daren dengan tatapan penuh makna.

Daren mengusap tengkuknya. "Iya… Mama yang ngatur semua. Katanya biar gue bisa jagain Arunika, dan gantiin posisi Kavi sebagai ayahnya."

Nael mencondongkan tubuh, suaranya melembut tapi menusuk. "Gue tanya sekali, Ren. Lo masih ada perasaan sama Selena, kan?"

Daren buru-buru menggeleng. "Udah enggak."

Haikal langsung tertawa kecil, tak percaya. Nael memutar bola matanya. "Ah, bullshit. Kalau lo udah gak punya perasaan, lo gak bakal segitu dinginnya setiap kali nama dia disebut. Lo juga gak bakal betah sendirian bertahun-tahun di Paris cuma buat ngehindarin semuanya."

Rion menimpali dengan nada santai tapi tajam, "Dan lo gak bakal ninggalin bisnis bokap lo cuma karena Kavi lebih dulu nikahin Selena. Lo pergi bukan karena kerjaan, Ren, tapi karena lo kabur dari rasa lo sendiri."

Daren menghela napas, suara berat keluar dari tenggorokannya. "Bukan itu masalahnya. Gue cuma… gak mau Selena ngerasa kalau gue mau nikahin dia buat gantiin posisi Kavi. Gue tahu, dari dulu, dia gak pernah punya perasaan apa pun ke gue."

Nael menatapnya dalam diam beberapa detik sebelum bicara lagi. "Ren, Kavi udah tenang di sana. Lo bukan gantiin dia—lo cuma nerusin hal yang Kavi pasti juga pengin: bikin Selena dan Arunika bahagia lagi."

Haikal menepuk bahu Daren. "Iya, bro. Kadang Tuhan kasih jalan aneh buat nyatuin orang yang sebenernya udah ditakdirin dari lama."

Rion menambahkan pelan, "Lo gak harus takut ngegantiin siapa pun. Lo cukup jadi lo. Kalau Selena bisa lihat itu, dia bakal tahu lo bukan pengganti, tapi pelindung."

Daren terdiam. Sorot matanya menatap kosong ke arah lapangan, tapi pikirannya entah sudah di mana. Di antara suara sorakan penonton, nama “Selena” terus bergaung pelan di kepalanya.

---

Suasana rumah keluarga Vance malam itu terasa jauh lebih hidup dari biasanya. Ruang tengah dipenuhi dengan tawa, obrolan, dan dentingan gelas yang beradu pelan. Aroma masakan yang menggoda menyeruak dari dapur. Malam ini keluarga Vance mengundang Selena beserta kedua orang tuanya untuk makan malam bersama.

Di dapur, Selena sibuk membantu Sekar, Laras, dan para bibi menyiapkan hidangan. Suara wajan beradu dan aroma tumisan bawang membuat suasana semakin hangat. Sementara itu, Arunika tertawa kecil di ruang tamu, duduk di pangkuan kakeknya sambil menunjukkan boneka favoritnya.

Pintu depan terbuka.

Daren baru saja tiba — masih mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut dan jas yang ia tenteng di tangan bersama tas kantornya. Tatapannya menyapu ruangan sejenak, memperhatikan semua orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Wajahnya tampak lelah, dan ada sedikit gurat gelisah di sana. Sejujurnya, ia belum sepenuhnya bisa mencerna obrolan siang tadi—tentang perjodohan yang tiba-tiba diutarakan oleh sahabat-sahabatnya di kantor.

“Depa!” suara nyaring kecil memotong lamunannya.

Arunika berlari kecil mendekat, senyum lebarnya seperti cahaya kecil yang langsung meluruhkan letih Daren.

“Sini main sama aku!”

Daren tak bisa menahan senyum. Ia meletakkan jas dan tasnya di sofa, lalu berjalan mendekat.

Ia duduk di lantai dekat Arunika yang tengah memainkan boneka-bonekanya, memperhatikan gadis kecil itu dengan lembut.

“Boneka siapa yang nakal hari ini?” godanya pelan.

Arunika terkekeh, mengangkat boneka bergaun merahnya tinggi-tinggi.

“Yang ini, Depa! Dia nggak mau makan sayur!”

Daren tertawa kecil, menatap keponakannya dengan tatapan penuh sayang.

Untuk sesaat, suara tawa Arunika berhasil menepis segala kekacauan yang berputar di kepalanya. Namun jauh di dalam dadanya, sesuatu terasa tidak tenang—entah karena ucapan sahabat-sahabatnya tadi siang, atau karena seseorang yang kini sedang sibuk di dapur tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.

---

Makan malam disajikan di meja panjang yang penuh dengan hidangan rumahan: ayam panggang madu, sup bening, sambal matah buatan Sekar, dan salad sayur favorit Selena. Aroma rempah menyatu dengan tawa ringan, menciptakan kehangatan yang jarang hadir di rumah itu.

Obrolan sederhana tentang pekerjaan Daren di kantor, proyek butik Selena, dan cerita sekolah Arunika membuat suasana semakin hidup. Sekar dan Laras sesekali saling melempar gurauan, sementara Samudra dan Arga hanya tersenyum menikmati pemandangan keluarganya yang tampak utuh untuk sesaat.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam pertemuan keluarga—ada kalimat-kalimat yang akhirnya menyingkap hal-hal yang disembunyikan di balik tawa.

---

Setelah makan malam selesai, mereka berpindah ke ruang tamu. Lampu gantung berwarna kuning hangat memantulkan cahaya lembut di wajah masing-masing.

Sekar duduk di sofa, menatap Selena dengan ekspresi lembut tapi tegas.

“Selena,” ucapnya membuka percakapan. “Mama tadi sempat bicara sama Mama kamu. Kami berdua punya kekhawatiran yang sama, Nak. Kamu dan Arunika tinggal hanya ditemani Bi Nana. Mama takut kalau nanti terjadi apa-apa, siapa yang jaga kalian?”

Selena menunduk sopan, tangannya meremas ujung rok yang ia kenakan.

Laras menimpali dengan nada yang terdengar lembut namun sarat tekanan,

“Selen, Mama cuma pengin kamu bahagia lagi. Kavi akan selalu ada di hatimu, tapi kamu juga harus belajar membuka ruang baru untuk orang lain. Jangan terus menutup diri terus, Sayang.”

Selena menghela napas panjang. Kalimat seperti itu bukan hal baru baginya—hanya kali ini, nadanya terasa lebih serius.

“Aku tahu, Ma…” ucapnya perlahan. “Aku akan coba. Tapi tolong... pelan-pelan, ya. Aku belum siap.”

Sekar tersenyum lega, Laras ikut mengangguk.

Namun di sisi lain, Daren duduk kaku di ujung sofa. Tatapannya kosong, seolah sedang menahan sesuatu di dadanya yang tak bisa ia ucapkan.

Samudra berdehem pelan, menembus keheningan yang mulai turun.

“Kebetulan, Papa dan Mama dan juga mertua sudah berunding tentang kalian,” katanya sambil melirik Sekar.

Selena mengerutkan kening. “Kalian... siapa, Pa?”

Samudra menatap mereka berdua—Selena dan Daren—bergantian.

“Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Daren.”

Waktu seolah berhenti sesaat. Hening menelusup di antara detak jam dinding.

Selena menatap ayahnya, tidak percaya. Daren menoleh, tatapannya tajam tapi tak sepenuhnya marah—lebih seperti terkejut dan tersinggung.

“Maksud Papa?” tanya Selena pelan, meski hatinya sudah tahu arah pembicaraan ini.

Samudra menarik napas. “Kami cuma ingin memastikan kalian berdua tidak sendirian. Daren orang yang bisa dipercaya. Kami yakin dia bisa menjaga kamu dan Arunika."

Selena menggigit bibir bawahnya. Suaranya keluar pelan tapi tegas, seperti berusaha berdiri di antara rasa hormat dan keinginannya sendiri.

“Pa… aku memang bilang aku mau belajar membuka hati. Tapi bukan sekarang. Dan bukan sama Kak Daren. Aku sudah anggap dia kayak kakak sendiri.”

Sekar mencoba menenangkan. “Kenapa, Nak? Bukankah Mama dan Papa akan lebih tenang kalau kamu bersama Daren? Dia sudah tahu bagaimana mencintai kalian seperti keluarga sendiri.”

Selena menggeleng, suaranya gemetar. “Mah… aku gak minta dilindungi kayak gini. Aku cuma ingin menjalani hidupku tanpa harus membohongi perasaanku.”

Laras, yang biasanya lembut, kini mulai kehilangan kesabaran.

“Sudah tiga tahun, Selena! Tiga tahun kamu menutup diri. Kavi gak akan tenang kalau kamu terus begini.”

“Aku gak menutup diri, Ma! Aku cuma belum siap!” jawab Selena spontan, matanya mulai berkaca.

Tegangan di ruangan itu makin pekat. Hingga akhirnya suara berat Daren memotong udara.

“Sudah!” serunya tiba-tiba, membuat semua kepala menoleh.

Nada suaranya dalam, dingin, tapi jelas mengandung luka yang ditahan terlalu lama.

“Kalian gak perlu memaksakan kehendak kalian,” lanjutnya dengan tatapan tajam. “Yang akan menjalani hidup ini Selena, bukan kalian. Dan tolong… jangan berteriak, kasihan Arunika kalau mendengar.

Keheningan seketika menelan ruangan. Sekar menunduk, Laras menatap anaknya dengan mata yang mulai basah, Samudra hanya bisa menarik napas panjang.

Tanpa menunggu siapa pun bicara, Daren bangkit. Kursi bergeser pelan menimbulkan bunyi yang terdengar menyesakkan. Ia berjalan menuju tangga tanpa menoleh sedikit pun, langkahnya mantap namun berat.

Selena hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.

Dan di tengah keheningan itu, suara kecil tiba-tiba terdengar dari arah taman.

“Depa!”

Arunika berlari kecil ke arah Daren dengan boneka Barbie di tangannya. Rambutnya berantakan, pipinya memerah, tapi senyumnya tetap semanis biasa. Ia berhenti di anak tangga kedua, menatap sosok yang ia panggil dengan suara polosnya.

“Depa mau ke mana?” tanyanya lirih.

Daren terdiam, menatap mata kecil itu—mata yang terlalu jujur untuk usia sekecil itu.

“Depa cuma mau ke atas, Sayang. Udah malam. Aru harus tidur, ya.”

“Tapi Depa marah sama Mama, ya?”

Pertanyaan polos itu jatuh tepat di tengah keheningan.

Selena menahan napas, Laras spontan menatap cucunya, Sekar memalingkan wajah.

Daren menunduk, lalu berlutut di hadapan Arunika. Suaranya berubah lembut, nyaris bergetar.

“Depa gak marah, Aru. Depa cuma… butuh waktu.”

“Tapi Aru boleh nemenin Depa?” suara kecil itu lirih, matanya berkaca. “Aru gak suka kalo Depa sedih.”

Selena menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang hampir pecah.

Dan di saat semua mata tertuju pada dua sosok itu—laki-laki yang mencoba menjaga jarak dan anak kecil yang justru ingin mendekat—tidak ada yang menyadari sesuatu: di balik setiap kata yang tak terucap malam itu, ada perasaan yang mulai tumbuh… tapi juga luka yang mungkin belum siap disembuhkan.

Malam itu, tak ada yang benar-benar tidur dengan tenang. Karena untuk pertama kalinya, masing-masing dari mereka menyadari—apa yang terlihat sederhana di meja makan, bisa jadi awal dari badai yang tak seorang pun siap hadapi.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Itz_zara: besok lagi ya🙏
total 1 replies
Favmatcha_girl
lanjutkan thor💪
Favmatcha_girl
perhatian sekali bapak satu ini
Favmatcha_girl
lanjutkan 💪
Favmatcha_girl
cemburu bilang, Sel
Favmatcha_girl
ayah able banget ya
Favmatcha_girl
cemburu ya🤭
Favmatcha_girl
pelan-pelan mulai berubah ya
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Itz_zara: besok lagi ya, belum ada draft baru🙏
total 2 replies
Favmatcha_girl
memanfaatkan orang🤭
Favmatcha_girl
Honeymoon Sel
Favmatcha_girl
Dah lama gak liat sunset
Favmatcha_girl
dramatis banget 🤭
Favmatcha_girl
ikutan dong
Favmatcha_girl
ngomong yang keras
Favmatcha_girl
aw terharu juga
Favmatcha_girl
itu mah maunya lo
Favmatcha_girl
Alasan itu
Favmatcha_girl
kenapa yak setiap cowok gitu😌
Favmatcha_girl
Yeyyyy
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!