sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JM 2
Melati mengepalkan tangannya erat sambil memegang serbet.
“Andai bukan karena Mas Arga, aku pasti enggan tinggal di sini,” bisiknya dalam hati. Rasa sakit masih menggerogoti dadanya.
Di sisi lain, Indra duduk di samping Kartika, mengambil nasi, dan menuangkan sayur asem dengan nada sinis.
“Si Melati? Ga usah diajak di acara Risma. Malu-maluin aja. Kan dia bukan sarjana, bikin malu saja,” ucapnya tanpa sedikit pun belas kasihan.
“Ehmmm… enak sekali ikan pedanya,” gumamnya sambil menatap hidangan.
Melati menelan ludah. Hatinya terasa perih. “Aneh… mereka menghina aku karena bukan sarjana, tapi masakanku selalu dimakan dengan lahap. Apakah begini watak para sarjana?” gumamnya dalam hati. Tangannya semakin erat mengepal serbet, mencoba menahan amarah dan kesedihan.
Tak lama kemudian, Arga keluar dari kamar, kemeja dan dasi sudah terpasang rapi. Ia duduk di kursi menghadap meja makan. Suasana seketika hening. Obrolan berhenti, namun tatapan sinis dan merendahkan dari Kartika dan Indra masih terasa oleh melati tapi melati mencoba bersikap tenang.
Melati mengambil napas panjang. Ia menghampiri meja, menyiapkan piring untuk Arga. Dengan hati-hati, ia mengelapnya pakai tisu, lalu menaruh nasi di piring.
“Segini cukup, Mas?” tanyanya lembut, berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Hmmmm,” balas Arga singkat, tanpa menatapnya.
Meski hanya sebatas balasan datar, Melati merasakan sedikit lega. Ia menunduk, menyelesaikan tugasnya, sambil berharap suatu hari, penghinaan dan tatapan merendahkan itu akan berakhir.
Melati mengambilkan sayur asem, tumis kangkung, dan ikan peda untuk Arga. Ia menaruh semuanya di meja, tapi Arga tetap asik menatap ponselnya. Melati menarik napas pelan, mengambil segelas air, meletakkannya di sisi Arga, lalu melangkah ke ruang tamu.
Dengan telaten, ia mulai mengelap lemari dan meja tamu. Ruang tamu dan meja makan tidak terlalu jauh, sehingga percakapan di sana terdengar jelas. Hatinya semakin sakit mendengar kata-kata itu.
“Bu, pokoknya Melati tidak boleh ikut ke acara Risma,” kata Indra dengan lantang, seolah sengaja agar Melati mendengar.
“Iya bu, Melati nggak usah ikut. Nanti jadi bahan cemoohan lagi,” tambah Kartika, nada dingin dan merendahkan.
Melati menunduk, menahan perih. Namun suara Mega, ibu mertuanya, membuat sedikit lega.
“Tidak bisa. Melati harus ikut,” tegas Mega.
Harapannya muncul sekejap. Setidaknya ibu mertuanya masih menghargai dia, pikir Melati. Tapi perkataan berikutnya membuat dadanya nyeri:
“Risma Pesa, Melati harus ikut karena satu pembantu pulang kampung. Nanti dia kerepotan kalau membersihkan rumah sebesar itu sendirian. Emang kalian mau bantu beres-beres rumah Risma?” ucap Mega datar.
Jantung Melati terasa seperti diremas. Ternyata ia diundang bukan sebagai menantu, tapi sebagai pembantu.
Belum sempat menenangkan diri, suara Irma, anak bungsu Mega, terdengar:
“Ih, ngapain sih, Kak Melati harus ikut? Malu-maluin aja. Nanti temanku juga datang ke acara Ka Risma loh,” ujarnya sambil terkekeh.
"Bahkan anak kecil saja di Rumah ini berani merendahkan aku, padahal kalau kekurangan uang selalu meminta padaku,,beginikah nasib orang miskin yang enggak sekolah, namun beginikah wajah para sarjana dengan enteng merendahkan orang lain" desah melati dalam hati sambil memegang dadanya yang terasa sesak.
“Tidak ada bantahan, kecuali kamu mau cuci piring, ngepel, dan membersihkan kakakmu itu,” ucap Mega tegas.
“Ih, ogah! Aku calon sarjana, calon wanita karir. Masa aku disuruh cuci piring, ngepel? Emang ibu menyuruh aku kuliah untuk jadi pembantu?” suara Irma terdengar tegas, nyaris menantang.
Tak terasa, air mata Melati menetes. Ia menunduk, menahan dada yang sesak. “Apa patut aku dihina hanya karena bukan sarjana? Bukankah hampir semua kebutuhan rumah ini—bayar listrik, PAM, internet, beli beras, sabun mandi, sabun cuci—dibiayai oleh uang Mas Arga, suamiku? Harusnya aku yang paling berhak di rumah ini, harusnya aku yang paling dihargai, karena kontribusi suamiku paling banyak,” jerit hati Melati.
Ia mengintip Arga yang duduk di meja makan, lahap menyuap makanan. Hatinya semakin getir. Wajah Arga datar, tidak ada tanda marah, jangankan membela, bahkan merasa tersinggung pun tidak. Semua penghinaan terhadap istrinya berjalan tanpa hambatan di depannya.
“Arga, tau nggak ibu-ibu komplek terus mencibirku,” terdengar suara Kartika, menyodorkan ejekan ke meja.
“Kenapa?” suara Arga datar, tanpa ekspresi.
“Mereka menyayangkan kamu kuliah dengan nilai bagus, jabatan sekarang manajer, tapi istrimu bukan sarjana,” cerocos Kartika, setengah mengejek, setengah menggurui.
Ingin sekali melati mendengar melati mendengar arga marah kepada saudara-saudaranya karena sudah berani menghina istrinya, bukankah salah satu kewajiban suami adalah membela harga dirinya selagi istri berada di jalan yang benar. dan kalaupun salah bukankah seorang suami harus menegurnya dengan lemah lembut.
Harapan melati tampaknya hanya mimpi disiang bolong, arga masih asik makan tanpa ada raut muka tersinggung apalagi membela melati.
Melati menghela nafas berat "sepertinya aku memang sendirian di rumah ini" gumam melati
Suara ejekan kembali terdengar di meja makan.
“Arga, orang tidak berpendidikan itu hanya beban keluarga, bahkan beban negara,” kata Indra sinis.
“Iya, orang yang tidak berpendidikan tinggi itu cuma memperbesar pengeluaran negara,” tambah Kartika, terdengar seperti seorang intelektual yang sedang menggurui.
Melati menahan napas sejenak. Hatinya sudah panas. Tak tahan lagi, ia menyalakan televisi dan sengaja meninggikan volumenya. Layar menampilkan berita operasi tangkap tangan.
“Breaking news! KPK melakukan operasi tangkap tangan seorang rektor yang terlibat kasus korupsi pembangunan gedung laboratorium sebesar 25 miliar,” terdengar suara pembawa berita.
Melati meninggikan suara, seakan memberi komentar pada berita itu.
“Astaga, ternyata kebanyakan koruptor itu orang yang pendidikannya tinggi. Ah, para sarjana ini bukan hanya beban negara, tapi perampok uang rakyat!”
Suara berita dan komentar Melati terdengar jelas oleh semua yang sedang makan. Suasana seketika hening.
“Melati…” suara Arga terdengar datar namun tegas.
Tanpa menunggu lebih lama, Melati segera berlari menuju meja makan. Wajah semua orang tampak masam, tatapan sinis mengarah padanya. Namun Melati tetap tenang, langkahnya mantap. Ia mendekati Arga.
“Ada apa, Mas?” ucapnya lembut, menunduk sedikit.
“Matikan televisinya,” jawab Arga, nada suaranya datar, tanpa emosi.
Melati menahan diri. Dalam hati ia bergumam, “Dari tadi keluarga kamu menyindirku, kamu tidak peka sama sekali. Tapi begitu aku menyinggung, kamu langsung peka.”
Melati melangkah ke ruang makan. Arga sudah selesai makan, mengenakan kemeja rapi, siap berangkat kerja. Indra sudah pergi duluan, sementara Kartika seperti biasa, begitu Indra keluar, ia kembali ke kamarnya. Irma masih duduk di meja, tampak menunggu sesuatu.
Arga berdiri, melangkah keluar ruang makan. Melati mengikuti dari belakang, diam-diam memastikan semua tertata rapi sebelum ia berangkat. Saat melewati Arga, ia mengambil sepatu yang sudah disiapkan. Arga duduk, dan dengan telaten Melati memakaikan sepatu itu untuknya.
“Nanti malam aku pulang telat, jangan nunggu di teras lagi kayak kemarin,” ucap Arga datar, tanpa menatapnya.
Melati hanya mengangguk, menahan diri.
Belum sempat Arga melangkah menuju mobil, Irma muncul dari belakang.
“Ka, bagi duit dong,” ujarnya polos.
Arga terdiam sejenak, lalu menoleh ke Melati.
“Mas, uang di aku tinggal untuk belanja hari ini,” jawab Melati jujur.
Arga menaikkan alis, wajahnya tampak kesal.
“Ko sudah habis… gajiku masih lama loh,” katanya singkat.
“Kemarin, Mbak Tika minjam uang Mas,” Melati menjelaskan.
“Loh… ko dikasih? Kamu tahu kan, meminjamkan uang tanpa sepengetahuan suami itu bagaimana hukumnya,” Arga terdengar kesal.
Melati menelan napas. “Iya, aku sudah sampaikan itu. Tapi Mas tahu sendirilah, bagaimana kalau Mbak Tika sudah didukung Ibu,” ujarnya pelan.
Suasana mendadak hening. Dari belakang terdengar suara Ibu mega dengan nada dingin.
“Ada apa ini?