Janda Melati
Ponsel Melati bergetar di samping telinganya. Layar menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Ia meraih ponsel, mematikan alarm, lalu meregangkan kedua tangannya. Lehernya diputar ke kanan, bunyi sendi terdengar pelan—krek. Diputar ke kiri, bunyi serupa mengikuti.
Di sampingnya, Arga masih tertidur pulas. Wajah tenangnya membuat Melati terdiam beberapa saat. Namun ada sesuatu yang mengusik pikirannya belakangan ini. Ponsel Arga selalu disembunyikan di bawah bantal. Entah sejak kapan, tapi kebiasaan itu membuat hati Melati tidak tenang.
Ia teringat sebuah artikel yang pernah dibacanya. Isinya sederhana: salah satu tanda suami berselingkuh adalah menyembunyikan ponsel. Melati sempat menertawakan artikel itu. Penulisnya seorang profesor, tapi ahli kimia—jelas bukan bidangnya. Namun, anehnya, pagi ini kalimat itu kembali mengganggu pikirannya.
Melati menatap Arga yang tertidur. Ponsel di bawah bantal bergetar lagi. Dadanya terasa sesak. Rasa curiga muncul, meski ia berusaha mengusirnya.
“Tidak, Mas Arga lelaki setia. Ia agamis, rajin bekerja. Dari pagi sampai malam ia mencari nafkah. Tak pantas aku menuduh tanpa bukti. Apalagi membebani dia dengan kecurigaan,” gumam Melati dalam hati.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meski hatinya tetap resah.
Melati bangkit, melangkah ke kamar mandi. Ia menggosok gigi, membasuh wajah, lalu mengambil air wudu. Setelah mengenakan mukena, ia menunaikan dua rakaat tahajud, kebiasaan yang sudah ia jaga sejak remaja.
Dulu, saat masih tinggal dengan orang tuanya, Melati bisa berlama-lama dalam ibadah. Ia biasa salat sebelas rakaat, ditutup dengan witir, lalu membaca Al-Qur’an sampai subuh menjelang. Namun semua itu berubah setelah menikah dan tinggal bersama mertua. Waktunya terkuras untuk pekerjaan rumah. Setiap pagi ia harus memastikan semua beres sebelum penghuni rumah bangun. Jika tidak, drama panjang menunggu: kritik, adu mulut, bahkan pertengkaran.
Ia melipat mukena, membereskan sajadah. Namun getaran ponsel di bawah bantal Arga kembali mengusik hatinya. Dahi Melati berkerut. Ingin rasanya meraih ponsel itu, membaca siapa pengirim pesan di jam seganjil ini. Tapi ia menahan diri. Ia tahu, itu bukan sikap yang baik. Dengan hati gusar, ia meninggalkan kamar.
Jam hampir menunjukkan pukul tiga pagi. Bagi Melati, ini sudah siang. Dapur menantinya. Ia membuka karung beras—hanya tersisa dua liter. “Astaga… paling ini cuma cukup tiga hari. Sedangkan gajian Mas Arga masih lama,” gumamnya. Tangannya meraih baskom, mencuci beras sambil resah. Ia bisa membayangkan keributan besok pagi jika soal ini terbongkar.
“Semua gara-gara Kak Kartika. Pinjam uang seenaknya, lupa bayar, ditagih malah marah. Kalau sudah begitu, seisi rumah ikut marah,” desahnya lirih, memasukkan beras ke rice cooker.
Sambil menunggu nasi matang, ia menumis kangkung, membuat sayur asem, lalu menyiangi ikan peda untuk digoreng. Gerakannya cekatan, seperti sudah terprogram. Ia tak perlu berpikir, tubuhnya sudah hafal urutan pekerjaan.
Dari surau dekat rumah, suara serak Aki Darkim terdengar memanggil jamaah untuk salat subuh. Suara itu merayap masuk ke dapur, menjadi latar pagi yang selalu sama bagi Melati—penuh rutinitas, penuh beban, namun tetap ia jalani dengan sabar.
“Ingin sekali aku membangunkan Mas Arga… pergi ke masjid, salat berjamaah, seperti dulu waktu masih di kos,” bisik Melati sambil mengaduk sayur di dapur. Matanya sayu. “Tapi akhir-akhir ini Mas Arga selalu masam padaku.”
Selesai memasak, ia lanjut memilah cucian. Warna cerah lebih dulu, gelap belakangan. Saat memeriksa kantong celana Arga, selembar nota lusuh terjatuh. Angkanya samar, entah tiga ratus ribu, entah tiga juta. Melati mengernyit.
“Nota apa ini? Tanggalnya kemarin…” gumamnya. Ia menarik napas lega. “Berarti Mas Arga masih punya uang. Syukurlah, urusan beras besok bisa teratasi.” Ia tersenyum tipis, sedikit beban terangkat.
Pakaian kotor dimasukkan ke mesin cuci, tombol diputar, bunyi berderum terdengar. “Ah, deterjen juga habis,” keluhnya. “Beginilah jadinya kalau uang yang sudah dianggarkan malah dipinjam. Semua jadi kacau.”
Tangannya lalu meraih sapu dan serok. Dari teras, ruang tengah, ruang makan, sampai dapur ia bersihkan. Sampah dikumpulkan, diikat rapi dalam plastik, lalu dibuang ke tong sampah depan rumah.
“Dek Melati!” panggil seseorang. Ia menoleh. Ustaz Jaka lewat, pecinya miring, langkahnya cepat.
“Ya, Pak,” jawab Melati sopan.
“Bangunin Arga, suruh jamaah ke masjid. Assalamu’alaikum,” ujarnya singkat. Azan subuh sudah terdengar dari surau. Tanpa menunggu jawaban, Ustaz Jaka bergegas menyusul rombongan lelaki yang berjalan menuju masjid.
“Waalaikum salam,” balas Melati lirih.
Ia berdiri di depan rumah, menatap punggung orang-orang itu. Barisan sederhana, namun penuh wibawa. Dalam hati, ia membayangkan seandainya Arga ikut di sana.
Hanya sebuah harapan kecil, sesederhana melihat suaminya melangkah ke masjid, menunaikan salat berjamaah. Namun entah kenapa, bagi Melati, harapan itu terasa begitu jauh, nyaris mustahil diwujudkan.
Melati kembali masuk kamar. Arga sudah bangun, duduk di tepi ranjang sambil menatap layar ponselnya. Cahaya biru ponsel memantul di wajahnya yang muram. Melati menarik napas pelan, lalu ke kamar mandi untuk berwudu. Setelah itu, ia kembali dan berkata lembut, “Mas, jamaah yuk.”
“Aku ada kerjaan,” jawab Arga datar tanpa menoleh.
Melati terdiam. Ia tidak ingin memaksa. Usai salat, ia masih melihat suaminya sibuk dengan ponsel. Wajah Arga tetap masam, seolah ada jarak yang semakin jauh. Dengan sabar, Melati menyiapkan handuk, baju kerja, hingga dalaman Arga, lalu meletakkannya di meja kecil.
“Mas, handuk dan baju sudah ada di sini,” ujarnya lembut.
“Hm.” Jawaban singkat, tanpa ekspresi.
Melati menghela napas panjang, kemudian keluar kamar. Ia menuju dapur. Baru saja ingin menyalakan kompor, Kartika—iparnya—datang membawa setumpuk pakaian kotor. Dengan nada seenaknya ia berkata, “Cuciin ya.”
Melati menatap tumpukan itu, lalu menjawab hati-hati, “Pekerjaanku masih banyak, Kak.”
“Jangan bikin keributan,” balas Kartika dingin, kemudian masuk kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Melati hanya menggeleng. Ia berusaha menekan rasa sesak di dada. Ia kembali ke ruang makan, menyusun piring, sendok, nasi, dan lauk yang sudah matang. Dalam hatinya ia bergumam lirih, “Padahal ada empat perempuan di rumah ini. Kalau saja bisa bekerja sama, mungkin tugasku tidak seberat ini.”
Selesai menjemur pakaian, ia membuatkan kopi untuk Arga. Ketika kembali ke ruang makan, satu per satu anggota keluarga sudah bangun. Suasana meja makan langsung terasa menekan.
“Aku malu banget sama tetangga,” suara Kartika terdengar jelas. “Mereka bilang aneh, kok bisa-bisanya Arga milih istri yang nggak sekolah. Malu-maluin.”
“Deg.” Dada Melati seperti diremas. Kata-kata itu menampar batinnya. Sejak dini hari ia sudah berkeringat, berlari dari dapur ke mesin cuci, dari ruang tengah ke halaman, melayani semua penghuni rumah tanpa keluh. Namun yang ia dengar pertama kali di pagi itu bukan ucapan terima kasih, melainkan ejekan yang merendahkan.
Ia menunduk, bibirnya terkatup rapat. Hanya dalam hati ia berbisik, “Ya Allah, beri aku sabar. Jangan biarkan aku membalas dengan kata-kata.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Desi Belitong
balas jangan bodoh hanya diam ujung2nya nangis
2025-10-12
0