Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selalu seperti ini
Ruang makan keluarga kecil itu dipenuhi aroma nasi gudeg dan semur daging yang menggugah selera. Ahmad, ayah mereka yang berusia lima puluh tahun, duduk di ujung meja sambil membaca koran pagi. Rambut beliau yang mulai beruban di bagian samping membuatnya tampak berwibawa dengan kacamata baca yang bertengger di ujung hidung.
“Pagi, semua,” sapa Syama sambil duduk di kursi depan Ahmad.
“Pagi. Hari ini ada kuliah sampai jam berapa?” tanya Ahmad tanpa mengangkat mata dari korannya.
“Sampai jam tiga. Setelah itu ada rapat sama Pak Hendra soal penelitian.”
“Bagus. Bapak bangga sama kamu. IPK mu semester kemarin 3,70. Hampir sempurna.”
Syama tersenyum, meski ada rasa tidak nyaman di dadanya ketika mendengar pujian yang secara tidak langsung merendahkan adiknya.
Dewi, ibu mereka yang berusia empat puluh lima tahun, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi piring-piring sarapan. Wanita yang dulu cantik itu kini tampak sedikit pucat dan kurus. Gerakannya juga lebih lambat dari biasanya.
“Ibu kenapa?” tanya Syama dengan wajah khawatir. “Sakit?”
“Nggak apa-apa, sayang. Cuma sedikit cape aja,” jawab Dewi sambil tersenyum memaksakan diri. “Ibu udah buatin nasi gudeg kesukaan Syima. Mana dia?”
“Masih mandi, Bu. Tadi hampir telat bangun lagi,” lapor Syama sambil membantu ibunya menyiapkan piring.
Ahmad menghela napas panjang. “Kapan dewasanya anak itu. Udah semester tujuh masih aja kayak anak SMA.”
“Bapak, jangan gitu dong,” bela Dewi sambil duduk di sebelah suaminya. “Syima kan emang beda sama Syama. Tapi dia anak baik.”
“Baik gimana, Ma?” Ahmad menatap istrinya dengan tajam. “Nilai akademik pas-pasan, sering terlambat, ikut organisasi yang aneh-aneh, pulang malem, bergaul sama anak cowok begajulan—“
“Pak...” Dewi menyentuh lengan suaminya. “Syima itu punya kepedulian sosial yang tinggi. Dia aktif di BEM, sering ikut kegiatan sosial. Itu sudah cukup bagus kan?”
“Bagus kalau nggak ganggu kuliahnya. Lihat Syama, dia bisa berorganisasi sekaligus jadi asisten dosen, tapi selalu seimbang dengan IPK nya yang tetap tinggi. Kenapa Syima nggak bisa kayak kakaknya?”
Syama yang mendengar percakapan orangtuanya merasa tidak nyaman. Topik perbandingan antara dirinya dan Syima selalu membuatnya gelisah. Dia tahu betapa adiknya benci dibanding-bandingkan dengannya.
Suara langkah kaki dari tangga membuat percakapan itu terhenti. Syima turun dengan rambut masih setengah basah, mengenakan kaos putih polos dan celana jeans yang agak ketat. Sneakers putih yang sudah agak kotor melengkapi penampilan kasualnya.
“Pagi,” sapanya singkat sambil langsung duduk dan mengambil sepiring nasi gudeg.
“Pagi,” jawab Ahmad tanpa menatap putri bungsunya.
“Rambutmu masih basah. Nanti masuk angin lho,” kata Dewi sambil ingin bangkit mengambil handuk.
“Udah, Ma. Nggak usah. Nanti kering sendiri,” tolak Syima sambil melahap sarapannya. “Hmm, enak banget nih, Ma. Makasih, ya.”
Dewi tersenyum lega melihat anaknya menikmati masakan. “Hari ini kuliah sampai jam berapa, sayang?”
“Sampai jam empat. Habis itu ada rapat BEM. Kita lagi persiapan acara besar bulan depan,” jawab Syima sambil terus makan.
“Rapat lagi?” Ahmad menatap putrinya dengan tidak suka. “Kemarin juga rapat. Organisasi apa sih yang rapat melulu?”
“BEM kampus, Pak. Kita mau ngadain seminar nasional tentang krisis iklim dan peran mahasiswa. Ini penting banget, Pak. Nanti ada pembicara dari Greenpeace dan aktivis lingkungan terkenal—“
“Yang penting itu nilai kuliahmu,” potong Ahmad dengan nada tinggi. “Semester kemarin IPK mu berapa? Dua koma tujuh! Syama semester yang sama IPK nya hampir empat. Kenapa bisa beda jauh begitu?”
Syima berhenti mengunyah. Lagi. Selalu begini. Apapun yang dilakukannya, pasti akan dibandingkan dengan Syama yang sempurna.
“Pak, Syima udah berusaha kok,” bela Dewi lagi dengan suara lemah.
“Berusaha gimana? Kalau dia fokus sama kuliah, pasti bisa dapet nilai bagus kayak kakaknya.” Ahmad melipat korannya dengan kesal. “Syima, Bapak udah sering bilang. Bapak itu guru. Bapak tahu betapa pentingnya pendidikan. Kalau kamu nggak serius dari sekarang, nanti susah cari kerja.”
“Iya, Pak,” jawab Syima pelan sambil menundukkan kepala.
“Jangan Cuma iya doang. Bapak mau lihat perubahan nyata. IPK semester ini minimal tiga koma lima. Bisa?”
Syima mengangkat kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Tiga koma lima? Pak, itu susah banget. Mata kuliah semester ini banyak yang berat.”
“Syama bisa, kenapa kamu nggak bisa?” tanya Ahmad dengan suara yang semakin keras. “Kalian kan kembar. Otak kalian sama. Dididik dengan cara sama. Fasilitas belajar juga sama. Yang beda cuma prioritas dan cara berpikir.”
“Mungkin karena aku bukan Syama, Pak,” jawab Syima dengan suara bergetar. “Mungkin aku emang nggak sepintar dia.”
“Syima, jangan bilang begitu,” Syama yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Kamu itu pinter. Cuma kurang fokus aja.”
“Kamu jangan ikut campur, ya!” bentak Syima pada kembarannya. Tangannya menunjuk kembarannya. “Kamu enak cuma ngomong. Kamu kan anak emas Bapak. Apapun yang kamu lakuin pasti bener.”
“Syima!” tegur Ahmad dengan keras, suaranya menggelegar. “Jangan berbicara kayak gitu sama kakakmu!”
“Kakak?” Syima bangkit dari kursi dengan emosi. “Dia Cuma lahir lima belas menit lebih dulu, Pak! Dan kenapa sih semua orang selalu nyuruh aku jadi kayak dia? Aku punya pribadi aku sendiri!”
“Syima, duduk!” perintah Ahmad dengan suara menggelegar yang membuat gelas-gelas di meja bergetar.
“Aku udah selesai sarapan. Aku berangkat kuliah dulu.” Syima mengambil tas ranselnya yang sudah lusuh dan bergegas menuju pintu depan.
“Syima, tunggu!” panggil Dewi dengan suara lemah, tapi putrinya sudah membanting pintu dan pergi.
Ruang makan tiba-tiba menjadi hening yang mencekam. Ahmad memijat pelipisnya yang berdenyut, sementara Dewi menatap pintu dengan mata berkaca-kaca. Syama hanya bisa terdiam, hatinya sakit melihat keluarga kecil mereka selalu dilanda pertengkaran seperti ini.
“Bapak terlalu keras sama Syima,” ucap Dewi pelan. Hampir setiap hari acara sarapan selalu berakhir seperti ini.
“Keras gimana? Bapak Cuma mau yang terbaik buat dia,” sahut Ahmad. “Lihat sekarang, dia kabur lagi. Nggak mau menghadapi kenyataan.”
Syama bangkit dari kursi dengan hati yang berat. “Bapak, Ibu, aku ijin berangkat juga. Nanti aku coba bicara sama Syima di kampus.”
“Iya, sayang. Hati-hati di jalan ya,” kata Dewi sambil mengecup kening putri sulungnya.
Setelah Syama pergi, Ahmad dan Dewi duduk berhadapan dalam keheningan yang menyakitkan. Dewi menatap sisa sarapan yang berserakan di meja sambil memegang dadanya yang terasa sesak. Bukan hanya karena sedih melihat pertengkaran keluarga, tapi juga karena rasa sakit yang akhir-akhir ini sering dia rasakan di dadanya.
“Pak, kita harus lebih sabar sama Syima,” ujar Dewi pelan.
“Bapak udah sabar, Ma. Tapi sampai kapan? Dia udah semester lima, masa masih bertingkah kayak anak kecil?” Ahmad bangkit dari kursi. “Bapak berangkat dulu. Nanti sore kita bahas lagi soal ini.”
Setelah suaminya pergi, Dewi duduk sendirian sambil membereskan piring-piring dengan gerakan lambat. Dadanya semakin sesak, dan kali ini bukan hanya karena sedih. Ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tapi dia belum berani memeriksakan diri ke dokter.
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/