Dinikahi Suami Kembaranku

Dinikahi Suami Kembaranku

Dua Sisi Koin

Syima membuka mata dengan susah payah ketika alarm ponselnya berbunyi keras untuk ketiga kalinya. Tangannya meraba-raba di atas meja samping tempat tidur, berusaha menemukan benda kecil yang mengganggu tidurnya itu. Ketika akhirnya berhasil mematikan alarm, matanya melirik jam yang menunjukkan pukul 07.15 pagi.

“Sial,” gumamnya sambil berguling malas di tempat tidur.

Dari balik pintu kamar, terdengar suara ketukan yang diikuti dengan suara lembut yang sudah sangat familiar di telinganya.

“Syima, bangun! Kamu sudah terlambat lagi!”

Syima menarik bantal dan menutup kepalanya. Syama, kembar identiknya yang lahir tiga puluh menit lebih dulu, selalu saja bertingkah seperti ibu kedua. Bahkan lebih cerewet dan mengatur di bandingkan ibu mereka sendiri. Padahal mereka sama-sama anak kuliahan semester tujuh.

“Lima menit lagi!” teriak Syima dari balik bantal.

Pintu kamar terbuka dengan paksa. Syama masuk dengan langkah tegas, sudah rapi dengan blus putih bersih dan rok payung selutut berwarna navy yang disetrika sempurna. Rambutnya yang panjang bergelombang ditata indah melalui tangan hairstylist, dipadukan wajahnya yang cantik dengan makeup semi natural. Kulit putih bersihnya tampak berseri di bawah cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar.

“Sisi, serius deh. Ini sudah jam setengah delapan lewat,” kata Syama sambil menarik selimut adiknya dengan paksa. “Ibu sudah masak nasi gudeg kesukaanmu. Dan Bapak udah nanya terus, kenapa kamu belum turun.”

Syima terpaksa bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Rambutnya yang pendek sebahu acak-acakan, beberapa helai menutupi tahi lalat kecil di bawah mata kanannya, satu-satunya tanda yang membedakan dirinya dari kembarannya. Dia mengenakan kaos oversize bekas merchandise konser band indie yang sudah melar dan celana pendek yang kusut.

“Kenapa sih kamu suka banget ngatur-ngatur aku?” gerutu Syima sambil mengucek mata. “Aku bukan anak kecil lagi, Sya.”

“Karena kamu masih bertingkah seperti anak kecil,” sahut Syama sambil melipat tangan di dada. “Coba lihat kamarmu ini.”

Mata Syima ikut menyapu sekeliling kamarnya. Memang berantakan. Buku-buku berserakan di meja belajar yang tidak pernah digunakan untuk belajar. Baju kotor menumpuk di kursi. Sepatu sneakers dilempar sembarangan di sudut kamar. Poster-poster band dan aktivis lingkungan ditempel secara asal di dinding.

“Lah, ini kan kamar aku. Terserah aku dong mau diapain,” ujar Syima sambil berjalan menuju lemari, mencari pakaian yang bersih.

“Syima...” Suara Syama melembut. “Aku Cuma peduli sama kamu. Kita kan kembar, kalau kamu berbuat yang nggak baik, reputasi keluarga kita yang kena imbasnya. Apalagi Bapak kan guru, dia punya nama baik yang harus dijaga.”

Syima berhenti mencari baju dan menatap kembarannya dengan tajam. “Ah, itu dia masalahnya. Kamu tuh selalu mikirin reputasi, nama baik, pendapat orang lain. Kapan sih kamu hidup buat dirimu sendiri?”

“Hidup itu nggak Cuma soal diri sendiri, Sisi. Ada tanggung jawab, ada—“

“Ada Bapak bilang, ada Ibu bilang, ada masyarakat bilang,” potong Syima dengan nada sinis. “Kamu itu kayak robot yang diprogram buat jadi anak sempurna.”

Wajah Syama memerah menahan emosi. “Si, kenapa sih kamu selalu begini? Kenapa kamu nggak bisa sedikit saja menghargai usaha Bapak Ibu yang udah membesarkan kita?”

“Aku menghargai kok. Cuma caranya beda.” Syima mengambil kaos bersih dari lemari. “Kamu tunjukin penghargaan dengan jadi anak penurut yang sempurna. Aku tunjukin penghargaan dengan jadi diri aku sendiri.”

“Diri kamu sendiri yang suka terlambat, nilai pas-pasan, ikut demo sana-sini, pulang malem, main sama cowok gak jelas—“

“Itu hidup aku!” bentak Syima, suaranya mulai tinggi. “Dan aku nggak ‘main’ sama cowok gak jelas. Cowok itu, Gama. Kamu juga kenal, dia temen kita dari SMA. Temen baik yang selalu support aku, nggak kayak keluargaku yang selalu menuntut agar aku sama persis sama kamu.”

Syama terdiam. Air matanya mulai berkaca-kaca. “Siai... aku nggak pernah minta kayak gitu. Aku cuma berusaha jadi anak yang baik.”

Melihat kembarannya hampir menangis, Syima langsung merasa bersalah. Ini dia kelemahan terbesarnya, dia tidak pernah bisa melihat Syama sedih. Sejak kecil, mereka memang berbeda karakter, tapi Syama selalu melindunginya dari amarah Bapak ketika dia berbuat kenakalan.

“Sya...” Syima mendekati kembarannya. “Aku nggak bermaksud—“

“Udahlah,” potong Syama sambil menyeka mata. “Kamu mandi sana. Nanti Bapak makin marah kalau kamu telat lagi.”

Syama keluar dari kamar dengan langkah tergesa, meninggalkan Syima berdiri dengan perasaan bersalah yang mengganjal di dada. Gadis itu menatap foto mereka berdua saat masih kecil yang terpajang di meja belajarnya. Dalam foto itu, mereka pelukan erat dengan senyum ceria, mengenakan dress kembar yang sama saat merayakan ulang tahun bersama.

Dulu sebelum SMA, Stama dan Syima saling bergantung satu sama lain. Ibu selalu memberikan pakaian yang sama. Tapi semakin kemari perubahan penampilan Syima semakin jauh berbeda. Ahmad jadi lebih sering membandingkan keduanya. Apalagi prestasi Syama yangbselalu gemilang, berbeda dengan Syima yang cukup bersyukur nilainya tidak perlu di remidi.

Ia pun merindukan masa-masa mereka berbincang sebelum tidur, bertukar cerita tentang apapun yang mengenai keseharian mereka. Tapi semua itu sekarang tinggal kenangan, satu hari tidak bertengkar saja sudah menjadi sebuah keajaiban. Walaupun pertengkaran itu selalu dipicu Syima, dan berakhir dengan Syama menangis. Efeknya Syama ditenangkan ibu mereka, Syima si hukum ayah mereka.

Kadang Syima berpikir, sejak kapan ya mereka jadi memiliki jarak seperti ini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!