NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:571
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 5 - Shattered memories

Sehari Sebelumnya

Pov Erick

Malam ini terasa tenang.

Suara ombak yang biasanya bergejolak kini terdengar lembut, bagaikan alunan musik yang mengiringi langit malam.

Namun di balik ketenangan itu, hatiku bergetar. Seolah setiap deburan kecil di tepi pantai memantulkan suara batin yang tak bisa aku redam.

Sudah berhari-hari aku mencoba mengabaikan surat itu, berharap waktu bisa menenggelamkan isi di dalamnya.

Tapi semakin aku menunda, semakin berat rasanya di dada.

Dengan satu tarikan napas panjang, aku pun memutuskan.

Keputusan yang mungkin akan mengubah segalanya.

Aku mengambil surat dari James - yang kusimpan rapat-rapat di dalam tenda - dan melangkah cepat menuju tenda Sir Torren.

Di sepanjang jalan, suara ombak di kejauhan terdengar seperti bisikan masa lalu yang memanggilku pulang. Tapi aku tahu, tak ada lagi jalan untuk kembali.

Sesampainya di sana, aku mengetuk pintu tenda.

"Masuk," suara Sir Torren terdengar tenang, tapi tegas.

Aku melangkah masuk.

Beliau duduk di kursi dengan map-map laporan berserakan di meja, namun matanya segera tertuju padaku.

"Apa yang membuatmu datang ke sini malam ini? Ada masalah?" tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian yang hampir hilang.

"A-aku ingin melaporkan sesuatu," ucapku, suaraku terdengar ragu, hampir pecah.

Sir Torren menyipitkan matanya, menatapku dengan tajam - bukan dengan amarah, tapi dengan perhatian penuh.

Tatapan seorang komandan yang menunggu kebenaran.

"Surat yang aku dapatkan beberapa hari lalu... sebenarnya bukan berasal dari keluargaku," ucapku pelan.

Matanya tak terkejut.

Seolah sejak awal, ia tahu ada sesuatu yang tak kuungkapkan.

"Surat itu dari teman masa kecilku... James. Salah satu dari lima buronan yang beberapa hari lalu Anda umumkan."

Wajah Sir Torren berubah serius, sorot matanya dalam dan berat, membuatku menunduk tanpa sadar.

Aku bisa merasakan hawa dingin menyelimuti tenda ini.

"Dia ingin menemuiku di hutan, dekat tembok kedua... besok," lanjutku. "Aku tidak tahu untuk apa, tapi aku yakin mereka berlima akan ada di tempat yang sama."

Sir Torren diam sejenak, lalu bertanya dengan nada rendah tapi menusuk,

"Jadi, apa yang ingin kau lakukan?"

Aku menggigit bibir.

Antara suara hati dan sumpahku sebagai knight, dua-duanya terasa sama-sama benar dan salah.

"A-aku ingin melaporkan kepada Anda... agar mereka dapat ditangkap atas kejahatan yang mereka perbuat."

Suaraku bergetar, tapi kata-katanya keluar juga.

Sir Torren menatapku lama.

Tatapan itu tak lagi sekadar milik seorang komandan - tapi juga seperti tatapan seorang ayah yang melihat anaknya memilih jalan yang menyakitkan.

Akhirnya, ia berdiri.

"Baiklah," ucapnya datar. "Aku akan meminjamkan beberapa Silver Sentinel kepadamu untuk melakukan penyergapan besok."

Nada suaranya dingin, nyaris tanpa ekspresi.

"Untuk sekarang, kau boleh kembali ke tenda dan beristirahat."

Aku mengangguk dan memberi hormat, sebelum berbalik meninggalkan tenda itu.

Namun sebelum aku sempat melangkah keluar, suaranya memanggil pelan.

"Erick."

Aku berhenti, menoleh.

"Kehormatan seorang knight bukan hanya terletak pada kejujurannya..."

Ia berhenti sebentar, menatap mataku dalam-dalam.

"...tapi juga pada loyalitasnya."

Sorot matanya tajam, tapi di sana tersimpan luka yang tak bisa ia ucapkan.

Aku tak sanggup menjawab. Hanya diam, menatap lantai, lalu berjalan keluar.

Angin malam yang lembut menyambutku di luar, tapi kali ini terasa dingin - seolah mengingatkanku bahwa esok, darah akan tumpah karena keputusan yang kuambil malam ini.

---

Hari Penyergapan

Pov James

Aku melihat wajah Erick - ekspresinya serius, datar, tapi aku tahu... ada sesuatu di balik tatapan itu.

Bukan kesedihan, tapi beban yang tidak bisa ia lepaskan.

Tanpa sempat berpikir lama, aku menghunus pedangku.

Suara logam bergema di udara, diikuti teriakan para knight yang datang menyerbu dari segala arah.

Kami sudah dikepung.

Semua jalan keluar ditutup rapat.

Tidak ada pilihan lain - selain melawan, atau mati di tempat ini bersama mimpi-mimpi yang belum sempat kami tepati.

Serangan datang dari kanan. Aku mundur selangkah, menangkis, lalu menyerang balik.

Benturan pedang terdengar keras - lawanku menahan tebasanku dengan mudah, lalu menghempaskan pedangku ke samping.

Refleks, aku menendang kakinya dan kembali menyerang, tapi belum sempat mengenai, satu knight lain menghantam tubuhku dari sisi berlawanan.

Benturan itu keras, membuatku terhuyung dan hampir jatuh.

Dan di saat itulah - aku melihat Erick, berlari ke arahku dengan pedang di tangannya.

Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

Aku terpaku. Tak bisa bergerak.

Bukan karena takut... tapi karena aku tak percaya, pedang itu kini terarah padaku.

"Erick..." gumamku pelan.

Namun sebelum tebasannya sempat sampai, Zein melompat di antara kami.

Kapak besarnya menahan serangan itu dengan percikan api kecil.

"James, awas!" teriaknya.

Ia menatapku tajam, lalu beralih pada Erick. "Biar aku yang tangani orang ini. Kau bantu yang lain, cepat!"

Aku menggigit bibir, menahan rasa sesak di dada, lalu berlari ke arah Celeste, Galland, dan Sandel yang tengah kewalahan.

Mereka bertarung mati-matian, melawan pasukan yang jauh lebih terlatih daripada kami.

Aku menghunus pedangku lagi - tak ada waktu untuk ragu.

Kami harus keluar dari sini, bagaimanapun caranya.

---

Pov Erick

Pria besar ini berdiri di depanku - Zein.

Tubuhnya menjulang, matanya menyala marah. Tapi aku tak gentar.

Aku sudah terbiasa menghadapi monster seukuran Thal'kren... tapi mengapa sekarang, langkahku terasa berat?

"Kau benar-benar menjijikkan," ucapnya tajam.

"Mengkhianati sahabatmu sendiri."

Aku tidak menjawab.

Hanya menyerang, tanpa suara.

Pedangku beradu dengan kapaknya, menimbulkan getaran sampai ke lengan.

Dia menahan dengan mudah, lalu menendangku hingga aku terundur beberapa langkah.

Aku kembali maju.

Bertukar serangan - logam beradu, percikan api beterbangan.

Namun Zein terlalu kuat.

Tendangannya menghantam perutku, membuatku terlempar dan terjatuh.

Saat dia hendak menebas dari atas, dua knight datang.

Satu menendang tubuh Zein, satu lagi menendang kapaknya.

Dengan cepat mereka menekannya ke tanah.

Aku bangkit, menggenggam pedang erat-erat, lalu menghantamkan gagangnya ke kepalanya.

Zein terhuyung, hampir pingsan.

"Bawa dia," perintahku singkat.

Dua knight mengikatnya dan menariknya pergi.

Aku berdiri diam. Menatapnya untuk terakhir kali.

Tapi entah kenapa, genggamanku bergetar.

---

Pov James

Dari jauh, aku melihat Zein tersungkur, terikat.

Dan Erick... berdiri di hadapannya.

Pandangan mereka tak bertemu, tapi aku bisa merasakan jarak di antara keduanya - sejauh antara masa lalu dan masa kini.

Aku ingin berlari ke arahnya, tapi Celeste menahan tanganku.

"Jangan, James. Kita harus pergi!" serunya.

Aku menatap Erick.

Akhirnya mata kami bertemu.

Tatapannya kosong, tanpa penyesalan.

Sedangkan mataku - penuh kemarahan, dan luka yang tak bisa kuucapkan.

Kami pun berlari.

Meninggalkan Zein.

Meninggalkan masa lalu.

Dan mungkin... meninggalkan bagian dari diri kami sendiri di hutan itu.

> "Malam itu, aku kehilangan sahabatku untuk kedua kalinya - kali ini bukan karena perang, tapi karena pilihan."

---

Kami berlari dan terus berlari, menyusuri hutan yang seolah tak berujung.

Suara ranting patah bersahutan di bawah langkah kami, napas terengah berpacu dengan detak jantung.

Di belakang, terdengar benturan pedang menghantam batang pohon - para knight itu masih mengejar, langkah mereka berat tapi tak pernah melambat.

Setiap hembusan napas terasa menyakitkan. Keringat bercucuran di pelipis, dan setiap langkah menggema di antara sunyi malam yang menelan segala suara.

Hutan di depan kami gelap - seolah lorong panjang yang tak berakhir, tanpa cahaya, tanpa harapan. Tapi kami tak bisa berhenti. Tidak sekarang.

Lalu, tiba-tiba...

Kegelapan itu berakhir di tepi jurang.

Hamparan tanah yang tadi seolah tiada ujung kini berhenti begitu saja, menganga di hadapan kami. Di bawah sana, air sungai mengalir deras, menuju lautan yang tak terlihat ujungnya.

Kami menatap sekeliling - tak ada jembatan, tak ada jalan lain.

Dan suara langkah para knight di belakang kami semakin keras... semakin dekat.

Waktu hampir habis.

Aku menggenggam tangan Celeste. Matanya membulat, menatapku dengan rasa takut dan ragu.

Tapi aku hanya menatapnya balik, tanpa keraguan.

"Lompat!" ucapku tegas.

Celeste menggigit bibir, lalu mengangguk kecil - tak ada waktu untuk berpikir.

Sandel dan Galland sudah lebih dulu melompat, dan kami pun mengikuti, menembus udara malam dengan teriakan yang menggema di antara tebing-tebing tinggi.

"Ahhh!"

Suara kami tertelan oleh deru air sungai.

Para knight berhenti di tepi jurang, menatap ke bawah, namun tak satu pun dari mereka berani menyusul.

Kami terjun ke air, tubuh kami terbanting oleh arus yang menggila.

Aku berusaha keras menahan napas, menggenggam tangan Celeste sekuat tenaga - tapi arus itu kuat, terlalu kuat.

Air terasa seperti pisau dingin yang menghantam kulit. Nafas tercekat, pandangan buram.

Kami terombang-ambing, terbawa arus, hingga akhirnya terhempas ke tepi sungai, entah seberapa jauh dari tempat kami melompat.

Aku tersedak, berusaha mengeluarkan air dari tenggorokan. Paru-paruku seperti terbakar.

Celeste masih batuk keras - aku segera mengangkat tubuhnya ke punggungku.

"Ayo... kita harus terus bergerak!" ucapku parau, menatap Sandel dan Galland yang tergeletak, mencoba mengatur napas di tanah yang basah.

Kami berjalan tertatih, menembus kabut malam, meninggalkan sungai yang bergemuruh di belakang.

Tapi pikiranku terbang jauh, menembus masa lalu.

Aku masih bisa mengingat hari-hari saat aku dan Erick berlari di ladang yang luas, tertawa lepas di bawah matahari.

Kini, yang tersisa hanyalah bayangan - dan tatapan kosongnya saat ia menghunus pedang ke arahku.

Satu-satunya orang dari masa laluku... kini telah hilang, ditelan oleh loyalitas pada sistem yang tak pernah berpihak pada hati.

Dan malam itu, di tepian sungai yang asing, aku tahu - masa kecilku telah tenggelam bersama arus yang membawanya pergi.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!