Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Aku Akan Menemukanmu
Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai apartemen. Setelah tidur panjang, tubuh Stasia terasa segar kembali. Pagi itu ia menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Ares. Aroma roti panggang dan telur hangat memenuhi ruangan kecil itu.
Begitu semua makanan tersaji rapi di meja, Stasia melangkah ke kamar Ares. Ia membuka pintu perlahan, mendapati bocah itu sudah duduk di kasurnya dengan mata yang masih sayu.
“Pagi, sayangnya Mama,” sapa Stasia lembut.
“Pagi, Mama…” jawab Ares dengan suara serak khas anak baru bangun tidur.
“Tidurnya nyaman? Betah nggak di apartemen baru kita?” tanya Stasia sambil tersenyum.
“Nyaman, Ma. Tapi Ares masih ngantuk,” gumamnya sambil menguap lebar.
Stasia terkekeh kecil. “Sudah waktunya bangun, Sayang. Hari ini Mama mau jenguk adik bayi di rumah sakit. Ares mau Mama tinggal di rumah?”
Mata Ares langsung terbuka lebar. “Adik bayi?”
“Iya.” Stasia mendekat, mengusap pipi chubby anak itu. “Baby-nya Dady Andre masih dirawat di rumah sakit. Jadi Mama mau menjenguk ke sana.”
“Oh… baby itu adiknya Ares?”
“Betul. Adik Ares. Nanti kalau sudah besar, bisa jadi teman main bola buat Ares.”
Mata Ares berbinar penuh semangat. “Ares mau ikut, Ma!” serunya.
“Boleh ikut,” jawab Stasia, tersenyum geli. “Tapi harus mandi dulu. Masak mau ketemu adik bayi tapi badan Kakak Ares bau asem?”
Ares terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kakak Ares? Mama panggil Ares kakak?”
“Nanti kalau adik sudah bisa bicara, adik pasti panggil kamu Kakak Ares,” ujar Stasia, mencubit pelan pipinya.
“Wah… Ares jadi kakak!” teriaknya riang.
“Ares senang?”
“Iya, senang sekali, Ma!”
“Kalau begitu, Kakak Ares harus cepat mandi.”
“Siap, Mama!” Ares berdiri tegap, memberi hormat dengan wajah lucu. Lalu berlari kecil ke kamar mandi, meninggalkan Stasia yang terkekeh sambil menggeleng.
Sambil menunggu, Stasia merapikan tempat tidur dan menyiapkan pakaian yang akan dipakai Ares. Setelah semua siap, ia berganti pakaian, lalu mengajak Ares sarapan bersama.
“Terima kasih sarapannya, Ma,” ucap Ares manis.
“Sama-sama, Sayang,” jawab Stasia sambil mengusap kepalanya.
Usai membereskan meja makan, mereka turun ke lobi apartemen, menghampiri taksi yang sudah dipesan. Perjalanan menuju rumah sakit terasa riang, dipenuhi celotehan Ares yang tak ada habisnya.
“Mama, nanti Ares sekolah juga di sini?” tanyanya penasaran.
“Tentu, Sayang. Dady sedang membantu Mama mencarikan sekolah yang bagus. Besok, katanya, Dady mau antar Ares lihat sekolah baru.”
Ares berpikir sejenak, lalu bertanya lagi, “Kalau di sini, teman-teman Ares bakal baik kayak teman-teman di Paris, nggak?”
Stasia tersenyum, menatap wajah kecil yang begitu polos itu. Ia lalu mengusap lembut pipi Ares. “Ingat apa yang pernah Mama bilang? Di mana pun, ada orang baik dan ada juga yang tidak baik. Paris atau Indonesia sama saja, Nak. Tugas Ares adalah pintar menjaga diri. Kalau ada yang bersikap baik, balaslah dengan kebaikan. Kalau ada yang tidak suka sama Ares, jangan pedulikan, jangan sampai terpengaruh. Mengerti, Sayang?”
Ares mengangguk mantap. “Mengerti, Mama.”
“Anak pintar.” Stasia tersenyum, lalu mengusap puncak kepala bocah itu dengan sayang.
***
“Dam, nggak ke kantor?” tanya Wulan pada saudara kembarnya sambil menimang bayinya yang baru selesai menyusu.
“Iya, hari ini masuk agak siangan. Aku mau bereskan beberapa dokumen dulu. Ada staf dari Paris dan London yang dipindah ke sini,” jawab Damar sambil merapikan jasnya.
“Kenapa mereka dipindah ke Jakarta?” tanya Wulan, masih menggendong bayinya penuh kasih.
“Kita butuh menyatukan ide dan menyesuaikan program dari semua cabang. Termasuk cabang Paris dan London—mereka makin besar, jadi perlu sinkronisasi langsung.”
“Oh begitu… trus, kapan staf barunya datang?”
“Tiga hari lagi. Katanya ada yang sudah sampai Indonesia, tapi masih ngurus kepindahan anaknya sekolah.”
“Wah, berarti udah nggak single,” celetuk Wulan sambil tersenyum nakal.
Damar langsung mengernyit. “Memang kenapa?”
“Ya siapa tahu kalau masih single bisa jadi jodohmu,” sahut Wulan enteng.
“Gak usah ngaco.”
“Ngaco apanya, Dam.” Wulan mendengus. “Sudah waktunya kamu move on. Masa hampir sebelas tahun nggak bisa juga?”
“Apa sih, Lan…” Damar menghela napas berat.
“Kamu tahu siapa yang aku maksud. Masih susah banget, ya, melupakan dia?” suara Wulan melembut, tapi tajam menusuk.
Damar terdiam. Tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang menandakan kenyataannya—ia memang belum bisa melupakan seseorang. Seseorang yang sudah lama pergi, entah di mana, entah bagaimana kabarnya sekarang.
Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka, seorang suster masuk dengan senyum ramah. “Permisi, Bu Wulan. Adik bayi mau saya ambil untuk dimandikan.”
“Baik, Suster.” Wulan menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Setelah menerima si kecil, suster pun keluar ruangan.
Damar bangkit berdiri, meraih tas kerjanya. “Aku ke kantor sekarang.”
“Lho, bukannya kamu bilang masuk siangan?” tanya Wulan heran.
“Aku pikir lebih baik segera selesaikan semua pekerjaan.”
Wulan menatapnya tajam. “Bukan karena mau menghindari pembahasan soal Stacy, kan?”
Damar menghela napas kasar. “Bukan. Aku memang harus pergi.”
“Ya sudah, pergilah. Sebentar lagi Mama juga pasti datang,” ucap Wulan akhirnya, sambil menggeleng pelan melihat sikap saudara kembarnya itu.
***
Di lobi rumah sakit, Damar berdiri santai, menunggu asistennya yang akan menjemput. Matanya menyapu sekeliling, sekadar mengisi waktu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti.
Pandangan itu menangkap sosok yang begitu dikenalnya—sosok yang selama ini ia tunggu, yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
Wanita itu.
Dengan penampilan lebih dewasa, ia berjalan anggun, segelas kopi di tangan kanannya. Rambutnya tergerai indah, tatapannya tenang, seolah dunia di sekitarnya tak sanggup menggoyahkan langkahnya.
Damar terpaku. Dadanya bergetar hebat. Tidak mungkin…
Saat wanita itu masuk ke dalam lift, barulah kesadarannya kembali. Spontan ia bergegas, berusaha menyusul. Namun pintu lift lebih cepat menutup sebelum ia berhasil sampai.
“Sial!” desisnya, meninju pelan sisi dinding. Ia mengumpat dirinya yang terlalu lambat bereaksi.
Tepat saat itu, ponselnya berdering. Dengan kesal ia mengangkatnya.
“Pak, Anda di mana? Saya sudah di depan lobi. Saya tidak bisa berhenti lama di sini,” suara asistennya terdengar tergesa.
Damar menghela napas keras, mencoba menahan kekesalan yang menyesakkan. “Aku segera ke sana,” jawabnya singkat, lalu menutup panggilan.
Ia melangkah keluar lobi, tapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok yang baru saja dilihatnya.
Aku tidak mungkin salah lihat. Itu pasti kamu…
Langkahnya melambat. Sorot matanya penuh tekad bercampur gejolak emosi.
Jadi kamu sudah kembali ke Indonesia? Tapi kenapa tidak menemuiku?
Genggaman tangannya mengepal erat.
Baiklah. Tunggu saja. Aku akan menemukanmu… dan membuat perhitungan. Jangan kamu pikir bisa pergi begitu saja dariku.