"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rayuan Maut
Aroma parfum mahal beradu dengan suara kartu kredit yang digesek, menciptakan melodi yang terasa mewah di sebuah butik di pusat kota Jakarta. Sella tersenyum penuh kesenangan, matanya memuja Andra yang berdiri tegak di hadap cermin, mengenakan setelan jas abu-abu arang. Di tangan Sella, tergeletak tiga tas belanja dengan logo merek ternama, semuanya dibeli hari ini atas nama “investasi penampilan” Andra.
“Sayang, ini gila! Lihat dirimu. Benar-benar seperti CEO yang sesungguhnya,” puji Sella, menyuarakan apa yang sudah menjadi mantra harian mereka. Sella selalu merasa beruntung bisa bersanding dengan pria tampan dan memesona seperti Andra, meskipun dalam dua bulan terakhir, Andra selalu menemukan alasan baru mengapa kartu Sella yang harus berbicara.
Andra memutar tubuh, memamerkan dasi sutra barunya. Senyumnya begitu menawan dan ramah, seolah-olah ia dilahirkan untuk memancarkan aura kemakmuran. Hanya matanya yang terkadang menampilkan kilatan tajam yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memperhatikan detail.
“Tentu saja, Sayang. Calon suamimu ini tidak boleh terlihat lusuh di hadapan klien miliaran,” ujar Andra sambil mengecup kening Sella lembut. Sentuhan itu membuat Sella kembali melupakan tumpukan tagihan yang baru saja ia selesaikan.
“Aku cuma takut… kartu kreditku sudah di batas maksimal, Ndra. Dan transferan dari kantor baru cair lusa. Bagaimana dengan makan malam kita malam ini?” tanya Sella sedikit khawatir, menyinggung masalah kecil di tengah lautan kemewahan yang mereka ciptakan.
Andra memajukan tubuh, memegang kedua tangan Sella dengan kehangatan yang dibuat-buat.
“Oh, Sayang, kamu ini bicara apa? Tentu saja kita makan malam. Soal kartu, itu hal sepele. Bukankah sudah kubilang? Sebentar lagi kontrakku dengan Tuan Richard selesai. Saat itu terjadi, aku akan mengembalikan semua yang kamu keluarkan, plus bonus tiga kali lipat. Kita akan beli vila di Bali, Sella. Ingat impian kita?”
Sella mengangguk cepat. Ia selalu mencintai bagaimana Andra membingkai masa depan mereka. Penuh harapan dan kemewahan. Itu membuatnya merasa layak untuk pengorbanan finansialnya.
“Oke, tapi janji ya, kamu harus segera transfer ganti uang yang tadi kubelikan jam tangan itu. Jam tangan itu harganya setengah gajiku, Ndra,” desak Sella, mencoba menunjukkan sedikit ketegasan.
Andra terkekeh. “Tenang, Sella. Kenapa kamu khawatir sekali? Kamu meragukan calon suamimu sendiri, hah? Sudahlah, ayo kita keluar dari sini. Kita rayakan ‘investasi’ hari ini di restoran Italia langgananku. Pesan semua yang kamu mau.”
Malam harinya, di restoran mewah, alih-alih merayakan, suasana hati Sella justru perlahan menciut. Setelah menghabiskan sepiring pasta dengan saus truffle yang fantastis, Andra mulai menggeser pembicaraan dari rencana masa depan ke masalah keuangan saat ini.
Andra memegang segelas wine merah, matanya tampak sedikit muram, sebuah ekspresi yang sangat jarang Sella lihat, dan karenanya, langsung memicu alarm dalam dirinya.
“Sella, kamu percaya aku, kan?” tanya Andra tiba-tiba, suaranya dipenuhi beban yang dramatis.
“Tentu saja, Ndra. Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Begini. Ada masalah besar, Sayang. Sangat besar. Tapi ini bisa menjadi terobosan luar biasa untuk kita, untuk masa depan vila di Bali itu. Klien utamaku, yang janji investasi miliaran, ternyata menarik dananya di menit terakhir. Sialan!” Andra memukul meja pelan, tetapi efeknya cukup kuat untuk menarik perhatian Sella sepenuhnya.
Sella menahan napas. “Menarik dananya? Kenapa?”
“Katanya dia butuh jaminan dana operasional cepat. Dana jaminan! Lima ratus juta, Sayang. Kalau aku tidak bisa menunjukkan dana tunai itu besok pagi, seluruh proyek ambisius kita batal. Miliaran rupiah melayang sia-sia.” Andra menundukkan kepala, memegang dahinya dengan pose frustrasi yang sempurna.
Sella merasakan darahnya berdesir dingin. Lima ratus juta. Itu jumlah uang yang bahkan ia belum pernah sentuh seumur hidupnya. Sella sadar bahwa Andra selalu menggunakan kartu Sella untuk pengeluaran sehari-hari, tapi ini adalah level yang berbeda.
“Lima ratus juta? Ndra, aku… aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku bahkan baru saja menguras tabunganku untuk bayar tagihan hotel dan event bisnismu bulan lalu,” ucap Sella, berusaha tetap tenang meskipun tenggorokannya tercekat.
Andra mendongak, matanya kembali menunjukkan kilatan bujukan maut yang selalu meluluhkan hati Sella. Ia mengambil tangan Sella, menggenggamnya erat, dan menatap jauh ke mata wanita itu.
“Aku tahu, Sayang. Aku tahu kamu sudah berkorban banyak. Tapi ini terakhir kalinya, aku janji! Hanya butuh dana darurat ini. Setelah kontrak ini berhasil, semua kerugianmu akan kututup seribu persen. Aku bahkan akan belikan kamu mobil baru! Apa yang kamu punya yang bisa kita cairkan sekarang?”
“Aku… aku hanya punya tabungan sisa tiga puluh juta. Sisanya, aset… aset pribadiku yang ditinggalkan orang tuaku,” Sella mengakui dengan suara hampir berbisik. Itu adalah warisan berharga yang harus ia jaga mati-matian, aset berupa sebuah ruko kecil di kawasan strategis yang menghasilkan pendapatan pasif.
Andra menyeringai, senyum kesenangan yang halus namun tajam terlihat sekilas sebelum ia kembali memasang wajah memohon.
“Ruko? Ya Tuhan, Sella! Itu ide cemerlang! Cepat, Sayang. Jual saja rukonya! Nilainya pasti lebih dari lima ratus juta. Sisanya bisa kamu pegang, atau kita gunakan sebagai modal nikah kita! Kamu relakan sebentar ya? Hanya formalitas, kita akan beli lagi ruko yang lebih besar setelah ini. Ini semua demi kita, demi masa depan kita berdua.”
Kepala Sella mulai berdenyut. Andra meminta Sella untuk menghancurkan satu-satunya jaminan hidupnya. Tiba-tiba, ia tidak lagi melihat Andra sebagai CEO tampan yang dicintai. Sella melihat seorang pria yang tersenyum terlalu lebar, memaksanya melepaskan segalanya demi ilusi.
“Ndra, itu warisan. Itu jaminanku, satu-satunya jaminanku… Aku tidak bisa,” tolak Sella, nada suaranya kini bergetar penuh keraguan.
Andra langsung menarik tangannya, ekspresi sedihnya seketika hilang digantikan kekecewaan yang nyata, atau setidaknya, sangat meyakinkan.
“Jadi kamu lebih mementingkan sebidang bangunan kotor daripada masa depan hubungan kita? Daripada kesempatan emas untuk melihatku sukses dan hidup dalam kemewahan yang kubayangkan untuk kita?” Andra meninggikan suaranya, memojokkan Sella, menciptakan ketegangan yang menyesakkan di antara meja makan yang penuh sesak.
“Sella, kamu bilang kamu bucin, kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kalau begini saja kamu ragu, lantas bagaimana kamu akan percaya bahwa aku adalah calon suami terbaikmu?”
Mendengar tuduhan itu, Sella merasakan hantaman emosi yang hebat. Ia takut dituduh tidak mencintai, takut kehilangan Andra yang selama ini menjadi pusat dunianya, meski ia sadar bahwa ia telah terkuras habis.
“Baik, Ndra. Baik. Aku akan urus surat-suratnya besok,” jawab Sella akhirnya, menyerah pada tekanan dan rayuan maut yang membuat akal sehatnya teredam.
Senyum kemenangan Andra kembali mekar, begitu cepat, begitu lega. Ia mengecup tangan Sella, tampak seolah-olah dunia telah kembali ke tempatnya. Ia tidak menyadari bahwa di sudut ruangan, Sella menatapnya, air mata mulai menggenang. Malam ini, ia telah memilih untuk mengorbankan segalanya, dan jauh di lubuk hatinya, ia merasa, sepotong demi sepotong, ia mulai menyadari bahwa ia bukan mencintai, melainkan ditipu.
“Bagus, Sayang. Aku tahu kamu akan mendukungku. Setelah ini, kamu tidak perlu bekerja lagi. Sekarang, telepon makelar rukomu sekarang juga,” perintah Andra, tanpa memberi jeda, memastikan Sella tidak punya waktu untuk berubah pikiran. Ia meraih ponsel Sella dan menyodorkannya ke tangan wanita itu, senyum palsunya bertepuk tangan atas kehancuran yang sebentar lagi akan sempurna.
Saat Sella menekan tombol panggilan, ponsel Andra berdering nyaring, notifikasi pesan masuk dari nomor asing yang terpampang jelas di layar yang ia letakkan di meja.
Andra segera meraihnya, tetapi gerakan cepatnya membuat Sella sempat menangkap sepotong isi pesan tersebut, meskipun hanya sekilas. Sebuah foto… dan di bawahnya tertulis:
“Selamat ya, Mokondo! Targetmu kali ini benar-benar mudah. Jangan sampai tertangkap lagi. Salam dari istrimu di Bogor.”
Jantung Sella seolah berhenti berdetak. Ia bukan hanya dibohongi tentang kekayaan, tetapi tentang status hubungan Andra. Andra bukan hanya mokondo, dia juga… beristri? Dan panggilan telepon ke makelar di tangan Sella, terasa semakin berat, memegang janji akan kehancuran finansial yang sebentar lagi akan terjadi.
Sella menatap Andra yang sedang sibuk membalas pesan itu dengan wajah panik, seolah-olah ada lubang hitam besar yang baru saja terbuka di hadapannya.