Cinta Monyet Belum Usai
Di sebuah rumah sakit ibu dan anak, suasana ruang bersalin dipenuhi ketegangan. Seorang wanita muda tengah berjuang melahirkan penerusnya.
“Berjuanglah, Nak. Kamu pasti kuat,” bisik Mama Rini, menggenggam tangan putrinya erat.
“Ma… sakit…” air mata menetes dari pelupuk mata Wulan, wajahnya pucat menahan sakit yang luar biasa.
“Kamu kuat, Sayang. Anak Mama pasti kuat. Sedikit lagi…” suara sang ibu bergetar, mencoba tegar meski hatinya ikut perih.
Wulan berusaha mengatur napas, menarik dalam-dalam lalu mendorong dengan sekuat tenaga. Dalam hatinya ia hanya berdoa agar bayi kecil itu lahir dengan selamat—buah cinta terakhir dari suaminya yang telah pergi, warisan berharga untuk menemaninya kelak.
“Sedikit lagi, Bu. Dorong lagi!” seru dokter yang mendampinginya.
“Ahhh…” teriak Wulan sekuat tenaga, hingga tak lama kemudian, suara tangis bayi menggema memenuhi ruangan.
Semua rasa sakit seketika luruh. Air mata haru mengalir di pipi Wulan, berganti dengan senyum lega.
“Selamat, Nak. Kamu sudah menjadi seorang ibu. Kamu hebat sekali. Anak Mama memang hebat…” Mama Rini langsung memeluk putrinya, mencium kening Wulan, lalu mengusap peluh yang membanjiri wajahnya.
“Selamat, Ibu. Putra Ibu lahir dengan selamat, bahkan sangat tampan,” ucap sang dokter sambil tersenyum, membuat suasana kian hangat.
“Anakku… aku sudah jadi ibu, Ma,” suara Wulan bergetar, isaknya pecah di antara rasa syukur.
Dalam hati, Wulan berbicara pada almarhum suaminya. “Anak kita sudah lahir, Mas. Andai kamu ada di sini, pasti kita bisa bahagia bersama. Tapi aku ikhlas… kamu harus bahagia di surga.”
Tak lama, seorang perawat datang membawa bayi mungil itu, lalu meletakkannya di dada Wulan. Begitu merasakan hangat tubuh bayinya, Wulan tak kuasa menahan tangis bahagia. Ia tahu, meski kehilangan sosok suami, kini ia punya alasan baru untuk bertahan dan terus melangkah.
Keluar dari ruang bersalin, Mama Rini berjalan dengan senyum sumringah yang sulit disembunyikan.
“Bagaimana kondisi Wulan, Sayang?” tanya Dean begitu melihat istrinya keluar, suaranya penuh cemas. Damar dan Adam ikut mendekat, wajah mereka sama-sama tegang menunggu kabar.
“Bayi Wulan lahir dengan selamat,” jawab Rini, matanya berbinar.
Sekejap, suasana berubah. Wajah-wajah tegang itu kini terasa lebih lega, senyum terbit di bibir mereka.
Dean memeluk istrinya dengan rasa haru dan penuh syukur, "Kita sudah jadi Kakek dan Nenek, sayang. Rasanya baru kemaren kita gendong mereka seperti bayi, sekarang mereka sudah bisa memberi kita cucu."
“Kapan kita boleh lihat keponakan, Ma?” tanya Adam dengan antusias, hampir tak bisa diam.
“Tunggu sebentar. Nanti suster pasti mengizinkan,” jelas Rini sambil menepuk lengan putranya.
“Duh, rasanya nggak sabar. Pasti ponakanku itu setampan aku,” ucap Adam dengan bangga.
“Ck… apaan. Kalau mau punya fotokopi wajahmu, mending nikah dulu!” sindir Damar cepat.
Adam melotot pura-pura tersinggung. “Halah, sesama jomblo jangan sok memerintah!”
“Siapa yang jomblo?” Damar spontan membalas dengan wajah kesal.
Adam menyeringai, “Ya iya sih, nggak jomblo. Tapi ceweknya masih kabur kan?” cibirnya sambil melipat tangan.
“Hey! Kalian ini, jangan ribut di rumah sakit, usia sudah hampir kepala tiga masih aja suka ribut.” potong Rini, menatap kedua anaknya tajam.
Adam malah terkekeh, lalu merangkul lengan Rini manja. “Iya deh, maaf, Mama cantikku… Gak pakai diingatkan soal usia, Adam kan baru 29 tahun, masih muda.” katanya sambil bergelayut di pundaknya.
Dean langsung mengernyit. “Eh, jangan manja-manja sama Mama. Mama itu punya Papa. Sana cari cewek sendiri kalau mau manja!”
Rini menghela napas panjang, menatap suami dan anak lelakinya bergantian. “Ya Tuhan… nggak anak, nggak bapak, kelakuannya sama aja!” ucapnya sambil menggeleng heran, meski senyum kecil tetap merekah di bibirnya.
***
Sementara itu, di dalam sebuah pesawat yang terbang dari Paris menuju Singapura, seorang gadis muda tampak duduk di kursinya. Di sampingnya, seorang bocah kecil berusia lima tahun menatap keluar jendela, matanya berbinar-binar melihat gumpalan awan putih yang seolah berlari di luar sana.
“Ma, nanti kita bakal balik lagi ke Paris, nggak?” tanya bocah itu dengan suara polos.
Wanita muda itu menoleh, tersenyum lembut. “Mama belum tahu, Sayang. Semua tergantung keputusan atasan Mama. Kamu keberatan kalau harus tinggal di Indonesia?”
Bocah itu cepat menggeleng, lalu meraih tangan sang mama dengan erat. “Tidak, Ma. Ares mau tinggal di mana saja… asal sama Mama.”
Hati Stasia Miller bergetar mendengar jawaban polos itu. Ia menatap keponakan kecilnya, Ares Mahardika Miller, bocah yang sudah ia rawat seperti anak sendiri sejak kakak dan kakak iparnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Senyum tipis terbit di wajahnya, meski matanya menyimpan lelah dan segaris keraguan.
“Anak pintar,” bisiknya, mengusap lembut rambut hitam Ares. “Sekarang istirahat, ya. Perjalanan kita masih panjang.”
Ares mengangguk patuh, lalu merebahkan kepala mungilnya di bahu Stasia. Tak butuh waktu lama, bocah itu terlelap dalam damai. Stasia pun akhirnya menyandarkan kepala, matanya perlahan terpejam, membiarkan dirinya ikut tertidur di samping Ares, sementara pesawat terus melaju menembus langit malam.
Belasan jam berlalu. Setelah sempat transit di Singapura, akhirnya pesawat yang ditumpangi Stasia dan Ares kembali mengudara menuju Jakarta. Tubuhnya terasa lelah, tapi ada sedikit lega saat roda pesawat mendarat di tanah air.
Stasia menggandeng tangan Ares melewati kerumunan penumpang, matanya sibuk mencari-cari sosok yang menjemput mereka.
“Ares, Sisi!” sebuah suara lantang memanggil.
Ares menoleh cepat, wajahnya langsung berbinar. “Dady Andre!” serunya gembira, lalu berlari ke arah pria yang melambaikan tangan.
Andreas Whitmore jongkok sambil merentangkan tangan, menerima pelukan hangat dari bocah kecil itu. “Hai, jagoan Dady…” ucapnya penuh sayang sambil mengangkat tubuh mungil Ares.
Stasia tersenyum melihat kedekatan keduanya, lalu melangkah santai menghampiri.
“Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Andreas, menoleh ke arah Stasia.
“Lumayan melelahkan,” jawab Stasia singkat, menghela napas sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
“Kalau begitu, kita langsung ke apartemen, ya.” Andreas memberi isyarat pada dua porter yang sudah disiapkan, membantu membawa koper-koper besar milik Stasia.
“Kak Andre menyiapkan apartemen untuk kita?” Stasia menatapnya sambil berjalan menuju mobil.
“Tentu saja,” jawab Andreas mantap. “Aku tidak mau keponakan satu-satunya tinggal di tempat yang tidak nyaman.”
“Kak, kamu berlebihan.” Stasia menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak ada yang berlebihan untuk keluarga,” balas Andreas, menatap serius.
Stasia menunduk, hatinya hangat. “Terima kasih…”
“Tidak perlu berterima kasih. Ayo, masuklah.” Andreas membuka pintu mobil setelah memastikan barang-barang sudah masuk ke bagasi.
Mereka pun berangkat, mobil melaju tenang menembus keramaian Jakarta. Ares duduk di pangkuan Stasia, asyik menceritakan hal-hal kecil selama tinggal di Paris.
Hening sejenak, lalu Stasia bersuara pelan, “Kak, aku turut berduka cita atas meninggalnya Kak Indri.”
Andreas terdiam sejenak. Senyum tipis namun getir muncul di wajahnya. “Terima kasih, Si…”
“Bagaimana dengan bayi kalian sekarang?” tanya Stasia hati-hati.
Andreas menghela napas berat. “Saat ini masih di rumah sakit. Bayinya perlu perawatan khusus… karena alergi susu formula.”
Mata Stasia membesar, tangannya refleks menutup bibir. “Ya Tuhan… terus bagaimana sekarang?”
“Kami sedang berusaha mencari donor ASI,” jelas Andreas. “Sayangnya, donor sebelumnya keberatan untuk melanjutkan. Aku tak bisa memaksa… dia juga punya bayi sendiri yang harus dipenuhi kebutuhannya.”
Stasia terdiam, hatinya ikut pilu. Ia menatap adik dari almarhumah kakak iparnya dengan penuh simpati. “Semoga segera ditemukan jalan keluar, Kak.”
Andreas mengangguk pelan. “Amin. Terima kasih, Si.”
Suasana di dalam mobil hening sejenak. Hanya suara tawa kecil Ares yang terdengar, seolah menjadi cahaya kecil yang berusaha mengusir kesedihan di antara mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Nadira ST
lanjut thor kepo nih kelanjutannya,ternyata stasia ngerawat anak kakaknya makanya menghilang dari damar
2025-08-27
0
Erna Fadhilah
kirain Ares anaknya stacy dan Damar,ternyata keponakannya Stacy🤭🤭
2025-09-11
0