Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemasangan Susuk
Suasana di rumah dukun itu mencekam. Lilin-lilin kecil berkelap-kelip, menebarkan bayangan yang menari di dinding, sementara aroma dupa dan rempah membakar hidung dengan tajam. Di tengah ruangan, seorang wanita bernama Atna Lestari duduk dengan tegang. Wajahnya penuh kerut, kulitnya mulai kendur, dan sorot matanya menyiratkan rasa takut bercampur harap.
“Di mana mau dipasang susuknya?” tanya sang dukun, suaranya serak dan dingin, menembus keheningan malam.
Atna menunduk, bibirnya bergetar. “Di beberapa tempat… di wajah, di tubuh, agar tetap menarik bagi pelanggan… dan agar tetap berdaya,” jawabnya, suara lembut tapi tegas. Kerut di wajahnya seolah menambah urgensi permintaannya. Usia yang semakin tua membuatnya khawatir kehilangan daya tarik, dan banyak pelanggan mulai mencari yang lebih muda.
Dukun itu menatap Atna dengan mata tajam, kemudian mengeluarkan beberapa jarum kecil yang berkilau di cahaya lilin. Tangan-tangannya bergerak hati-hati, menempatkan jarum itu dengan presisi yang aneh. Suasana menjadi semakin tegang; angin malam dari jendela yang terbuka berdesir seolah membawa bisikan-bisikan gelap.
Setiap kali jarum itu disentuhkan, Atna merasakan panas yang menusuk kulitnya. Namun, rasa sakit itu bukan sekadar fisik. Ada aura yang menekan, seolah kekuatan gaib menembus ke dalam tubuhnya. Lilin-lilin berkelip lebih liar, bayangan menari-nari di dinding, dan desahan halus terdengar di sudut ruangan, entah berasal dari manusia atau sesuatu yang lain.
“Jangan takut… kekuatan ini akan melindungimu… tapi juga menuntut sesuatu,” kata dukun itu, menambahkan rasa ngeri yang tak terlihat tapi dirasakan hingga ke tulang. Atna menelan ludah, merasakan hawa dingin merayap di seluruh tubuhnya. Malam itu, dia sadar, ritual ini bukan sekadar menambah pesona, tapi membuka pintu ke sesuatu yang lebih gelap—sesuatu yang mungkin akan menghantuinya selamanya.
Dukun itu menunduk, tangannya bergerak cepat namun terukur, menancapkan jarum kecil berkilau ke titik-titik yang diminta Atna.
Setiap tusukan disertai mantra yang lirih, terdengar seperti desahan angin di malam pekat. Ruangan itu terasa semakin berat, udara seperti terselimuti kabut tak terlihat, dan lilin-lilin berkelip liar seolah menolak cahaya mereka sendiri.
Atna menahan napas, menatap tangan-tangan dukun yang bergerak di tubuhnya. Rasa panas menyebar, tetapi itu bukan hanya rasa sakit fisik. Ada kekuatan yang merayap di bawah kulitnya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan napasnya tersengal. Sesekali, bayangan di sudut ruangan tampak bergerak sendiri, dan suara bisikan samar mengisi keheningan.
“Ini… aman, kan?” gumam Atna, suaranya bergetar.
Dukun itu menatapnya, mata tajamnya berkilau di cahaya lilin. “Aman… tapi setiap kekuatan punya harga. Jangan salahgunakan. Jangan sampai ada yang melihat ritual ini… atau… efeknya akan lebih dari yang kau bayangkan.” Suaranya serak, namun menembus tulang Atna.
Tiba-tiba, lilin-lilin di ruangan itu berkedip lebih cepat, bayangan menari liar di dinding, membentuk wajah-wajah samar yang menatap Atna. Rasa dingin menusuk dari ujung kaki hingga kepala. Atna merasa seolah tubuhnya mulai terpisah dari dirinya sendiri, dan sebuah bisikan lembut, tapi menakutkan, terdengar di telinganya:
“Kau telah membuka pintu… dan aku akan menunggumu.”
Tubuh Atna menggigil, kulitnya terasa panas sekaligus dingin, seolah ada dua kekuatan yang saling bertarung di dalam dirinya. Dukun itu menyelesaikan ritual, menutup titik-titik susuk dengan mantra terakhir. Tapi efeknya segera terasa: bayangan di ruangan tampak lebih pekat, angin berdesir membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang busuk, dan di luar jendela, sekelebat kain putih tampak menunggu, menari di kegelapan malam.
Atna menunduk, merasakan aura gelap menempel di dirinya. Wajahnya kini tampak lebih segar, matanya bersinar, dan tubuhnya seolah lebih hidup.
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain sebuah energi gelap, haus akan korban, yang menunggu kesempatan untuk bebas.
Atna tersadar bahwa dia bukan lagi sekadar manusia biasa. Dia telah mengikat dirinya pada sesuatu yang tak bisa dia kendalikan—sesuatu yang akan kembali, menuntut darah, dan menebarkan teror.
Malam itu, rumah dukun kembali sunyi, tetapi udara masih bergetar dengan energi yang baru saja dilepaskan. Di kejauhan, sekelebat kain putih melintas di antara bayangan pohon dan rumah, bergerak tanpa suara, menunggu saat yang tepat.
Atna duduk terpaku, merasakan tubuhnya bergetar, sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan di dalam kegelapan itu, sebuah janji gelap terbentuk—pocong bersusuk akan muncul, membawa teror yang tak terbayangkan bagi desa yang damai itu.
Setelah ritual selesai, Atna merasakan denyut halus di seluruh tubuhnya, bukan hanya akibat tusukan fisik dari jarum susuk, tapi juga dari energi gelap yang menempel di dalam dirinya.
Napasnya tersengal, kulitnya panas sekaligus dingin, dan aura susuk memancar samar di sekeliling tubuhnya, seperti peringatan tak terlihat: kekuatan ini akan melindungi, tapi juga menuntut harga.
Di luar jendela, bayangan sekelebat kain putih itu bergerak semakin dekat, menembus kegelapan malam. Atna menelan ludah, sadar bahwa pocong bersusuk kini siap mengintai, menunggu kesempatan pertama untuk menegakkan terornya.
Setiap langkahnya, setiap gerakan kecil, terasa diawasi oleh energi gelap yang baru saja ia panggil.
Tubuhnya lebih hidup dan wajahnya tampak segar, tetapi di dalam hatinya, ketegangan tak hilang. Ia tahu, susuk yang menempel bukan sekadar perhiasan magis—ia telah mengikat dirinya pada kekuatan gaib yang haus akan korban, yang tidak akan pernah benar-benar bisa dikendalikan.
Di kamar yang sunyi, lilin-lilin yang masih berkedip menebarkan bayangan liar, seolah menyampaikan pesan samar: malam ini baru permulaan.
Atna sadar, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Pocong bersusuk akan muncul, dan desa yang damai itu akan menjadi saksi teror yang tak terbayangkan.
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu