Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawaran Malaikat
"Kevin, hidungmu benar-benar berisik hari ini," ucap Revan dengan nada menggoda sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sebelah, matanya berbinar-binar penuh dengan ekspresi mengejek. "Suara bersinmu tadi sampai menggema di seluruh ruangan kelas."
"Awas saja kamu nanti bakal kena karma," balas Kevin dengan suara sengau yang terdengar parau, namun ancamannya sama sekali tidak memiliki kekuatan mengintimidasi dalam kondisi hidung tersumbat seperti ini. Tangannya yang gemetar meraih tisu dari atas meja untuk membersihkan hidungnya yang merah merona.
Keesokan harinya setelah kejadian hujan deras itu, flu menghantam Kevin dengan keras tanpa memberikan belas kasihan sedikit pun. Seluruh tubuhnya terasa berat seperti ditimpa batu, dan kepalanya berdenyut-denyut tak karuan.
Revan, teman sekelas sekaligus rival abadinya yang selalu duduk di sampingnya, memperhatikan kondisi Kevin dengan tatapan yang lebih mirip hiburan daripada menunjukkan kepedulian. "Duh, kemarin masih bisa bertingkah seperti jagoan, sekarang sudah berubah menjadi mayat hidup yang menyedihkan," godanya sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang putih bersih. Tangannya yang ramping mengetuk-ngetuk meja dengan ritme cepat, menambah kesan bahwa dia sedang menikmati penderitaan temannya ini.
Kevin hanya bisa terus mengendus-endus sambil berusaha keras menarik napas melalui hidungnya yang sudah merah seperti tomat matang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dengan intens, entah karena pilek yang menyiksa atau demam yang mulai menggerogoti tubuhnya. Matanya yang biasanya tajam sekarang terlihat sayu dan berair, dengan lingkaran hitam yang jelas terlihat di bawahnya.
Obat flu yang dibelinya dari warung dekat sekolah ternyata sama sekali tidak memberikan efek seperti yang diharapkan. Padahal dia sudah minum sesuai dosis yang tertera di kemasan. "Ini pasti obat kadaluwarsa," gumamnya dalam hati sambil menatap kosong ke depan.
"Waduh, mukamu benar-benar seperti orang kesurupan," komentar Revan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut pendeknya yang berwarna cokelat muda bergerak mengikuti gerakan tersebut. "Kemarin kan masih terlihat sehat-sehat saja? Apa yang terjadi padamu?"
"Kehujanan..." jawab Kevin singkat sambil meraih tisu lagi dari kotak yang sudah hampir habis. Tangannya yang gemetar kesulitan mengambil tisu terakhir dari dalam kotak.
"Gila, kamu tidak membawa payung kemarin?" tanya Revan dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa tidak percaya. Matanya yang tajam menatap Kevin dengan penuh pertanyaan.
"Payungnya... dipinjamkan..." jawab Kevin dengan suara parau, mencoba menghemat tenaga untuk berbicara karena tenggorokannya yang terasa seperti terbakar.
"Ke siapa?" tanya Revan dengan penasaran, sekarang tubuhnya condong ke depan dengan minat yang tiba-tiba meningkat. Tangannya yang biasanya malas sekarang menopang dagunya dengan siku yang diletakkan di atas meja.
Pikiran Kevin langsung melayang ke sosok Cindy yang dia temui pagi tadi di koridor sekolah. Gadis itu terlihat begitu segar dan bugar, bahkan lebih bersemangat dari biasanya. Padahal dialah yang kemarin menyerahkan payungnya tanpa pikir panjang. Ironis sekali keadaannya sekarang.
"Ke... anak tersesat," jawab Kevin samar-samar, memilih untuk tidak menyebutkan nama aslinya. Matanya memandang ke jendela, menghindari tatapan Revan yang penuh pertanyaan.
Revan mengangkat kedua alisnya yang tebal, menunjukkan ekspresi terkejut. "Anak tersesat? Jadi kamu tiba-tiba menjadi pahlawan dadakan begitu?" suaranya terdengar tidak percaya sambil tertawa kecil. "Ceritanya semakin menarik nih."
Sebenarnya Cindy adalah siswi sekelas mereka, tapi ekspresinya kemarin ketika kehujanan benar-benar mirip dengan anak kecil yang kebingungan mencari orang tuanya. Kevin baru menyadari hal ini sekarang ketika mengingat kembali kejadian kemarin.
"Terserah deh bagaimana kamu memandangnya," goda Revan lagi dengan senyum lebar. "Yang jelas sekarang kamu yang menjadi korban. Klasik sekali, memberi payung saat hujan deras tapi diri sendiri malah basah kuyup. Sok pahlawan banget kamu." Suaranya terdengar semakin menghina namun tetap dalam nada bercanda.
"Bukan sok pahlawan," bantah Kevin sambil meraih tisu terakhir dari kotak yang sudah kosong. "Aku memang tidak punya pilihan lain saat itu." Wajahnya terlihat kesal namun tidak memiliki energi untuk berdebat lebih lanjut.
Revan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, suaranya yang keras membuat beberapa siswa lain menoleh ke arah mereka. "Dasar idiot sejati!" katanya sambil menepuk-nepuk paha sendiri. "Sudah tahu kamarmu berantakan seperti kapal pecah, gaya hidupmu semrawut tidak karuan, sekarang sok-sokan mau jadi penyelamat. Makanya kena hukumannya begini!" Tangannya sekarang menunjuk-nunjuk ke arah Kevin yang malang.
Kevin hanya bisa mengerutkan keningnya yang sudah berkeringat dingin. Memang benar kamarnya berantakan seperti kapal pecah, makanannya hanya mengandalkan warung sekitar atau kadang malah melewatkan makan, dan gaya hidupnya jauh dari kata sehat atau teratur. Tapi dia tidak pernah berpikir itu akan berakibat seperti ini.
"Pulang dan istirahatlah yang cukup," kata Revan tiba-tiba dengan nada serius, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih dewasa. "Kita akan menghadapi akhir pekan ini. Cepat sembuh agar bisa menikmati waktu liburan." Tangannya sekarang menepuk-nepuk bahu Kevin dengan lembut.
"Yah..." jawab Kevin lemah, tidak memiliki energi untuk merespon lebih dari itu.
"Eh, kan enak kalau punya pacar," usik Revan tiba-tiba dengan senyum nakal kembali menghias wajahnya. "Pasti ada yang merawat dan menjaga saat sakit begini." Matanya berbinar-binar penuh dengan arti tersembunyi.
"Bodo amat," gerutu Kevin sambil mencoba meraih kotak tisu kosong di depannya dengan sia-sia. "Lagi pula kamu saja yang punya pacar, tidak usah sok-sokan merendah." Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal namun tetap lemah.
Revan hanya tersenyum puas dengan kemenangannya, lalu kembali ke bukunya sambil sesekali melirik Kevin yang sedang menderita. Suasana kelas kembali tenang, hanya diisi oleh suara guru yang sedang menjelaskan materi dan suara bersin Kevin yang sesekali terdengar.
Sepulang sekolah, kondisi Kevin semakin memburuk dengan drastis.
Sakit kepala dan pilek yang dia rasakan sejak pagi sekarang bertambah parah dengan tenggorokan yang terasa seperti diiris-iris pisau dan seluruh badan yang lemas tak berdaya. Langkahnya tertatih-tatih seperti orang mabuk saat berusaha pulang menuju apartemennya, napasnya tersengal-sengal tidak teratur.
Dia nyaris tidak menyadari bahwa dirinya sudah sampai di depan lift apartemen. Badannya yang panas dan berkeringat dingin bersandar dengan lemah pada dinding lift yang dingin, memberinya sedikit kenyamanan sesaat.
"Haah... haah..." nafasnya yang berat menggema di dalam lift yang sempit.
Di sekolah tadi dia masih bisa berpura-pura kuat di depan teman-temannya, tapi sekarang di tempat sepi ini, rasanya seperti seluruh energi dalam tubuhnya mengalir keluar. Bahkan gravitasi biasa di dalam lift yang biasanya tidak dia rasakan, sekarang terasa seperti kekuatan yang menindih seluruh tubuhnya.
Suara lift yang sampai di lantainya membuat Kevin tersentak kecil. Dengan susah payah, dia melangkah keluar dari lift, lalu tiba-tiba seluruh tubuhnya membeku.
Di depan pintu apartemennya, berdiri tegak seorang gadis dengan rambut pirang terang yang dikepang rapi. Cindy.
Gadis itu terlihat begitu segar dan bersih seperti model iklan sampo di televisi, kulitnya yang putih mulus bersinar di bawah lampu koridor, matanya yang jernih berbinar-binar. Sangat kontras dengan penampilan Kevin yang seperti mayat hidup dengan baju seragam kusut dan wajah pucat tak berdaya.
Di tangannya yang mungil, tergenggam erat payung lipat berwarna biru yang dia pinjamkan kemarin. Payung itu terlihat sudah dibersihkan dan dirapikan dengan sempurna.
"Kan... tidak perlu dikembalikan," ucap Kevin dengan suara serak yang hampir tidak terdengar, mencoba untuk tampak normal meski seluruh tubuhnya berteriak minta istirahat.
Cindy mengangkat payung itu dengan kedua tangannya seperti mempersembahkan sesuatu yang berharga. "Pinjaman itu harus dikembalikan," katanya dengan suara lembut namun tegas. Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan ketika matanya yang tajam berhasil menangkap wajah pucat dan berkeringat dingin milik Kevin.
"Kamu... demam?" tanyanya dengan nada khawatir yang tulus, alisnya yang tipis berkerut menunjukkan keprihatinan.
"Bukan urusan kamu," sergah Kevin dengan suara kasar yang tidak dia maksudkan. Dia sama sekali tidak ingin bertemu Cindy dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Apalagi gadis itu pasti bisa menebak bahwa flu ini adalah akibat langsung dari aksinya kemarin menyerahkan payung.
"Tapi ini karena aku meminjam payungmu..." suara Cindy terdengar ragu dan bersalah.
"Tidak ada hubungannya," potong Kevin dengan cepat, terlalu cepat mungkin. Dia tidak ingin mendengar penyesalan atau rasa bersalah dari gadis ini.
Cindy mengerutkan keningnya yang halus, membentuk kerutan kecil di antara alisnya yang tipis. "Aku ada di sana saat itu, dan sekarang kamu sakit karena kehujanan." Tangannya yang memegang payung sekarang menggenggam lebih erat, menunjukkan ketegangan yang dia rasakan.
"Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan," kata Kevin mencoba meyakinkan, meski suaranya yang parau dan wajahnya yang pucat sama sekali tidak meyakinkan.
Dia tidak ingin orang lain, apalagi Cindy, merasa berkewajiban atau bersalah hanya karena dia memilih untuk melakukan sesuatu atas kemauannya sendiri. Tapi tampaknya Cindy bukan tipe orang yang bisa dengan mudah diyakinkan hanya dengan beberapa kata. Wajah cantiknya sekarang dipenuhi oleh kerutan kekhawatiran yang dalam, matanya yang biasanya dingin sekarang penuh dengan emosi yang sulit dibaca.
Kevin berusaha melewati Cindy dengan langkah gontai, tapi tiba-tiba seluruh dunia di sekelilingnya berputar dengan cepat. Tangannya yang mencoba meraih kunci apartemen dari saku celana gemetar tak terkendali.
Suara pintu yang terbuka terdengar samar-samar di telinganya, tapi bersamaan dengan itu lututnya terasa seperti kehilangan semua kekuatan. Badannya yang tinggi semampai oleng ke belakang, hampir menabrak pagar pembatas di koridor apartemen.
Tanpa diduga, lengannya yang terkulai lemah tiba-tiba tertarik dengan kuat oleh sepasang tangan yang kecil tapi kokoh. Kevin tersentak kembali ke kesadarannya yang mulai kabur.
"Aku tidak bisa meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini," bisik Cindy dengan suara lembut namun penuh tekad yang masuk ke dalam kesadarannya yang setengah sadar.
"Aku harus membalas budi," tambahnya dengan suara yang lebih tegas sekarang.
Kevin yang kepalanya berkunang-kunang dan penglihatannya mulai kabur hanya bisa terdiam pasrah ketika Cindy mendorongnya dengan lembut namun pasti masuk ke dalam apartemen yang gelap.
"Maaf atas kelancanganku, tapi aku harus masuk," ucap Cindy dengan suara yang tidak meninggalkan ruang untuk bantahan.
Tanpa perlawanan, Kevin membiarkan dirinya dituntun seperti boneka kain lapuk. Untuk pertama kalinya sejak dia tinggal di apartemen ini, dia pulang ke rumah ditemani oleh seorang gadis.
Ironisnya, malaikat penyelamatnya ternyata bukanlah pacar atau kekasih seperti yang mungkin diimpikan banyak pria seusianya, melainkan tetangga misterius yang selama ini selalu dia hindari interaksinya.