Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabotase
Langit mendung sejak sore, dan hujan rintik masih turun ketika Pandu memasuki kafe yang nyaris kosong. Bau kopi dan kayu basah memenuhi udara. Di sudut ruangan, seorang pria bertubuh tegap duduk sendiri, mengenakan jaket kulit hitam dan topi yang sedikit diturunkan menutupi mata.
Pandu menghampiri dengan langkah cepat dan langsung duduk di hadapannya. Tidak banyak basa-basi. Tatapan mata Pandu tajam—gelisah—masih terkendali.
“Ada yang nggak beres dengan kecelakaan Lania,” katanya langsung.
Zain mengangkat alis. “Kamu yakin?”
Pandu mengangguk. “Terlalu banyak kebetulan. Rem blong, CCTV jalan itu katanya ‘mati’, ini aneh… aku mencurigai seseorang.”
Zain menyandarkan tubuh. “Siapa?”
“Adisty.”
Zain mendengus kecil. “Nama yang cukup sering muncul di media, sekertaris Sagara. Aku tidak mendengar berita apa pun.”
“Adisty pandai menyembunyikan masalah agar tidak terendus media.” Menoleh ke arah Zain, Pandu menatapnya dalam. “Istri pengusaha itu, Lania mengalami kecelakaan. Aku mau kamu selidiki semuanya. Mulai dari kronologi kecelakaan, data jalan, saksi, mobil Lania, bahkan laporan bengkel terakhir kalau perlu.”
“Dan kamu pikir ada yang sengaja?” tanya Zain serius.
Punggung disandarkan ke sofa, Pandu merenung lima-tujuh detik, sampai akhirnya berbicara, “Aku nggak punya bukti... tetapi aku punya firasat kuat. Dan kamu tahu, aku nggak sembarangan kalau sudah menyangkut firasat.”
Zain diam sejenak, menyesap kopinya, lalu mengangguk pelan.
“Aku akan mulai dari mobilnya. Siapa teknisinya, kapan terakhir diservis. Juga jalur rute dia hari itu—GPS, sinyal HP. Kamu ada koneksi ke pihak rumah sakit atau polisi?”
“Tidak langsung. Tapi aku bisa urus itu,” sahut Pandu.
Zain membuka buku catatannya, menuliskan beberapa poin. “Kalau ini memang sabotase, kita akan tahu—tapi harus siap-siap. Kalau benar, ini bukan cuma soal kecelakaan. Bisa jadi ada yang mencoba menyingkirkan dia.”
Pandu mengatupkan rahangnya. “Itu yang aku takuti.”
Zain menatap teman lamanya dalam-dalam. “Dan kamu? Sampai sejauh mana kamu siap bantu Lania? Dia sudah bersuami, dengan kata lain ada yang mengurus. Kamu menyimpan perasaan terhadapnya?”
Pandu tak segera menjawab. Dia menatap ke luar jendela, ke arah hujan yang tak kunjung reda.
“Apa itu suatu dosa? Aku nggak akan biarkan dia jadi korban lagi. Bukan oleh sistem, bukan oleh orang-orang seperti Adisty. Kali ini, aku ikut bertarung.”
“Ha ha ha, agak bodoh, itulah cinta. Aku gak akan terjerumus seperti orang....” Zain tersenyum tipis tidak melanjutkan kalimatnya. “Oke. Kita mulai malam ini.”
***
Suara dentuman logam dan dengungan bor memenuhi udara. Zain berdiri di balik pintu kaca bengkel, menatap papan nama: “Paramita Auto Service – Spesialis Mobil Eropa.” Dia melangkah masuk, memperlihatkan senyum tipis pada resepsionis.
“Sore. Saya mau tanya soal servis terakhir mobil BMW putih seri 3 atas nama Lania Andriany.”
Resepsionis, wanita muda dengan rambut digelung rapi, menatapnya curiga. “Maaf, untuk informasi pelanggan kami, harus ada izin—”
Zain menyelipkan kartu nama di atas meja. “Saya detektif swasta. Ini terkait kecelakaan yang hampir merenggut nyawa klien saya. Saya cuma butuh informasi siapa yang terakhir menangani rem mobilnya.”
Wanita itu membaca kartu, lalu bangkit untuk memanggil teknisi. Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh kecil dengan wajah penuh noda oli keluar dari dalam bengkel.
“Mas Aldi,” sapanya. “Yang servis mobil itu waktu itu.”
Zain mengangguk. “Boleh ngobrol sebentar?”
Aldi menggigit bibir. “Saya inget mobil itu. Yang milik ibu-ibu muda, sering datang sendiri, ramah.”
“Ada yang aneh waktu servis terakhir?”
Aldi tampak berpikir, lalu mengangguk. “Rem belakangnya minta diganti. Sudah saya ganti dengan yang baru, merk resmi. Tapi pas lagi ngerjain, saya sempat lihat ada bekas gores di sistem saluran minyak rem. Waktu itu saya kira karena pemakaian kasar. Saya bersihin aja.”
“Bekas gores?” Zain mengulang, tajam.
Aldi mengangguk pelan. “Iya. Kayak disengaja. Tapi saya nggak yakin, soalnya kecil banget. Bisa aja karena kena batu.”
Zain mencatat sesuatu. “Mobil itu ditinggal atau ditunggu waktu diservis?”
“Ditinggal. Tapi... bukan dia yang ngambil. Waktu itu, ada sopir laki-laki yang katanya disuruh ambil mobil. Bawa nota servisnya juga. Kami kira aman-aman aja.”
“Kamu ingat ciri-cirinya?” Sambil mengetuk-ketukkan bolpen ke catatan, Zain mendongak—mendeteksi kebohongan di wajah Aldi.
Tampak Aldi sedang berpikir keras bisa dilihat dari kening yang mengernyit,. “Agak tinggi, pakai masker. Suaranya berat. Bukan orang yang biasa ambil mobil itu.”
Zain mencatat semuanya dengan teliti.
***
[Lokasi berikutnya: WARUNG KECIL DEKAT TKP]
Tidak ada yang istimewa—meja kayu, toples kerupuk, dan kopi hitam pahit yang diseduh dengan air termos. Zain duduk di sudut, berhadapan dengan seorang bapak paruh baya yang sedang menikmati rokok linting.
“Apa bapak ada di sini sewaktu kecelakaan terjadi?”
“Saya lagi ngangkut galon waktu itu. Mobil putih itu ngebut, lalu mendadak oleng sebelum tikungan. Seolah remnya nggak jalan. Terlontar ke trotoar.” Sembari menghisap rokok, bapak paruh baya menjawab.
“Ada yang mencurigakan sebelum itu?”
“Kalau tidak salah karena menghindari motor, Mas. Ada apa ya?” Paras keriput bapak itu tampak bingung. Kemudian mulai berpikir ulang.
Dia memperhatikan Zain lumayan lama, sebelumnya kembali menceritakan kejadian ganjil. Bapak paruh baya menyesap kopi dan melanjutkan. “Tapi, aku lihat ada satu mobil hitam di belakangnya. Ngebuntutin dari jauh, kayak ngejaga jarak, tapi nggak nyalip. Begitu mobil putih itu kecelakaan, mobil hitam langsung tancap gas, belok ke jalan alternatif. Entah hanya kebetulan atau apa, saya sendiri tidak terlalu fokus..”
Bapak lihat plat nomornya?”
“Sayangnya nggak. Tapi logonya kayak mobil kantor. Mungkin SUV. Paling Fortuner atau Pajero.”
Zain menatap kosong sejenak, lalu menutup bukunya.
“Terima kasih, Pak. Ini sangat membantu.”
Langkah panjang Zain begitu mantap, berjalan cepat tanpa menoleh kiri-kanan. Dia duduk di balik kemudi, membuka semua catatannya, dan menyimpulkan satu hal
Seseorang tahu sistem rem itu rusak. Seseorang yang bisa mengakses mobil tanpa sepengetahuan Lania. Dan seseorang yang cukup rapi menyamarkan semuanya sebagai kecelakaan biasa.
Haruskah dia mengikuti firasat Pandu, mencari tahu keterlibatan Adisty.
Langit sudah gelap. Udara malam terasa lembap, menyisakan aroma aspal yang baru disiram hujan sore tadi. Lampu di parkiran basement apartemen menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di antara deretan kendaraan.
Pandu berdiri bersandar di mobilnya, wajah letih dan penuh harap. Dia menoleh cepat saat langkah berat Zain terdengar mendekat dari sudut gelap parkiran.
Zain tidak langsung bicara. Dia membuka map tipis berisi beberapa lembar fotokopi, lalu mengangkat kepalanya menatap Pandu.
“Aku tahu ini belum cukup buat bikin orang masuk penjara,” gumamnya, “tapi cukup buat buktiin kecelakaan Lania bukan kecelakaan biasa.”
Pandu menarik napas dalam. “Katakan.”
Zain menyerahkan selembar fotokopi laporan servis. “Bengkel ganti rem mobil Lania pakai spare part resmi. Tapi teknisinya nemu bekas goresan aneh di jalur minyak rem. Kecil, tapi kemungkinan disengaja.”
“Sabotase?” desak Pandu.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran